Cerpen - Mba Nana dan Semangkuk Chichai Gohan
Osaka, musim panas 1999.
Udara lembabnya sukses membuat kaos trainee basah kuyup bahkan sebelum jam makan siang. Aku yang sedang menimba ilmu di sebuah perusahaan elektronik terkemuka di Osaka—dan mungkin juga terkemuka di hati Mba Nana (meski dia tak pernah tahu)—punya satu ritual tetap setiap siang: makan di kantin perusahaan.
Biasanya aku membawa bekal dari Kansai Kenshu Center, tempat tinggalku. Tapi ada masalah besar: musim panas Jepang. Makanan basah bisa berubah menjadi eksperimen biologi dalam waktu singkat. Akhirnya aku dan teman-teman memilih solusi aman: bawa lauk kering dari asrama, dan beli nasi putih di kantin.
Nah, kantin ini punya sistem unik: dua ukuran nasi. Pertama, chichai gohan (nasi kecil) seharga 70 yen. Kedua, ukuran besar seharga 120 yen. Aku selalu memilih chichai gohan.
Setiap siang, prosesnya selalu sama. Aku membawa nampan, mengambil semangkuk chichai gohan, lalu menuju kasir. Di sanalah aku bertemu “dia”—seorang kasir perempuan yang tiap kali melihatku selalu berkata kalimat sakral itu:
“Nana juu en desu.”
(70 yen, ya.)
Kalimat itu sederhana. Tapi bagiku dan temanku, cukup untuk membuat kami memberi julukan rahasia: Mba Nana.
Bukan tanpa alasan. Di kepalaku yang sedang dilanda panas musim semi ke musim panas, logikanya sederhana: dia bilang nana juu en → artinya 70 yen → kata nana itu 7 → cocok lah jadi “Mba Nana”. Kreativitas trainee memang murah, tapi lumayan menghibur.
Hari demi hari, Mba Nana menjadi bagian dari keseharianku. Setiap kali aku menyerahkan mangkuk nasi kecil, beliau berkata “Nana juu en desu” dengan suara datar khas kasir profesional. Tapi entah kenapa, aku selalu merasa seperti disapa personal: “Nana… juu en… desu.”
Aku mulai berpikir, mungkin kalau aku beli nasi ukuran besar seharga 120 yen, beliau akan berkata, “Hyaku nijuu en desu.” Wah, jadi Mba Hyaku Niju? Kok kedengarannya kayak nama samurai di drama televisi.
Lalu ada satu kejadian yang membuat julukan itu makin melekat. Suatu siang, aku datang bersama temanku sambil bercanda. Saat Mba Nana berkata “Nana juu en desu”, temanku menyenggolku pelan dan berbisik,
“Eh, tuh… pacarmu manggil-manggil lagi.”
Aku hampir tersedak udara Osaka.
Sejak saat itu, Mba Nana resmi menjadi maskot pribadi di musim panas itu. Bersama “Mba Naga”—julukan lain untuk resepsionis Kansai Kenshu Center bernama Nagabayashi-san—aku memiliki dua “emba-emba” yang tanpa sadar ikut mewarnai masa trainee-ku.
Osaka mungkin panas dan lembab, tapi setiap makan siang ada seberkas kebahagiaan kecil: semangkuk chichai gohan, suara datar “Nana juu en desu”, dan julukan rahasia yang hanya kami yang tahu.
Siapa sangka, kenangan 70 yen bisa begitu mahal di hati.
TAMAT
Depok, 9 Agustus 2025
