Cerpen - Senyum Terakhir di Osaka
Di antara dinginnya musim semi yang belum sepenuhnya mencair, di sebuah sudut tenang kota Osaka, berdiri sebuah bangunan pelatihan bernama Kansai Kenshu Center. Di sanalah aku—seorang trainee dari Indonesia—menjalani hari-hari panjang yang dipenuhi kerja keras dan rindu.
Namun setiap kali pintu lobi otomatis terbuka dengan desis pelan, rasa rindu itu seolah mencair, luluh oleh satu senyum. Senyum milik seorang gadis Jepang di balik meja resepsionis. Aku dan temanku diam-diam menjulukinya Mba Naga—panggilan rahasia untuk Nagabayashi-san.
Ia memang cantik, tapi bukan kecantikannya yang membuatku terpaku setiap kali berpapasan. Ia ramah, namun bukan keramahan itu yang membuatku menoleh sebelum naik lift. Ada sesuatu yang tak mampu kutafsirkan—entah kelembutan suaranya saat menyapa, atau sorot matanya yang kadang terasa seperti tengah menunggu sesuatu dariku.
"Tadaima..." sapaku pelan.
"Okaeri," balasnya, seolah senyum itu telah lama menanti kepulanganku.
Hari-hari di pabrik terasa keras dan sunyi. Tapi setiap pulang, wajahnya seolah jadi penghapus lelah. Ia seperti hafal kebiasaanku. Dua minggu sekali, surat dari Indonesia datang. Ia tak pernah alpa menyerahkannya—bahkan sebelum aku sempat bertanya.
"Anata ni tegami ga arimasu," katanya lembut, sambil mengulurkan amplop berperangko hijau tua—warna khas dari tanah air.
Kadang, saat aku menuju ruang komputer untuk menulis balasan, ia menyodorkan selembar kertas putih tanpa diminta.
"Hai, dōzo."
Sederhana, namun terasa seperti ia turut merawat kisah dalam surat-suratku.
Suatu sore, ketika aku baru saja menerima surat dan hendak naik lift, temanku menggoda,
"Waah, mata tegami ga kita! Moshikashite koibito kara?"
("Wah, surat lagi nih! Jangan-jangan dari sang kekasih!")
Aku hanya tertawa kecil. Tapi dari balik meja, Mba Naga menimpali dengan lirikan dan senyum yang tak kalah iseng,
"Ne..."
Sebuah gumam ringan. Cemburu? Atau sekadar bercanda? Entahlah. Tapi jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya.
Pernah suatu hari, ia bertanya,
"Dare ni tegami o kaiteimasu ka?"
("Untuk siapa kamu menulis surat itu?")
Aku hanya tersenyum. Tak tahu harus menjawab apa. Nama itu terlalu rapuh untuk diucapkan di hadapannya. Terlalu jauh.
Hari-hari terus bergulir, seperti daun-daun sakura yang gugur diam-diam. Hingga tibalah waktuku untuk pulang ke tanah air. Ada perasaan aneh, seperti ingin membawa sesuatu—tapi tak tahu apa.
Mba Naga tak berkata banyak saat aku berpamitan. Tapi ketika aku mengajaknya berfoto, ia mengangguk pelan.
Di depan meja resepsionis, kami berdiri berdampingan. Aku tak bisa menahan senyum. Tapi di dada, sejumput kehilangan mulai terasa.
"Terima kasih, Mba Naga..." ucapku dalam hati.
Klik.
Satu jepretan kamera. Satu senyum terakhir.
Mungkin juga, satu kenangan yang akan kusimpan seumur hidup.
Depok, 27 Juli 2025
