Cerpen - Kado Ulang Tahun
“Daarrr!!”
Setengah mati aku kaget. Begitu tiba-tibanya adikku menyentakku dari balik pintu. Sama sekali aku tidak tahu kalau adikku ada di balik pintu. Aku sangat terburu-buru sampai lupa mengucap salam dan langsung membuka pintu rumah. Maklum banyak kerjaan, tadi di kantor ada perintah lembur yang mendadak, terpaksa aku harus ke kantor lagi.
“Adu De, koq nakal sekali sih, untung Mamas enggak jantungan” Ujarku mengomentari ulah adikku.
“Abisnya Mamas enggak ngasih salam sih” Adikku membela diri, menyalahkan aku.
Kupegang pundak adikku sambil memberi nasehat, “Iya Mamas yang salah, tapi jangan begitu dong caranya, kalau Mamas sakit bagaimana? Siapa yang nemenin Ade, siapa yang mau membantu Ade mengerjakan PR?”
“Iya…iya enggak lagi deh. Eh Mas sini deh sebentar” Adikku mengajakku ke kamarnya sambil menarik lenganku sedikit memaksa.
“Ada apa sih De, Mamas buru-buru nih mau ke kantor lagi.” Aku menolak ajakannya sambil berusaha melepaskan pegangan adikku.
Kulihat roman adikku agak kecewa.
“Sebentar aja Mas !” rayu adikku.
“Entar malam aja ya De, Mamas buru-buru nih, entar terlambat”
Aku mulai sedikit kesal dengan paksaan adikku. Memang biasa sifat adikku seperti itu. Kalau lagi ada maunya susah ditolak. Sifat nakal dan manjanya dari kecil sampai kelas 2 SMK Pariwisata sekarang ini tidak berubah. Kadang aku kesal dengan sifatnya yang seperti itu, tapi aku senang juga, soalnya dialah yang membuat aku tentram di rumah. Sepi rasanya kalau sehari saja dia tidak membuat ulah. Apalagi kalau dia tidak di rumah.
“Bener nih Mamas enggak mau?” tantang adikku sambil membelalakkan matanya.
Kelihatannya dia mulai marah. Sebenarnya aku penasaran juga dengan ajakan adikku. Biasanya kalau dia memaksa sampai marah begitu menandakan ada hal yang penting. Tapi bagaimanapun aku harus cepat kembali ke kantor.
“Ada apa sih De?” tanyaku melunakkan sikap adikku.
“Pokoknya penting deh. Cepet dong sini Mas” Jawab adikku sambil menarik lenganku kembali.
Tiba-tiba dari luar terdengar suara klakson sepeda motor tepat di depan rumah. Aku sudah tahu siapa yang membunyikannya. Dia adalah teman sekantorku yang kebetulan tinggal tidak jauh dari rumahku. Tadi aku pulang bersama dengannya dan kami berjanji akan berangkat bersama.
“Nah tuh kan, Mamas sudah disusul. Ade sih banyak ulah, Mamas enggak sempet ngapa-ngapain deh” Ujarku kesal.
“Salah Mamas sendiri we….bukannya dari tadi menurut” dia malah membela diri atas ulahnya.
Aku segera masuk ke kamarku tidak peduli lagi dengan adikku. Segera kubereskan berkas-berkas di meja dan memasukannya ke dalam tas. Kalau saja berkas-berkas ini tadi pagi kubawa mungkin aku tidak perlu repot-repot pulang. Kembali aku siap berangkat.
“Mamas pergi dulu ya De, tunggu rumah jangan ke mana-mana sampai ayah dan ibu pulang” pesanku pada adikku yang sedang mengambil air wudlu.
“Iya…iya” sahut adikku.
“Ade….Assalamu alaikum” salamku setengah berteriak sambil menutup pintu depan.
Segera aku mengambil sepeda motorku yang kuparkir di halaman dan terus melaju bersama temanku.
oooo
Pulang dari Mushala setelah melaksanakan shalat Isya aku langsung masuk kamar. Niatnya mau menyelesaikan sisa pekerjaan kantor. Ketika aku sudah siap dengan berkas di meja tiba-tiba adikku masuk ke kamarku membawa kalender meja. Entah mau apa lagi dengan kalender di tangannya. Mudah-mudahan dia tidak mengganggu pekerjaanku. Soalnya biasa dia itu sering mengganggu kalau aku lagi asyik menyelesaikan pekerjaan. Kadang bertanya ini dan itu, minta dibuatkan PR. Malah pernah ada pekerjaan kantor yang sama sekali tidak bisa kukerjakan gara-gara adikku.
“Mau apa lagi, nenek centil?” tanyaku.
Adikku bukannya menjawab, tapi malah mengambil vas bunga dan hendak memukulkannya ke arahku.
“Nih kalau sekali lagi bilang nenek centil” ancam adikku mengacungkan tangannya yang memegang vas bunga.
“Iya….iya, enggak lagi deh sayang” kataku memelas “Maafin Mamas yah”
“Nih lihat kalender yang Ade bawa” Adikku menunjukkan kalender di tanganya.
“Ada apa dengan kalender itu De?” tanyaku penasaran.
“Lihat nih tanggal yang Ade lingkari dengan spidol merah” Adikku menunjukkan angka 25 yang dilingkari tinta merah.
Aku heran juga, ada apa dengan tanggal itu. Sekarang bulan Mei mungkin adikku mau test kenaikan kelas, atau ada acara dengan teman-temannya.
“Ayo coba tebak ada apa dengan tanggal itu?”
Aku sebenarnya enggan menjawab pertanyaan seperti itu dari adikku. Tapi kalau dia lagi begitu harus diladeni. Kalau tidak dijawab pasti marahnya selangit. Walau dengan jawaban asal-asalan yang penting harus dijawab. Dalam hal seperti ini, jarang aku benar dalam menjawab pertanyaan semacam itu dari adikku. Pada akhirnya dia sendiri yang memberitahukan jawabannya.
“Ade mau kenaikan kelas kan kan” jawabku sekenanya.
“Salah Mas” bantah adikku.
Aku pura-pura berfikir, “Ah paling-paling Ade mau ada acara dengan teman-teman”
“Ya…..belum benar” goda Adikku.
“Abisnya apa dong De” Ujarku sambil melihat kelander itu lagi.
“Ya masa begitu aja menyerah” tantang adikku dengan muka berseri.
Biasa adikku kalau sudah berhasil memusingkanku dengan jebakannya selalu girang, seolah mendapat kemenangan.
“Teman Ade ada yang berulang tahun ya?” aku berusaha menjawab lagi.
“Yaa. Tapi bukan teman Ade yang ulang tahun” kata adikku, “Hayo siapa yang ulang tahun?”
“Siapa De” aku malah balik bertanya heran.
“Loh ko Mamas malah bertanya, ayo dong jawab dulu” pinta adikku.
Aku mengingat-ingat tanggal lahir saudaraku, adikku dan kedua orang tuaku. Semuanya tidak lahir pada tanggal itu. Lalu siapa yang dia maksud.
“Mamas nyerah deh De” ujarku.
“Enggak tahu kan” ejek adikku, “Makanya jangan sibuk kerja melulu dong, sampai melupakan orang yang sedang kuliah di Jakarta.
“Ha…siapa De?” aku baru sadar kalau yang dia maksud adalah Yani yang sedang kuliah di Jakarta.
“Siapa lagi kalau bukan mba Yani” jawab Adikku.
“Ade tahu dari mana, Mamas saja sampai sekarang belum tahu?” tanyaku heran.
“Tahu dong, mba Yani pernah ngasih tahu Ade, eh Mas kasih hadiah ya buat mba Yani” pinta adikku.
“Jadi siang tadi Ade mau bilang ini ya, mau bilang begitu aja susah amat sih De”
“Iya dong, bikin kejutan. Bener ya Mas kasih hadiah buat mba Yani” pinta adikku lagi.
“Loh…yang ulang tahun mba Yani ko malah Ade yang ribut sih” Aku menyela adikku.
“Kan mba Yani……” belum sempat adikku melanjutkannya aku segera membungkam mulutnya. Aku sudah tahu arah kalimat yang hendak diucapkannya.
“Ssstt….jangan keras-keras nanti terdengar Ibu” Ucapku dengan berbisik.
“Tapi bener ya Mas” pinta adikku sekali lagi.
“Ya sudah…sudah besok kan hari Minggu, nanti kita ke kota mencari hadiah yang cocok buat mba Yani” aku menenangkan adikku.
Adikku diam sejenak.
Kulanjutkan, “Sudah De sana keluar, Mamas mau menyelesakan tugas dulu”
“Siap Boss” Jawab Adikku puas dan segera keluar.
Lega sekarang aku. Dengan tenang kuselesaikan pekerjaanku yang kelihatannya sedikit tapi memerlukan waktu yang lama juga. Sampai larut malam baru aku dapat menyelesaikannya.
Aku sudah bersiap-siap hendak tidur. Kubaringkan tubuhku di dipan. Belum kupejamkan. Belum kupejamkan mataku, aku berusaha memikirkan hadiah ulang tahun.
“Ulang Tahun” begitu kata hatiku. Apakah saat ulang tahun merupakan sebuah momen yang baik untuk memberi hadiah. Siapa orang yang pertama kali mengingat tanggal kelahirannya. Kaum mana yang petama kali dan membiasakan perayaan ulang tahun. Siapa orang yang pertama kali memberi kado ulang tahun.
Setahuku dalam agamaku tidak pernah ada perintah untuk merayakan hari kelahiran, atau memberi hediah pada orang yang berulang tahun. Yang ada hanyalah anjuran untuk menghitung dosa dengan bertambahnya usia dan selalu mengingat ajal.
Apakah dengan merayakan hari ulang tahun atau memberi hadiah ulang tahun dapat mengingatkan orang akan dosa dan kematian. Bukankah dengan bertambahnya usia berarti lebih banyak dosa dan mengurangi jatah usia yang sudah ditentukan. Apakah dengan memberi hadiah ulang tahun dapat menyenangkan orang. Kalau hanya menyenangkan sesaat buat apa. Apakah hadiah ulang tahun akan memberi manfaat atau malah menimbulkan mudlarat.
Hadiah apa yang pantas kuberikan. Apakah sebuah hiasan yang hanya dipajang, dipandang lalu tidak dihiraukan. Ataukah hadiah harta yang cepat habis. Apakah sebuah nasehat yang sama sekali tidak ada nilai materinya.
Dalam keluargaku tidak biasa ada perayaan ulang tahun atau memberi kado ulang tahun. Paling kalau pas tanggal kelahiran adikku aku hanya mencium keningnya dan memberi nasehat.
“Adikku, kau sekarang bukan kanak-kanak lagi. Usiamu bertambah maka hisablah dirimu sebelum dihisab Allah, tambahkanlah imanmu dan bertakwa”
Sambil merenung seperti itu, sedikit demi sedikit aku mulai di bawah sadar sampai akhirnya tertidur.
oooo
Pagi hari aku dan adikku sudah bersiap-siap hendak berangkat ke kota mencari kado ulang tahun. Langsung saja kami ke super market yang terkenal di kotaku dan segera menuju ke bagian barang-barang hiasan.
“Yang ini bagus Mas” kata adikku sambil menunjukkan sebuah hiasan piring yang disangga. Kuangkat benda yang tidak seberapa besar itu. Kulihat tulisan dengan tinta emas “Selamat Ulang Tahun” dan di sebelah bawahnya tertulis sebaris kalimat,
“Merpati putih telah mengepakkan sayapnya menyambut hari yang bahagia ini.”
Kuletakkan lagi benda itu di tempatnya.
“Enggak suka ya Mas? Tanya adikku.
“Iya De, ayo cari yang lain” ajakku.
“Nah yang ini bagus Mas” adikku mengambil sebuah jam meja yang dikurung kotak plastik transparan bertuliskan selamat ulang tahun. Latar belakangnya bergambar kartun. Jarum jamnya tidak begitu panjang dan pusatnya di sudut sebelah kanan atas.
Bagus juga pikirku, tapi kalau jamnya mati?
“Yang lain aja deh De” pintaku.
“Abis apa dong Mas, ini enggak itu enggak sudah lebih satu jam kita di sini.” Jawab adikku kesal.
Kami pindah ke ruangan buku-buku. Kucari barangkali ada yang cocok kujadikan kado ulang tahun. Tapi tak satu pun buku yang kupandang cocok. Kecewa juga aku. Mendadak kepalaku terasa pening. Mungkin karena capek bolak-balik dan terkena udara dingin AC.
“De, Mamas pusing. Kita pulang dulu yuk. Nyarinya besok aja deh” ajakku sambil memegangi kepalaku yang pening.
“Kan belum dapet Mas” adikku menolak.
“Tapi Mamas pening nih, besok aja deh atau nanti sore kita ke sini lagi” pintaku.
“Yaaa…Mamas begitu sih” ujar adikku dengan nada kecewa.
Kutarik lengan adikku dan segera meninggalkan super market tanpa membawa hasil.
Sampai di rumah ternyata pusingku sudah hilang, tapi aku pura-pura masih pusing.
“De, Mamas mau tidur dulu, jangan mengganggu ya” pintaku kepada adikku setibanya di rumah.
“Cepat bae ya Mas, biar nanti sore kita bisa mencari kado lagi.” Ujar adikku sambil masuk ke kamarnya.
Baru saja aku hendak memejamkan mata, tiba-tiba adikku membangunkan aku.
“Mas bangun Mas, udah sore. Katanya kita akan ke super market lagi. Oh…ya Mas gimana pusingnya, udah bae?”
Kulihat jam beker di meja sudah menunjukkan pukul 4.
“Ayo dong Mas cepat, biar pulangnya enggak kemalaman” ajak adikku.
“Enggak usah ke sana lagi deh De” jawabku.
“Loh Mamas ini bagaimana sih, enggak mau ngasih hadiah buat mba Yani?” adikku menimpali kata-kataku dengan nada kecewa.
“Mamas sudah buat kadonya ko De” kataku menenangkannya.
“Bener Mas mana?” adikku tidak percaya.
“Rahasia dong” jawabku.
“Yaaa….Mamas begitu sih, masa sama adik enggak sayang” adikku merengek.
“Pokoknya Er Ha Es” jawabku lagi.
“Oke…..Oke…enggak usah disayang lagi kalau Ade tidak bisa membongkarnya” tantang adikku sambil keluar dari kamarku.
oooo
Sejak sarapan pagi tadi adikku terus senyum-senyum memandangku, seolah ada sesuatu yang disembunyikan. Sampai aku siap berangkat kerja adikku terus saja membuntutiku dengan seragam sekolahnya.
Ketika aku hendak melajukan sepeda motorku adikku baru berkata, “Mas bagus deh dan Ade setuju”
Heran juga aku dengan ucapannya.
“Apanya yang bagus dan apa yang Ade setujui? Tanyaku.
“Murah meriah, tapi penuh nasehat” lanjut adikku.
“Apanya De?” kembali aku bertanya makin heran.
“Pokoknya Ade seneng dan setuju” ledeknya.
“Ya udah kalau enggak mau ngasih tahu” kataku sambil mengucap salam dan melajukan sepeda motorku.
Belum sampai lima meter dari adikku, terdengar suara adikku berteriak “Cerpennya bagus Mas”
Baru aku sadar, rupanya adikku sudah tahu apa yang akan kuberikan pada Yani di hari ulang tahunnya. Pinter juga dia mencuri rahasia. Bukan adikku kalau dia tidak seperti itu.
Kukusan Depok, 6 Juni 1996
