Cerpen - Hanya Tersisa Doa
Prolog
Jakarta selalu ramai. Jalanan penuh deru mesin, orang-orang bergegas, gedung-gedung berdiri dingin tanpa menoleh pada hati siapa pun yang sedang rapuh.
Di tengah riuh itu, aku hanya seorang perempuan biasa—Adipta, 25 tahun, karyawan bagian akunting yang hidup dengan angka-angka.
Setiap pagi aku pergi dengan wajah lelah, pulang dengan tubuh yang letih. Hari-hari terasa datar, seperti jalan lurus tanpa belokan.
Aku tidak pernah mengira, sebuah pertemuan sederhana di ruang kantor akan mengubah isi dadaku.
Bukan kisah manis seperti di drama, bukan pula kisah heroik yang berakhir bahagia.
Ini adalah kisah tentang aku yang jatuh cinta, tapi tak pernah benar-benar bisa menggenggamnya.
Pertemuan
Hari itu, suasana kantor seperti biasa: rapat mingguan, laporan yang harus dikirim, dan aroma kopi dari pantry.
Manager kami berdiri di depan, memperkenalkan seorang karyawan baru.
“Teman-teman, ini Setyo. Dia akan bergabung di bagian Quality Assurance.”
Aku mengangkat wajah sekilas. Lelaki itu menunduk sopan, senyumnya sederhana tapi menenangkan. Tidak ada yang istimewa, hanya sekilas tatap, tapi entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang menempel di dadaku.
Perkenalan singkat berlalu. Semua kembali ke meja masing-masing. Aku pun melanjutkan pekerjaanku: menata angka, mengecek selisih laporan.
Siang hari, aku ke kantin bersama beberapa teman. Ramai seperti biasa. Saat hendak duduk, entah bagaimana kursi di hadapanku kosong—dan Setyo yang baru saja mengambil makanannya duduk di sana.
“Boleh?” tanyanya singkat.
Aku hanya mengangguk.
Awalnya hening. Suara sendok garpu lebih nyaring daripada percakapan kami. Tapi kemudian ia bertanya:
“Sudah lama kerja di sini?”
“Hmm… satu tahun.”
“Wah, masih baru juga ya. Aku kira sudah senior.”
Aku tersenyum kecil. Obrolan pun mengalir, sederhana, tentang pekerjaan, tentang cuaca Jakarta yang tak pernah ramah, bahkan tentang makanan kantin yang kadang terlalu asin.
Sejak hari itu, ada kebiasaan baru: entah kebetulan atau tidak, aku dan dia sering duduk berhadapan saat makan siang.
Dan sejak hari itu pula, ada sesuatu yang mulai tumbuh pelan-pelan di hatiku—sesuatu yang aku tahu, lambat laun akan membuatku menangis.
Jam Makan Siang
Jam makan siang selalu jadi momen paling kutunggu.
Bukan karena lapar, bukan pula karena bosan dengan laporan yang menumpuk.
Tapi karena ada dia—Setyo.
Entah bagaimana, kami selalu berakhir di meja yang sama. Kadang berhadapan, kadang bersebelahan. Rasanya seperti kebetulan yang terlalu sering untuk disebut sekadar kebetulan.
“Dipta, kamu suka baca buku?” tanyanya suatu kali, sambil memainkan sendok di tangannya.
Aku terkejut, jarang ada orang yang menanyakan hal itu di kantor.
“Iya… lebih sering novel sih. Kenapa?”
“Bagus. Aku suka juga, tapi lebih ke biografi dan buku-buku motivasi.”
Aku mengangguk sambil tersenyum. Lalu ia bercerita panjang lebar tentang tokoh yang menginspirasinya. Saat aku menatap wajahnya, matanya berbinar-binar, seakan penuh gairah hidup.
Entah kenapa, aku jadi ingin terus menatap, meski buru-buru kuarahkan pandanganku ke piringku, takut ia menyadari pipiku yang mulai hangat.
Dari situ obrolan mengalir ke banyak hal: film, musik, bahkan tentang masa kecil kami yang berbeda kota tapi terasa mirip.
Aku tertawa saat ia menirukan gaya marah ibunya yang cerewet.
Ia ikut tertawa saat aku mengaku dulu pernah ketiduran di kelas matematika saat ujian.
Tawa kami beradu, ringan, hangat, dan untuk pertama kalinya aku merasa kantin yang riuh itu berubah jadi ruang kecil milik kami berdua.
Namun, ada sesuatu yang tak bisa kusebut.
Setiap kali jariku tak sengaja menyentuh tangannya saat bergeser mengambil botol air, dadaku langsung berdebar, seakan seluruh tubuhku kehilangan kendali.
Setiap kali ia memanggil namaku dengan nada lembut, rasanya seperti ada sesuatu yang merambat di dada dan mengendap di hati.
Malamnya, di kamar yang sunyi, aku membuka buku harian.
“Hari ini aku merasakan sesuatu.
Aku takut menyebutnya cinta, karena terlalu dini.
Tapi hatiku berdetak lain setiap kali dia tersenyum.
Aku seperti gadis remaja lagi, yang menunggu seseorang lewat hanya untuk melihat punggungnya.”
Air mata jatuh tanpa permisi. Tangis yang bukan sedih, tapi penuh kerinduan aneh yang tak bisa kujelaskan.
Aku mulai mengerti: bukan makan siang yang kutunggu setiap hari, melainkan saat-saat bersamanya.
Bayangan Masa Lalu
Hari-hari berikutnya terasa lebih hidup.
Jam makan siang bukan lagi sekadar jeda dari pekerjaan, melainkan ruang kecil di mana aku dan Setyo bisa tertawa dan berbagi cerita.
Namun aku mulai menyadari sesuatu. Ada saat-saat ketika wajahnya berubah muram, ketika matanya menatap jauh entah ke mana. Seolah ada dinding tak kasat mata yang memisahkan aku darinya.
Suatu siang, saat kantin agak sepi, aku memberanikan diri bertanya.
“Kenapa tiba-tiba diam?”
Setyo tersenyum tipis, tapi senyum itu lebih mirip luka.
“Aku cuma… teringat sesuatu.”
“Tentang apa?”
Dia terdiam cukup lama sebelum akhirnya berbisik lirih.
“Dulu aku pernah jatuh cinta… terlalu dalam. Tapi berakhir dengan cara yang buruk. Sampai sekarang, aku masih… takut.”
Aku terdiam. Rasanya ingin meraih tangannya, mengatakan bahwa aku ada di sini. Tapi tubuhku membeku.
Aku hanya bisa menatap piringku yang tiba-tiba terasa hambar.
Setyo melanjutkan, suaranya nyaris tenggelam oleh riuh kantin.
“Dia pergi… memilih orang lain. Aku tidak salahkan dia, mungkin aku yang terlalu naif. Tapi sejak itu, aku… susah percaya lagi.”
Hatiku mencelos.
Aku ingin berkata, biarkan aku yang menyembuhkanmu.
Aku ingin berteriak, lihat aku, aku bisa jadi rumah untukmu.
Tapi bibirku terkunci, dan yang keluar hanyalah senyum kaku.
Sejak saat itu, aku mulai melihatnya dengan cara yang berbeda.
Aku tidak hanya melihat lelaki yang ramah dan menyenangkan, tapi juga seseorang yang membawa luka. Luka yang masih basah, yang bisa membuatku berdarah jika aku terlalu dekat.
Malam itu aku menangis lama.
Aku menulis di buku harian:
“Aku semakin jatuh padanya.
Tapi bagaimana bisa aku mencintai seseorang yang hatinya masih diikat masa lalu?
Jika aku terus melangkah, mungkin aku hanya akan jadi bayangan yang lewat di hidupnya.
Tapi jika aku berhenti, aku tahu aku akan menyesal.
Maka biarlah aku terus berjalan, meski dengan air mata sebagai teman.”
Tangisku pecah tanpa henti.
Aku mencintainya, tapi aku takut cintaku hanya akan menjadi luka baru, baik untuknya maupun untukku.
Jarak yang Tak Terlihat
Beberapa minggu setelah pengakuan kecil itu, segalanya berubah.
Bukan hilang, tapi berbeda.
Setyo masih menyapaku, masih duduk di meja yang sama saat makan siang.
Namun aku bisa merasakan: jaraknya tak lagi sejengkal, melainkan sedepa.
Tatapannya tidak lagi bertahan lama, tawanya terasa lebih singkat, seolah ada sesuatu yang ditahannya.
Pernah suatu kali, aku menunggu di kantin lebih awal, berharap ia datang.
Tapi Setyo justru duduk bersama timnya, menoleh ke arahku sebentar, lalu kembali menunduk.
Aku tersenyum pahit pada piringku yang masih penuh.
Makananku terasa dingin meski asapnya masih mengepul.
Hari-hari berikutnya, ia makin jarang menghampiri. Alasannya selalu sama: “Banyak kerjaan, Dipta.”
Aku hanya mengangguk, pura-pura mengerti, padahal dadaku berdenyut sakit.
Entah kenapa, semakin aku ingin mendekat, semakin ia mundur menjauh.
Malam-malamku jadi berat.
Aku sering menatap ponsel, menunggu pesan yang tidak pernah datang.
Kadang aku mengetik: “Kamu sibuk?”
Tapi selalu kuhapus sebelum terkirim.
Aku takut terlihat terlalu berharap.
Tangis menjadi teman tidurku.
Aku memeluk bantal erat-erat, seakan dari situ aku bisa memeluknya.
Namun yang terasa hanya dingin.
Di buku harian, aku menulis dengan tangan bergetar:
“Mengapa semakin aku mencintai, semakin ia menjauh?
Aku tidak meminta banyak, hanya ingin tetap ada di sisinya, walau sebatas teman makan siang.
Tapi bahkan itu pun kini terasa mewah.”
Aku sadar, aku mulai kehilangan.
Bukan karena ia pergi, tapi karena ia tak lagi berani tinggal.
Saat Aku Sakit
Tubuhku akhirnya menyerah.
Mungkin terlalu banyak tangisan yang kusembunyikan di balik laporan, terlalu banyak rindu yang kupendam di antara angka-angka.
Suatu sore, kepala ini berdenyut, tubuhku panas, dan pandangan berkunang. Aku meminta izin pulang lebih awal.
Di kamar kos yang sempit, aku rebah dengan demam. Tidak ada siapa pun.
Jakarta malam itu tetap ramai, tapi di dalam kamarku hanya ada kesunyian dan suara napas yang berat.
Aku tidak berharap siapa pun datang.
Tapi ketika pintu diketuk pelan, aku terkejut.
“Dipta… ini aku, Setyo.”
Degup jantungku tiba-tiba lebih kencang daripada sakit kepala yang mendera.
Aku bangkit perlahan, membuka pintu.
Di tangannya ada kantong plastik berisi bubur hangat dan obat.
“Kamu kelihatan nggak enak badan tadi. Aku khawatir,” katanya, suara tenang tapi mata menyiratkan sesuatu yang sulit kuterjemahkan.
Aku hanya bisa menunduk, menahan air mata yang tiba-tiba ingin pecah.
Ia menaruh bubur di meja kecil.
“Ayo makan dulu, biar kuat. Habis itu minum obat.”
Kami tidak banyak bicara malam itu. Aku makan perlahan, ia duduk di kursi kayu di pojok kamar, menunggu.
Sesekali ia menatapku, lalu mengalihkan pandangan.
Aku bisa merasakan—ada sesuatu yang ia tahan.
Selesai makan, ia berkata lirih, hampir berbisik:
“Aku takut, Dipta. Takut kalau aku dekat, aku malah melukai lagi. Kamu terlalu baik untuk kubuat menangis.”
Kata-katanya menusuk lebih dalam daripada demamku.
Aku ingin menjawab: Aku sudah menangis setiap malam karenamu.
Aku ingin berkata: Aku rela terluka asal tetap bersamamu.
Tapi bibirku kelu, suaraku hilang.
Setyo pamit pulang setelah memastikan aku minum obat.
Sebelum menutup pintu, ia menatapku sebentar, lama, lalu pergi tanpa kata lain.
Begitu pintu terkunci, aku runtuh.
Tangisku pecah, deras, mengguncang tubuh yang sudah lemah.
Aku menulis dengan tangan gemetar di buku harian:
“Dia datang saat aku rapuh, memberi hangat, lalu pergi meninggalkan lebih banyak luka.
Cintaku padanya semakin dalam. Tapi semakin aku mencintai, semakin aku hancur.”
Malam itu, aku sadar: sakitku bukan hanya demam.
Sakitku adalah mencintai seseorang yang tak berani tinggal.
Menjauh
Sejak malam itu, sesuatu berubah.
Aku pikir setelah Setyo menjengukku, ada harapan kecil yang tumbuh di antara kami.
Tapi ternyata, harapan itu justru membuatnya semakin jauh.
Ia masih menyapa, tapi singkat.
Ia masih tersenyum, tapi hambar.
Obrolan kami yang dulu mengalir kini hanya sesekali, itupun terasa dipaksakan.
Seakan ia berusaha menarik garis batas, garis yang tidak boleh kulewati.
Aku mencoba memahami.
Mungkin ia memang takut.
Mungkin luka masa lalunya terlalu dalam, sehingga cintaku hanya membuatnya merasa terancam.
Tapi memahami bukan berarti tidak sakit.
Dadaku terasa hampa setiap kali melihatnya memilih duduk bersama orang lain di kantin, meninggalkan kursi kosong di hadapanku.
Di meja kerja, aku pura-pura sibuk menatap layar komputer, padahal hatiku sedang retak.
Aku menahan air mata agar tak jatuh di tengah riuh kantor.
Namun setiap malam, di kamar kos yang sempit, tangis itu akhirnya pecah juga.
Aku menulis di buku harian dengan tinta yang buram karena bercampur air mata:
“Ya Allah, jika memang dia bukan untukku, mengapa Kau pertemukan aku dengannya?
Mengapa Kau izinkan aku merasakan hangatnya, hanya untuk kemudian Kau renggut kembali?
Aku mencintainya, tapi semakin aku mencintai, semakin aku merasa tak berdaya.”
Malam-malamku penuh sujud dan doa, bukan lagi sekadar rindu.
Aku berdoa agar Setyo bisa sembuh dari lukanya.
Aku berdoa agar hatiku dikuatkan, meski harus mencintai dalam diam.
Namun jauh di dalam hati, ada ketakutan yang terus berbisik:
Bagaimana jika aku hanya sementara dalam hidupnya?
Bagaimana jika cintaku tidak pernah benar-benar sampai kepadanya?
Dan setiap kali bisikan itu datang, aku hanya bisa menangis.
Tangis yang panjang, sunyi, menyayat, hingga aku tertidur dengan mata sembab.
Aku mulai sadar: jarak yang ia buat bukan sekadar karena masa lalu.
Jarak itu adalah tanda bahwa mungkin aku tidak pernah punya tempat di hatinya.
Kata yang Membunuh Harapan
Hari itu, langit sore berwarna kelabu.
Awan menggantung rendah, seolah menahan hujan yang sebentar lagi jatuh.
Aku berjalan ke kantin, dan tak sengaja mendapati Setyo duduk sendiri.
Hatiku berdebar.
Kesempatan yang jarang.
Aku memberanikan diri duduk di hadapannya.
“Lagi sendiri?” tanyaku pelan, mencoba membuka percakapan.
Ia menoleh, tersenyum tipis, lalu mengangguk.
Tapi senyum itu tidak seperti dulu—ada jarak, ada dingin yang menusuk.
Kami bicara sebentar, basa-basi tentang kerjaan, cuaca, dan hal-hal remeh.
Namun di tengah obrolan itu, ia tiba-tiba menarik napas panjang.
Matanya menatapku lekat, seakan ingin memastikan aku siap mendengar.
“Dip…” suaranya lirih, tapi jelas, “mungkin aku salah, kalau dulu terlalu dekat denganmu. Aku merasa nyaman, iya. Tapi aku sadar, aku nggak bisa terlalu jauh melangkah. Aku belum siap. Dan aku nggak mau membuatmu berharap lebih.”
Darahku serasa berhenti mengalir.
Jantungku berdegup kencang, tapi tubuhku membeku.
“Apa maksudmu, Set?”
Suara itu keluar, meski bibirku gemetar.
Ia menunduk.
“Lebih baik kita jaga jarak. Aku nggak mau kamu terluka karena aku. Aku sudah cukup rusak dengan masa laluku. Kamu terlalu baik… aku nggak bisa.”
Hening.
Hanya bunyi sendok garpu dari meja lain yang terdengar samar.
Aku ingin bicara, ingin menahan, ingin meyakinkan dia bahwa aku sanggup menunggu, sanggup menerima apa adanya.
Tapi lidahku kelu.
Air mata mulai menggenang di mataku. Aku buru-buru menunduk, menutupinya dengan meneguk teh dingin yang rasanya mendadak asin.
Kalimatnya sederhana, tapi bagiku itu seperti pisau yang menusuk jantung:
Lebih baik kita jaga jarak.
Sejak saat itu, aku tahu: tidak ada lagi ruang bagiku untuk berharap.
Aku berjalan pulang dengan langkah gontai.
Hujan akhirnya turun, deras, membasahi jalanan.
Aku membiarkannya mengguyur tubuhku tanpa payung, seolah ingin menyamarkan air mata yang tak kunjung berhenti.
Di dalam hati, aku berbisik:
“Jika mencintaimu berarti hanya bisa mendoakanmu dari jauh, maka biarlah begitu. Tapi izinkan aku tetap mencintaimu, meski hanya dalam diam.”
Doa yang Menguatkan
Hari-hari setelah pernyataan Setyo terasa seperti menyeberangi padang tandus.
Aku bekerja, tersenyum pada rekan-rekan, menyapa dengan sopan—semua berjalan normal di mata orang lain.
Tapi di dalam diriku, ada kekosongan yang begitu sunyi.
Malam-malamku kembali menjadi ladang air mata.
Namun kali ini, aku menemukan diriku terduduk lebih lama di sajadah setelah sujud tahajud.
Bukan lagi sekadar menangis karena kehilangan, tapi menangis sambil mengadu pada Yang Maha Menggenggam Hati.
“Ya Allah,” bisikku lirih, “jika memang ia bukan untukku, maka kuatkan aku untuk merelakannya. Tapi jangan biarkan rasa ini membuatku jauh dari-Mu. Ajari aku mencintai tanpa memiliki, mengikhlaskan tanpa membenci.”
Doa itu terucap berulang, hingga aku merasa sesak di dadaku mulai perlahan terurai.
Entah bagaimana, aku mulai mengerti: cinta bukan selalu tentang memiliki.
Kadang cinta justru diuji lewat kerelaan untuk melihat seseorang bahagia, meski bukan bersamamu.
Pagi hari, aku mencoba tersenyum lebih tulus.
Aku belajar menikmati kopi tanpa menunggu siapa pun untuk duduk berhadapan.
Aku mulai menulis lagi di buku harianku, bukan dengan keluh semata, tapi dengan syukur atas hal-hal kecil yang masih kumiliki: keluarga, sahabat, kesehatan, pekerjaan.
Namun luka itu tentu belum sepenuhnya sembuh.
Kadang, ketika aku berpapasan dengan Setyo di kantor, aku masih merasakan sesak yang sama.
Matanya yang teduh tetap membuatku goyah.
Tapi kali ini, aku berusaha menguatkan hati: bahwa cintaku padanya kini bukan lagi untuk digenggam, melainkan untuk dipanjatkan dalam doa.
Aku menutup hari dengan satu kalimat di buku harianku:
“Hari ini aku belajar, cinta yang paling indah bukanlah ketika aku memilikinya, melainkan ketika aku mampu merelakannya sambil tetap mendoakannya.”
Epilog — Cinta yang Tersisa dalam Doa
Jakarta tak pernah benar-benar tidur. Lampu-lampu kota terus menyala, riuh kendaraan terus bergulir. Di tengah hiruk pikuk itu, aku berdiri sebagai satu jiwa yang pernah jatuh cinta dengan begitu tulus, lalu belajar melepaskannya dengan penuh air mata.
Setyo kini tetap menjadi rekan kerjaku. Kami masih saling menyapa, sesekali bertukar kabar ringan, tapi tak lebih dari itu.
Aku belajar menata hati: tidak semua yang membuat kita berdebar harus kita genggam, tidak semua yang kita doakan harus kita miliki.
Tangisan yang dulu menyesakkan kini perlahan menjadi doa yang menenangkan.
Aku menemukan diriku semakin dekat pada Allah, semakin sadar bahwa cinta sejati bukan tentang siapa yang mendampingi kita di dunia, melainkan siapa yang membuat kita lebih ikhlas menjalani takdir-Nya.
Aku menuliskan satu kalimat terakhir di buku harianku, sebagai penutup sekaligus pengingat:
“Aku pernah mencintai seorang lelaki bernama Setyo, dengan seluruh kelembutan hatiku. Dan meski aku tak pernah memilikinya, aku tetap bersyukur pernah merasakan debar itu. Kini cintaku padanya hanya tinggal doa—sebuah doa yang akan terus melangit, meski tak pernah sampai di pangkuannya.”
Lalu aku menutup buku itu.
Air mataku jatuh, tapi kali ini bukan karena sakit—melainkan karena lega.
Aku tahu, aku akan baik-baik saja.
