Haji Bersama Kekasih: Perjalanan Iman dan Cinta di Tanah Suci



Pendahuluan

Ada doa yang lahir bukan di bibir, melainkan di dalam genggaman.
Ada keyakinan yang tumbuh bukan dari hitung-hitungan, melainkan dari keberanian untuk memulai meski dengan yang sedikit.

Tahun 2008, sebuah genggaman sederhana mengubah arah hidup kami. Istriku pulang dari sebuah majelis taklim, membawa selembar uang lima ribu rupiah—lusuh, ringan, nyaris tak berarti di mata dunia—namun di genggamannya, kertas itu menjadi kunci yang membuka pintu langit. Kata ustadz yang ia dengar siang itu sederhana: “Mulailah dengan keyakinan, bukan dengan jumlah. Allah tidak melihat banyaknya, tapi niatnya.”

Sejak saat itu, langkah kecil mulai kami ayunkan. Tidak sekaligus, tidak tergesa. Sedikit demi sedikit, dengan sabar dan yakin, hingga suatu hari surat undangan dari Allah SWT benar-benar datang: pendaftaran haji kami diterima.

Enam belas tahun kemudian, di gerbang keberangkatan menuju Baitullah, aku dan istriku kembali menggenggam tangan, seperti dulu ia menggenggam uang lima ribu itu. Bedanya, kali ini yang kami bawa bukan lagi kertas receh, melainkan seluruh keyakinan yang pernah kami rawat.

Cerita ini bukan sekadar catatan perjalanan haji. Ia adalah kisah tentang bagaimana keyakinan kecil bisa tumbuh menjadi undangan suci. Tentang bagaimana cinta dalam rumah tangga bisa menjadi kendaraan menuju surga. Dan tentang bagaimana satu genggaman—yang tulus, sederhana, dan penuh harap—bisa membuka pintu langit.


Genggaman yang Membuka Langit

Sore itu, di tahun 2008, matahari merayap pelan di balik pucuk pepohonan komplek perumahan kami. Burung-burung bernyanyi lirih, seakan menjadi latar bagi langkah istriku yang pulang dari majelis taklim di rumah salah seorang warga. Ia datang menemuiku di ruang tamu.

"Mas," ucapnya lirih, senyumnya hangat tapi matanya berbinar seolah baru menyentuh sepotong langit. "Tadi ustadz bercerita tentang haji..."

Aku menatapnya, "Apa katanya?"

"Beliau bilang, 'Mulailah dengan keyakinan, bukan dengan hitung-hitungan. Keluarkan uangmu yang ada di dompet, genggam, dan berdoalah. Jadikan itu tabungan awal. Allah tidak butuh jumlah, tapi niat dan yakinmu.'"

Ia terdiam sebentar, lalu mengeluarkan selembar uang lusuh dari tasnya. "Ini yang Ade keluarkan tadi. Lima ribu rupiah. Tapi Ade menggenggamnya sambil menangis, Mas... Rasanya seperti menggenggam kunci Ka'bah."

Aku tak langsung menjawab. Di benakku, angka-angka mulai bermain—gaji bulanan, kebutuhan dapur, dan biaya sekolah. Tapi dalam diam, hatiku pun ikut terguncang. Ada sesuatu yang lebih besar dari logika sedang menyelinap: harapan.

Hari itu di majelis, kata istriku, ustadz bersuara tak lantang, tapi menggetarkan.

"Jangan tanyakan bagaimana caranya kalian bisa ke Baitullah. Tanyakan pada diri kalian: kapan kalian mulai percaya bahwa Allah mampu menjemput kalian ke sana."

Jemaah hening. 

"Ambil uang kalian. Tak peduli seribu, dua ribu, lima ribu. Keluarkan sekarang. Genggam erat dan pejamkan mata. Bayangkan kalian bersama suami dan orang tua sedang berada di sisi Ka'bah. Katakan dalam hati: Ya Allah, ini awal tabungan hajiku. Sisanya aku serahkan pada-Mu."

Satu per satu, ibu-ibu menggigilkan jemari. Ada yang menangis. Ada yang memeluk uang receh seperti memeluk mimpi yang lama terkubur. Istriku juga. Katanya, uang lima ribu yang biasanya tak lebih dari ongkos sayur hari itu berubah menjadi cahaya. Dalam genggamannya, ia merasa Ka'bah begitu dekat, meski langkah kakinya masih jauh.

Sejak hari itu, kami mulai menabung. Sedikit demi sedikit. Aku menyisihkan gaji bulanan. 

Bulan berganti tahun. Rezeki datang tiba-tiba.

Akhirnya, kami pun mendaftar haji di tahun 2013. Saat menerima surat resmi itu, aku dan istriku saling menggenggam tangan seperti dulu ia menggenggam uang lima ribu itu. Kini bukan kertas receh, tapi undangan dari Allah SWT.


Ungkapan hati dan doa untuk istriku tercinta,

Istriku yang selalu meneduhkan hatiku…

Sore ini aku teringat kembali pada satu momen yang diam-diam mengguncang hidupku—sore tahun 2008, saat kamu pulang dari majelis dengan mata berbinar dan membawa selembar uang lima ribu dalam genggaman. Bukan jumlahnya yang membuatku terdiam waktu itu, tapi keyakinanmu… yang begitu besar, begitu dalam, dan begitu tulus. Aku bisa melihat cahaya di balik genggaman kecil itu—bukan sekadar uang receh, tapi sebuah kunci yang kelak membuka pintu langit bagi kita.

Terima kasih, Sayang…

Terima kasih karena kamu yang lebih dulu percaya. Kamu yang lebih dulu menggenggam harap, bahkan ketika aku masih sibuk menghitung-hitung kemungkinan. Terima kasih karena dari tangan kecilmu, lahir sebuah langkah besar dalam hidup kita. Tanpa kalimatmu sore itu, mungkin aku masih menunda-nunda keyakinan.

Maafkan Masmu…

Maaf karena bukan aku yang pertama kali memiliki keberanian itu. Maaf karena saat kamu sudah melangkah dengan doa dan air mata, aku masih tertinggal dalam kebimbangan. Tapi justru karena kamu, aku belajar—belajar bahwa niat itu bisa mengalahkan jarak, bahwa keyakinan itu bisa menggulung segala keraguan.

Doamu telah menjadi kendaraan kita. Dan genggamanmu yang sederhana, telah menjadi undangan suci dari Allah SWT.

Kini, setiap kali mengingat langkah-langkah kecil yang kita ayunkan bersama sejak hari itu, aku hanya bisa bersyukur—telah ditakdirkan bersamamu, seorang istri yang diam-diam mengajarkanku cara berharap dengan sebenar-benarnya.

Ya Allah…
Yang Maha Menggenggam hati hamba-hamba-Mu,
aku bersujud dengan penuh syukur atas anugerah terbesar dalam hidupku:
istri yang Engkau kirimkan sebagai penenang jiwa dan penuntun langkahku.

Ya Allah…
Saksikanlah bahwa hari ini aku mendoakan istriku dengan segenap hatiku.
Lindungilah ia dengan rahmat-Mu di setiap napasnya.
Lapangkan dadanya sebagaimana ia telah melapangkan dadaku.
Sehatkan tubuhnya sebagaimana ia telah menyehatkan pikiranku dengan keteguhan imannya.

Ya Allah…
Ampunilah segala kekhilafannya, sebagaimana ia selalu memaafkan kekuranganku.
Jadikan setiap tetes air matanya di sajadah sebagai permata yang Engkau kumpulkan
untuk menuntun langkahnya ke surga-Mu.

Ya Allah…
Sebagaimana Engkau ijinkan ia menggenggam uang lima ribu dengan keyakinan
dan Engkau bukakan jalan menuju Baitullah,
maka ijinkanlah ia menggenggam tanganku hingga kami sama-sama
melangkah menuju surga-Mu.

Ya Allah…
Jadikan rumah kami teduh karena sabarnya,
rezeki kami lapang karena syukurnya,
dan hidup kami berkah karena doa-doanya. Engkaulah sebaik-baik Penjaga cinta,
dan aku menitipkan cintaku pada istriku dalam genggaman-Mu. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamiin.

 

Tangis di Gerbang Keberangkatan

Sore itu, Kamis 30 Mei 2024, langit cerah membentang. Matahari condong ke barat, memantulkan cahaya keemasan di dinding rumah-rumah komplek perumahan. Udara hangat membawa aroma bunga dari taman depan rumah kami. Anak-anak tetangga berlarian di pinggir jalan, sementara orang-orang dewasa berkumpul di depan rumah kami—ibu, saudara, dan para tetangga—semua hadir mengantar.

Anak lelakiku, yang kini duduk di bangku kuliah tingkat akhir, sibuk membantu. Ia memanggul koper besar, mengatur barang-barang di bagasi mobil. Senyumnya tipis, namun matanya terlihat merah, seperti baru saja menahan sesuatu yang ingin pecah.

Satu per satu tetangga menyalami kami. Ada yang meraih tangan kami sambil berbisik, “Doakan kami juga, ya, Pak, Bu.” Ada pula yang memeluk erat, lebih lama dari biasanya. Setiap genggaman tangan dan pelukan itu meninggalkan rasa hangat sekaligus perih di dada.

Mobil yang dikemudikan anakku bergerak perlahan keluar dari gerbang komplek. Istriku menggenggam tanganku. Kami saling bertukar senyum, tanpa perlu bicara: ini adalah perjalanan yang selama ini kami nanti.

Universitas Islam Internasional Indonesia menjadi tujuan pertama kami. Di Masjid Rahmatalil Alamin, ratusan jemaah telah berkumpul. Kami, yang tergabung dalam KBIHU, berdiri di antara sekitar 144 orang jemaah ditambah dari KBIHU lain dalam satu kloter. Lantunan doa dan shalawat mengalun, mengisi ruang hati yang sudah setengah penuh oleh rasa haru. 

Selepas isya, pengumuman keberangkatan menuju Asrama Haji Bekasi terdengar. Suasana mendadak riuh: pelukan terakhir, salam panjang, dan lambaian tangan yang penuh doa.

Anak lelakiku kembali mendekat, memastikan koper kami sudah aman di bagasi bus. Senyumnya masih ada, tapi kali ini terlihat goyah. Saat aku mengangkat kaki menaiki tangga bus, suaranya pecah.

"Ayah… Bunda…" ucapnya, disertai isak yang tak lagi ia sembunyikan.

Aku menoleh. Air matanya mengalir deras. Tangannya meraih tanganku, erat, seperti tak ingin melepaskannya. Dalam pelukan singkat itu, aku kembali melihat bocah kecil yang dulu sering menungguku pulang di depan pintu rumah, bukan lagi pemuda dewasa yang siap lulus kuliah.

Istriku ikut memeluknya, mengusap kepalanya dengan lembut, seperti dulu. Aku berbisik,
"Jaga rumah… jaga  nenekmu. Doakan kami pulang dengan selamat."

Bus mulai bergerak. Dari jendela, aku melihat ia berdiri tegak di tepi halaman UIII, memandangi kami pergi. Malam yang cerah itu berubah menjadi malam yang penuh haru—karena setiap langkah menuju tanah suci selalu meninggalkan sepotong hati yang tertinggal di rumah.

 

Menuju Asrama Haji

Di bus yang membawa kami dari Universitas Islam Internasional Indonesia menuju Asrama Haji Bekasi, aku duduk di samping istriku. Pintu dunia seakan perlahan tertutup, sementara pintu menuju langit terbuka lebar. Ada rasa harap yang membuncah, namun juga sedih—meninggalkan rumah, anak, dan segala yang akrab di mata. Jemari kami saling menggenggam, erat seperti tak ingin lepas. Sepanjang perjalanan, talbiyah tak henti kami lantunkan, menyambut panggilan-Mu, ya Allah.

"Labbaik Allahumma labbaik…"
Suara kami bercampur dengan lantunan jemaah lain. Tak ada yang memikirkan lelah atau kantuk; semua hati hanya tertuju pada satu tujuan—Baitullah.

Jam 10 malam, bus akhirnya berhenti di gerbang Asrama Haji Bekasi. Udara malam terasa lebih hangat, seolah memeluk kedatangan kami. Petugas penyelenggara haji menyambut dengan senyum ramah, lalu mengarahkan kami melewati tahap-tahap akhir: tes kesehatan, pemberian gelang identitas, pembagian kamar, hingga uang saku living cost. Semua berlangsung rapi dan penuh rasa hormat.

Malam itu, lorong asrama menjadi saksi perpisahan sementara kami. Aku dan istriku berpisah menuju kamar masing-masing—ini mungkin malam pertama kami tidak tidur bersama, hingga kelak kembali ke tanah air. Aku memandang punggungnya yang perlahan menjauh di ujung lorong. Tak ada kata yang kami ucapkan, hanya pandangan yang saling menyimpan doa.

Menjelang subuh, mataku terbuka. Masjid asrama sudah memanggil dengan bisikan adzan pertama. Aku melangkah pelan menuju sana, lalu menegakkan salat tahajud. Dalam sujud, aku memohon agar Allah melancarkan ibadah haji kami, menjadikannya mabrur, dan mengembalikan kami ke tanah air dengan selamat. Istriku tak dapat ikut ke masjid, sebab sedang berhalangan.

Usai subuh, pimpinan rombongan mengajak seluruh jemaah berkumpul di halaman untuk memperagakan manasik haji—tawaf dan sa’i. Kami berjalan melingkar, berdoa, melafalkan niat, lalu berlari-lari kecil di antara batas Shafa dan Marwah yang disimbolkan di halaman itu. Meski hanya peragaan, hatiku bergetar membayangkan nanti akan benar-benar melakukannya di Masjidil Haram.

Hari itu berjalan pelan, seperti sengaja memberi ruang bagi kami untuk menyiapkan hati. Dari balik jendela kamar, aku melihat langit sore mulai temaram. Menjelang magrib, kami akan berangkat menuju bandara—gerbang menuju Tanah Suci. Di luar sana, dunia mungkin tetap sama. Tapi bagi kami, setiap detik kini adalah langkah menuju pertemuan suci yang telah kami tunggu selama bertahun-tahun.

"Labbaik Allahumma labbaik…"
Di dalam hati, talbiyah itu tak pernah berhenti.

 

Langkah-Langkah Menuju Baitullah

Jam lima sore, suasana Asrama Haji Bekasi berubah menjadi lautan putih. Seluruh jemaah, termasuk aku dan istriku, telah mengenakan pakaian ihram. Dua lembar kain putih yang sederhana itu terasa begitu agung, seolah mencopot semua identitas duniawi—jabatan, status, harta—hingga yang tersisa hanyalah diri seorang hamba di hadapan Allah SWTnya.

Kami membawa tas kecil berisi perlengkapan seperlunya. Sisa barang sudah dimasukkan ke koper besar yang akan diangkut ke bagasi. Petugas memanggil kami untuk bersiap menuju bus yang akan mengantarkan ke Bandara Soekarno-Hatta.

Jam enam lewat lima menit, deretan sebelas bus bergerak meninggalkan asrama. Lampu-lampu jalan menyapu wajah-wajah penuh haru dan harap di dalam bus. Talbiyah bergema tanpa henti:

"Labbaik Allahumma labbaik… Labbaika laa syarika laka labbaik…"

Setiap lantunan terasa seperti mengetuk pintu langit, mengabarkan kepada Arasy bahwa para tamu Allah sedang dalam perjalanan. Aku memandang wajah istriku sorot matanya bercerita banyak—tentang rindu yang akan segera terbayar, tentang doa-doa yang selama ini ia simpan rapat.

Perjalanan lancar. Jam delapan malam, kami tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Para petugas dengan sigap mengarahkan kami ke ruang tunggu khusus jemaah haji. Di sana kami melakukan salat jamak takhir untuk Magrib dan Isya, sekaligus QAsar untuk Isya, sambil menata hati menyongsong langkah berikutnya.

Menjelang tengah malam, suara panggilan keberangkatan terdengar. Jam sebelas lewat lima belas menit, kami mulai memasuki kabin pesawat Boeing 777 yang akan membawa kami ke Tanah Suci. Aku dan istriku duduk berdampingan. Tangannya meraih tanganku, dan aku genggam erat, seperti berjanji akan menemaninya dalam setiap detik perjalanan ini. Doa-doa terus kami panjatkan, di sela suara mesin pesawat yang mulai menggeram.

Pesawat mengangkat tubuhnya ke langit, meninggalkan tanah air yang kami cintai. Lampu-lampu kota perlahan mengecil, lalu hilang ditelan gelap samudra udara. Perasaan haru dan takjub bercampur jadi satu. Dalam hati, aku membayangkan Ka’bah yang sebentar lagi akan kulihat langsung—bukan lagi di layar televisi, bukan lagi di lembar foto.

Waktu berjalan, hingga subuh menyapa di udara. Jam lima pagi, pramugari mengumumkan bahwa pesawat telah berada di atas wilayah Ya Lam Lam, salah satu miqat bagi jemaah dari arah kami. Dengan khidmat, kami mengucapkan niat untuk melaksanakan umrah wajib. Mulai saat itu, semua larangan ihram harus kami patuhi—sebuah latihan kesabaran dan pengendalian diri yang sesungguhnya.

Setengah jam kemudian, pesawat mendarat mulus di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Udara hangat gurun langsung menyentuh kulit, berbeda dengan lembabnya udara tropis tanah air. Wajah-wajah jemaah penuh senyum syukur meski mata masih menyimpan lelah perjalanan.

Perjalanan belum selesai. Dari bandara, kami diantar dengan bus menuju Makkah. Hamparan padang pasir dan bukit-bukit batu yang tandus terbentang di sepanjang jalan. Sesekali aku memandang keluar jendela, membayangkan langkah kaki para nabi dan umat terdahulu yang mungkin pernah melewati jalan ini.

Akhirnya, menjelang siang, bus memasuki Kota Makkah. Menara-menara Masjidil Haram menjulang dari kejauhan, seolah menjadi mercusuar yang memanggil setiap hati yang datang. Air mata tak tertahan. Aku menunduk, bersyukur, sebab Allah benar-benar mengundang kami menjadi tamu-Nya.

Hotel Al-Keswah menjadi tempat kami menginap selama di Makkah. Dari sini, jarak menuju Masjidil Haram tak jauh. Di lorong hotel, aku dan istriku saling memandang, seakan mengerti bahwa inilah awal dari puncak perjalanan panjang kami—perjalanan yang dimulai dari sebuah pengajian sederhana di kompleks perumahan pada tahun 2008, yang kini berakhir di depan pintu Ka’bah.

"Labbaik Allahumma labbaik…"
Talbiyah itu kembali menggema, kali ini dengan hati yang hampir tak percaya bahwa sebentar lagi, mata kami akan memandang rumah Allah untuk pertama kalinya.

 

Malam Pertama di Baitullah

Tanggal 1 Juni 2024, waktu Dzuhur baru saja berlalu di Kota Makkah.
Setelah perjalanan panjang dari tanah air, aku dan istriku memutuskan beristirahat sejenak di Hotel Al-Keswah. Kamar kami bersebelahan, hanya dipisahkan oleh dinding tipis dan lorong yang sunyi.

Di tengah kepenatan itu, kami bertemu di lorong hotel. Istriku menatapku dengan wajah letih namun penuh harap. Dengan suara pelan ia berkata,

“Mas… mudah-mudahan sore ini Ade sudah suci, jadi bisa ikut tawaf bersama rombongan KBIHU.””

Aku mengangguk, menangkupkan kedua telapak tangan, dan berdoa semoga Allah mengizinkannya. Namun, kehendak-Nya berkata lain. Ia belum diizinkan. Raut wajahnya tak bisa menyembunyikan kecewa, dan aku pun merasakannya di dalam dada. Malam itu, aku harus berangkat sendiri, meninggalkan separuh jiwaku di kamar hotel.

Jam sebelas malam, bus shalawat yang akan membawa kami menuju Masjidil Haram berangkat. Dari balik jendela, lampu-lampu jalan kota Makkah menyala redup, seakan memberi isyarat bahwa malam ini adalah malam suci. Suara talbiyah terdengar lirih dari beberapa jemaah, sementara yang lain terdiam, mungkin tenggelam dalam doa masing-masing.

Sesampainya di kompleks Masjidil Haram, jumlah jemaah begitu luar biasa banyak. Rombongan KBIHU kami, yang berjumlah lebih sekitar seratus empat puluh orang, dibagi menjadi dua kelompok untuk memulai tawaf. Aku masuk bersama rombongan kedua.

Dan di sanalah—untuk pertama kalinya dalam hidupku—mataku melihat Ka’bah dengan nyata. Bentuknya sederhana, namun pancaran sucinya menembus hati. Mataku memanas, air bening jatuh perlahan tanpa bisa kutahan. Aku berdiri mematung sejenak, membiarkan rasa haru membanjiri dada.

Kami mulai melangkah, menyusuri putaran demi putaran. Namun karena lautan manusia begitu padat, langkah kami hanya bergerak sedikit demi sedikit. Pada putaran kelima, rombongan yang awalnya sekitar 70 orang mulai tercerai-berai. Arus manusia seperti gelombang laut yang memisahkan kapal-kapal kecil. Hingga akhirnya, aku hanya bersama tujuh orang jemaah lain ketika putaran terakhir selesai.

Tanpa pembimbing, kami berpegang pada pelajaran manasik yang pernah kami dapatkan dari KBIHU. Kami melanjutkan sa’i dari Shafa ke Marwah, langkah-langkah kecil kami iringi dengan doa, memohon agar setiap jarak yang ditempuh menjadi saksi penghambaan. Meski lelah mendera, hati terasa ringan—karena setiap gerakan adalah bagian dari janji yang kami bawa dari tanah air.

Tepat pukul tiga dini hari, sa’i selesai. Dengan hati yang penuh syukur, kami melaksanakan tahalul—memotong rambut sebagai tanda telah terbebas dari larangan ihram. Rasanya seperti baru saja melepas beban panjang yang dipikul sejak niat ihram di pesawat.

Di pintu keluar sa’i, aku melihat wajah-wajah yang kukenal. Rombongan KBIHU mulai berkumpul kembali, meski tidak semua. Kami saling tersenyum, saling menepuk bahu, seperti saudara yang bertemu setelah lama terpisah. Alhamdulillah, seluruh jemaah kami akhirnya kembali ke hotel dengan selamat.

Di lorong hotel, istriku menyambutku dengan senyum hangat, meski matanya terlihat sedikit basah. Aku berdiri di depannya, lalu berkata pelan,
“De…Nanti, saat waktumu tiba, Mas akan menuntunmu untuk melihatnya pertama kali. InsyaAllah, itu akan jadi momen terindah kita di sini.”

 

Dalam Putih yang Menangis

Malam itu tanggal 2 Juni 2024, Makkah masih berselimut gemerlap lampu yang menyatu dengan cahaya langit. Udara terasa hangat, namun hati kami jauh lebih hangat dari udara gurun yang menempel di kulit. Umrah wajib yang menjadi awal ibadah haji - Tamattu telah kulalui kemarin malam bersama rombongan KBIHU. Istriku tak bisa ikut karena sedang berhalangan. Malam ini, giliranku untuk mengantarnya menjalankan tawaf dan sa’i yang tertunda.

Kami hanya berdua. Di tengah lautan putih, langkah-langkah kami menyusuri pelataran Ka’bah. Tak banyak kata. Hanya gumam doa yang saling bersahutan dari mulut para peziarah. Di antara jutaan, aku merasa hanya ada kami.

Dia menggenggam ujung kain ihramku saat berjalan, seperti anak kecil yang tak ingin tertinggal. Aku tahu, matanya sembab. Bukan karena lelah semata, tapi karena haru yang belum sempat tumpah.

Selesai tawaf dan sa’i, kami berdiri di pinggir, sedikit menyisih dari keramaian. Ia memandangku, mencoba menahan getar di bibirnya.

“Sudah selesai sayang,” katanya lirih.

Aku mengangguk, lalu mengeluarkan gunting kecil yang kupersiapkan sejak sore. Tanganku terulur, menarik pelan jilbab panjang yang menutupi kepala dan punggungnya. Ia mengangguk tanda setuju, dan dengan gerakan lembut, aku selipkan kedua tanganku ke dalam jilbabnya.

Aku cari helai-helai rambutnya, pelan, seperti menyentuh sesuatu yang suci. Gunting di tangan kananku berbunyi: krik. Helai rambut itu pun jatuh, kecil, nyaris tak terlihat, namun punya makna yang dalam.

Saat itu, ia menangis.

Air matanya jatuh tanpa suara. Tak seperti saat pertama kali melihat Ka’bah —yang sudah cukup membuat dadanya berguncang. Tapi malam ini, lebih dari itu. Tangisnya bukan hanya karena suci tempat ini, tapi karena suci momen ini: dipotongkan rambutnya oleh seseorang yang mencintainya bukan hanya sebagai pasangan, tapi sebagai bagian dari pengabdian.

“Terima kasih sayangku, telah mendampingiku” katanya sambil menyeka air mata dengan ujung lengan.

Aku hanya tersenyum, menunduk, tak bisa berkata apa-apa. Ka’bah menjadi saksi bagaimana cinta itu tak hanya diungkap lewat bunga dan kata-kata manis, tapi lewat ibadah, pengorbanan, dan detik-detik sederhana seperti ini.

Kami berdiri. Ia kembali menyamakan langkah denganku. Rambutnya kini telah menjadi bagian dari ibadah. Dari pengikhlasan.

Dan dalam sunyi malam itu, aku tahu: cinta kami sedang dilimpahi berkah dari langit.

 Isi Perasaanku 

Malam ini, aku berjalan bersamamu di antara jutaan manusia, tapi sungguh... hanya kau yang kulihat.

Kau genggam ujung kain ihramku seperti anak kecil yang takut tertinggal—dan di situ aku merasa jadi laki-laki paling dibutuhkan di bumi.
Langkah-langkah kita seirama, menyusuri pelataran suci, tak perlu banyak kata—karena cinta yang sebenar-benarnya justru terasa dalam diam.

Saat tawaf usai dan sa’i pun selesai, kau memandangku. Matamu menyimpan hujan yang tertunda. Aku tahu, itu bukan sekadar air mata, tapi gema dari rasa syukur dan keikhlasan yang tak bisa kau ucapkan.

Ketika kau mengangguk dan aku mulai menyelipkan tanganku ke balik jilbabmu—mencari helai rambutmu—aku seperti sedang menyentuh bagian terdalam dari cintaku sendiri.

Potongan rambut itu mungkin kecil, nyaris tak berarti di mata dunia. Tapi bagiku, itu seperti segel akhir dari pengabdian kita malam ini.
Tak ada akad, tak ada pesta. Tapi potongan itu adalah janji sunyi—bahwa kita akan terus bersama, dalam ibadah, dalam ikhlas, dalam cinta yang tidak mengikat, tapi membebaskan.

Saat kau menangis, aku tahu: aku mencintaimu bukan hanya sebagai istri, tapi sebagai sahabat yang berjalan ke surga bersamaku.

 

Isi Perasaan Istriku

Aku berjalan di sampingmu malam ini—dalam putih, dalam sunyi. Tak ada suara yang lebih menenangkan selain desahan zikir dan detak kakimu di sisiku.

Aku menggenggam ujung kainmu, seperti anak kecil yang takut tersesat, karena hatiku tak siap jika harus menjauh barang sejenak.
Ada haru yang menggantung sejak kita mulai mengelilingi Ka'bah. Haru karena aku tak sendiri. Haru karena kau menuntunku, bukan hanya di dunia, tapi juga menuju Allah SWT kita.

Ketika tawaf dan sa’i selesai, aku hampir tak bisa bicara. Aku hanya bilang, “sudah selesai sayang,” tapi hatiku justru baru mulai menangis.

Lalu kau keluarkan gunting kecil. Aku tahu momen itu akan datang. Dan aku pasrahkan rambutku—yang selama ini kusembunyikan rapat-rapat—untuk kau potong, sebagai tanda bahwa ibadahku telah sempurna.

Kau menyentuh rambutku dengan hati-hati, seolah takut menyakitiku. Tapi aku justru menangis, bukan karena sakit, melainkan karena disentuh dengan cinta yang tak pernah kuduga sedalam ini.

Air mataku jatuh, dalam diam. Karena cinta ini suci.
Karena aku tahu: aku dicintai bukan hanya sebagai perempuan, tapi sebagai pendamping hidup, dalam taat, dalam ibadah, dalam perjalanan menuju Allah.

Dan saat kau menunduk, tersenyum, aku tahu: malam ini, rambutku telah menjadi saksi bahwa aku tak sendiri. Bahwa cinta ini tak sia-sia. Bahwa aku tak salah memilihmu.

 

Ratib Cinta di Pelataran Masjidil Haram

Saat-saat yang paling indah dalam cinta kami di tanah suci adalah ketika aku terbangun pada pukul setengah tiga pagi. Suasana kamar begitu hening, hanya suara pendingin ruangan yang terdengar lembut. Dalam remang cahaya lampu tidur, aku meraih telepon genggam dan menekan nomor istriku yang berada di kamar sebelah.

“Sudah siap, sayang?” bisikku pelan, seakan takut membangunkan dunia yang masih terlelap.
Dari seberang terdengar suara yang membuat hatiku hangat, “Iya, sayang, sebentar lagi Ade keluar.”

Tak lama kemudian kami sudah berjalan beriringan menuju lift. Udara dini hari terasa hangat, bercampur aroma khas Makkah yang sulit digambarkan—antara wangi tanah, debu, dan parfum minyak kasturi dari para peziarah yang sudah lebih dulu menuju masjid. Langkah kami mantap menyusuri jalan sepanjang 1,6 kilometer menuju Ka’bah. Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya lembut di permukaan batu, dan sesekali terdengar sayup-sayup lantunan doa dari jamaah lain yang melangkah dengan niat sama. Menara Zam-zam yang menjadi ikon kota Makkah berdiri tegak di depan kami

Sesampainya di pintu masuk Masjidil Haram, kami saling menatap sejenak. Aku mengingat titik di mana kami akan berpisah—tempat yang sama agar nanti, setelah Subuh, kami bisa bertemu kembali. Kami berpisah dengan senyum dan doa dalam hati, lalu masing-masing larut dalam ibadah malam.

Aku memilih salat malam terlebih dahulu. Sujud di hadapan Ka’bah di waktu sepertiga malam adalah momen yang sulit diceritakan dengan kata-kata—seolah waktu berhenti, dan yang ada hanyalah aku, Allah SWTku, dan doa-doa yang mengalir tanpa batas. Setelah itu, bila waktu Subuh belum tiba, aku lanjutkan dengan tilawah Al-Qur’an, membiarkan ayat-ayat suci mengalir di bibirku, menenangkan hati.

Setelah adzan Subuh berkumandang, kami salat berjamaah. Usai salat, aku keluar menuju pelataran luar masjid, mencari istriku yang sudah menungguku. Kami duduk berdampingan,  di pelataran dan memandang langit yang perlahan memucat.

Kami membuka aplikasi Ratib Al-Haddad di ponsel yang selalu kami bawa. Suara istriku mulai lirih mengucapkan “Bismillahirrahmanirrahim…”, lalu kami bersama-sama melantunkan bacaan demi bacaan dengan khusyuk, seolah setiap kata menjadi jembatan doa yang terbang menuju Langit

"Astaghfirullaha Rabbi min kulli dzanbin wa atubu ilaih"
— Tujuh kali kami ulang, dengan irama lembut dan penuh penyesalan, seakan setiap kata "Astaghfirullah" itu meleburkan lapisan-lapisan dosa yang menutupi hati kami.

Sesekali aku melirik istriku. Matanya terpejam, bibirnya bergerak pelan, dan di pipinya terlihat kilau air mata yang tertahan. Dalam hati, aku pun ikut bergetar: Ya Allah, jagalah ia. Panjangkan umurnya dalam ketaatan, dan izinkan kami selalu duduk berdampingan seperti ini sampai akhir hayat.

Ratib itu terus berlanjut, ayat demi ayat, zikir demi zikir, doa demi doa. Kami membaca La ilaha illallah dengan napas yang dalam, seperti sedang mengetuk pintu langit. Di sela-selanya, kami menyisipkan doa untuk orang tua, keluarga, kerabat, tetangga, dan bahkan orang-orang yang mungkin pernah menyakiti kami.

Ketika matahari mulai memantulkan cahaya keemasan di puncak menara masjid, dzikir kami usai. Wajah kami terasa basah oleh air mata, namun hati terasa lapang. Kami pun melangkah pulang ke hotel, melewati jalan yang mulai ramai oleh pedagang kaki lima yang menjajakan berbagai oleh-oleh dan keperluan jamaah haji.

Kadang kami menyempatkan diri mampir ke sebuah stand sederhana yang menyediakan kopi panas dan roti gratis. Aroma kopi bercampur dengan suara riuh jamaah yang saling berbagi cerita membuat pagi di Makkah menjadi sempurna—pagi yang tak akan pernah kami lupakan.

 

City Tour di Tanah Suci

Tanggal 6 Juni 2024, tepat pukul 06.30 pagi, rombongan jemaah dari KBIHU kami sudah siap menaiki bus sewaan. City tour ini menjadi jeda indah di sela-sela kesibukan ibadah haji, sebuah perjalanan singkat mengenal jejak sejarah para nabi. Aku dan istriku duduk berdampingan di kursi tengah bus, memandang ke luar jendela yang mulai disapu cahaya matahari Makkah.

Perhentian pertama adalah Jabal Tsur, gunung yang di puncaknya terdapat Gua Tsur — tempat Rasulullah ﷺ bersama Abu Bakar r.a. bersembunyi dari kejaran kaum kafir Quraisy saat hendak hijrah ke Madinah. Dari bawah bukit, kami menatap puncaknya yang kokoh. Bayangan kisah itu terlintas dalam hati: keteguhan iman yang membuat langkah Nabi tak tergoyahkan.

Bus kembali bergerak, melewati jalanan yang berdebu namun menyimpan sejarah ribuan tahun. Kami menuju Padang Arafah, tempat yang kelak menjadi lokasi wukuf — puncak ibadah haji. Di sana, kami singgah di Jabal Rahmah, bukit yang diyakini sebagai tempat pertemuan kembali Nabi Adam a.s. dan Siti Hawa setelah berpisah sekian lama. Bersama istriku, aku menaiki puncaknya. Angin pagi berhembus, dan aku teringat saat pertama kali cinta mengetuk hati kami, di suatu pagi yang banjir, saat seorang gadis menyapaku ketika aku bersepeda hendak berangkat sekolah. Rasanya, bukit ini benar-benar layak disebut bukit cinta.

Perjalanan dilanjutkan ke Muzdalifah, sebuah padang luas yang kelak akan menjadi lautan manusia bermalam hanya beratapkan langit. Dari sana, bus bergerak menuju Mina, lokasi tenda-tenda putih yang kelak akan dipenuhi jutaan jemaah untuk melaksanakan lempar jumrah. Kami tidak turun, hanya mendengarkan penjelasan tour guide sambil membayangkan suasana hari-hari besar itu nanti.

Tak jauh dari situ, kami melewati Jabal Qurban, tempat Nabi Ibrahim a.s. bersiap menyembelih putranya, Nabi Ismail a.s., sebagai bentuk ketaatan mutlak pada perintah Allah. Dan dalam perjalanan pulang menuju hotel, kami ditunjukkan pemakaman Ma’la di tengah kota Makkah, tak jauh dari Masjidil Haram — tempat peristirahatan terakhir beberapa kerabat Rasulullah ﷺ.

City tour ini bukan sekadar perjalanan mengunjungi tempat, tapi juga perjalanan hati. Setiap lokasi yang dilewati seperti mengetuk pintu iman, mengingatkan bahwa di balik batu dan pasir ini tersimpan kisah pengorbanan, kesetiaan, dan cinta yang abadi.

 

Umrah Sunnah di Antara Cinta dan Doa

Malam itu, jam menunjukkan pukul sembilan, 7 Juni 2024. Di tengah udara Makkah yang hangat dan tenang, aku dan istriku bergabung dengan sekitar 70 jemaah lain dari KBIHU kami. Malam ini, kami akan menunaikan umrah sunnah, sebuah ibadah tambahan yang memperkaya pahala di sela-sela penantian menuju puncak haji di Padang Arafah.

Bus yang kami tumpangi melaju membelah malam, menuju Tan’im—sebuah kota kecil yang menyimpan kisah mulia Ummul Mukminin, Siti Aisyah radhiyallahu ‘anha. Di sanalah berdiri Masjid Siti Aisyah, tempat kami memulai miqat dan melafalkan niat umrah. Saat kalimat niat itu keluar dari bibir, hatiku seperti diikat pada satu tekad: semoga perjalanan ini menjadi persembahan terbaik kami di hadapan Allah.

Perjalanan berlanjut ke Masjidil Haram. Cahaya lampu di pelataran Ka’bah menyambut dengan keagungan yang tak pernah lekang oleh waktu. Bersama rombongan, kami mulai bertawaf. Putaran demi putaran kami jalani, sambil sesekali menatap wajah Ka’bah yang agung, mengalunkan doa, dan merasakan getaran iman di dada.

Di tengah langkah-langkah itu, istriku tiba-tiba berkata dengan nada lirih, entah bercanda atau tulus dari hati,
"Mas… enakan berdua saja ya."

Entah bagaimana, ucapan itu seperti langsung direspon oleh Allah. Pada putaran terakhir tawaf, tanpa kami rencanakan, kami terpisah dari rombongan. Hanya ada aku dan dia, melanjutkan ibadah ini berdua. Malam itu, Ka’bah menjadi saksi perjalanan kecil yang mengikat cinta dan doa kami.

Sa'i kami lalui dengan irama langkah yang sama. Setiap titik sa’i—dari Shafa ke Marwah—seakan menyimpan doa-doa rahasia yang hanya kami dan Allah yang tahu. Hingga akhirnya, sekitar pukul satu dini hari, tahallul selesai. Dengan rambut yang telah dipangkas, hati kami terasa lebih ringan, seolah seluruh beban rindu, doa, dan harapan telah tertata rapi di hadapan Allah.

Kami pun kembali ke hotel, berdua, dengan bus shalawat yang melantunkan ayat-ayat dan pujian kepada Rasulullah ﷺ. Dalam perjalanan pulang, aku berbisik pelan kepada istriku, “Lain kali, jangan mengucapkan hal yang kurang baik di Tanah Suci ini.” Dia tersenyum, lalu kujawab sendiri ucapanku, “Tapi mungkin kali ini, Allah sedang menambahkan cinta di antara kita.”

Malam itu, umrah sunnah yang awalnya diniatkan sekadar menambah pahala, berubah menjadi perjalanan batin yang mempertemukan dua rasa: cinta yang menuju Allah, dan cinta yang semakin erat di antara kami berdua.

 

Makan Berdua di Lorong Hotel

Selama di tanah suci, kami mendapat jatah makan tiga kali sehari—pagi, siang, dan malam. Semua makanan sudah dikemas rapi per paket oleh pihak katering. Sesuai jadwal piket, beberapa anggota rombongan KBIHU bertugas membagikan ke setiap kamar. Biasanya satu pintu mendapat lima box, sesuai jumlah penghuninya.

Begitu makanan tergeletak di depan pintu, aku atau istriku akan saling menghubungi. Teleponnya singkat saja:
"Mau makan kapan, sayang?"
"Ayo sekarang."

Tanpa perlu banyak kata, kami pun keluar dari kamar membawa makanan masing-masing. Tapi bukan untuk makan di dalam kamar seperti yang lain. Kami sudah punya “meja makan” khusus: sebuah sudut lorong hotel, beralas karpet tebal, dengan tembok sebagai sandaran. Di sanalah kami duduk berhadapan, hanya berdua, seolah lorong panjang itu adalah ruang makan pribadi yang disediakan Allah untuk kami.

Kadang, jemaah lain yang lewat tersenyum sambil menggoda, “Wah, romantis banget” Ada pula yang mengaku iri—bukan hanya pada kebersamaan kami, tapi juga pada suasana tenang yang entah kenapa terasa begitu hangat di sudut lorong itu.

Sebelum makan, aku biasanya sudah menyiapkan semuanya. Teh hangat dalam termos kecil, potongan buah segar yang datang bersama paket nasi, kadang tambahan roti. Istriku hanya perlu duduk dan tersenyum, sementara aku menuangkan teh ke gelas yang kami bawa dari tanah air dan membukanya untuknya lebih dulu.

Tentu, kadang kami juga makan bersama jemaah lain, berbagi tawa dan cerita. Tapi di hati, kami sama-sama tahu bahwa momen paling manis adalah saat makan berdua, hanya kami berdua, di lorong hotel yang menjadi saksi sederhana betapa cinta itu bisa hadir di sela-sela ibadah.

 

Di Antara Mesin Cuci dan Sajadah Duha

Pagi itu, seperti biasa, setelah makan bersama di lorong hotel, kami memulai rutinitas mencuci baju. Hotel Al-Keswah sudah menyediakan belasan mesin cuci. Di sinilah, entah kenapa, aku selalu lebih banyak berperan. Rasanya seperti menjadi “ibu-ibu” dadakan. Pernah suatu kali, seorang ibu jemaah dari KBIHU lain menghampiri dan minta diajari cara mengoperasikan mesin cuci. Dia memujiku sambil terkekeh, “Wah, jarang-jarang ada bapak yang bisa nyuci begini.” Aku hanya tersenyum, meski dalam hati berkata, Kalau di rumah, yang nyuci ya istriku.

Sambil menunggu mesin cuci berputar, biasanya kami berpisah sebentar untuk menunaikan salat duha di masjid hotel. Letaknya hanya beberapa langkah dari ruang cuci, tapi terpisah antara laki-laki dan perempuan. Setelah salam terakhir, aku selalu mencari wajahnya di antara jamaah yang keluar. Ada rasa lega ketika pandangan kami bertemu, seolah salat tadi hanya jeda kecil dalam kebersamaan kami.

Begitu mesin cuci selesai, giliran istriku yang memegang kendali. Aku mengantarnya ke area jemuran di samping bangunan hotel. Udara di sana lebih panas. Aku berdiri menunggunya, kadang ikut membantu menjepit ujung baju sesuai permintaannya. Momen itu sederhana, tapi bagiku terasa seperti bekerja sama membangun rumah tangga, hanya saja kini “rumahnya” adalah perjalanan suci ini.

Saat semua baju terjepit rapi di tali jemuran, kami kembali berjalan menuju hotel. Anehnya, meski kamar kami bersebelahan, ada rasa berat setiap kali harus berpisah untuk istirahat menjelang dzuhur. Mungkin karena aku tahu, setiap menit di sini terasa begitu berharga untuk dihabiskan bersama.

 

Keberangkatan ke Padang Arafah

Jumat, 14 Juni 2024 atau 8 Dzulhijjah 1445 H, subuh baru saja usai. Udara pagi di Makkah terasa panas, namun hati kami justru berdebar hangat. Hari itu adalah awal dari puncak ibadah haji—ARMUZNA, singkatan dari Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Inilah inti perjalanan panjang kami.

Usai mandi sunnah dan mengenakan pakaian ihram, kami berkumpul di lorong hotel. Dengan bimbingan pembimbing KBIHU, kami bersama-sama mengucapkan niat haji. Suaranya lirih, namun terasa getarannya hingga ke dada. Sesaat, aku memandang istriku di sebelahku—mata kami bertemu, dan tanpa kata-kata pun aku tahu bahwa di balik kain putih ihramnya, ia menyimpan harap dan doa yang sama denganku.

Sekitar pukul 09.30, kami berangkat dengan bus menuju Padang Arafah. Sepanjang perjalanan, mulut kami tak henti berzikir, memohon kelancaran dan kekuatan. Dari kejauhan, tenda-tenda putih mulai terlihat, berjajar rapi seperti lautan yang tak bertepi. Sesampainya di lokasi sekitar pukul 10.30, kami langsung diarahkan menuju tenda yang telah disiapkan.

Tenda itu dipenuhi oleh 144 jemaah dari KBIHU kami. Matras-matras tipis, berukuran dua meter kali setengah meter, disusun rapat tanpa jarak—seakan tak memberi ruang untuk sekadar meluruskan kaki tanpa menyentuh orang lain. Karena tenda laki-laki dan perempuan terpisah oleh sekat kain, aku pun harus berjauhan dengan istriku. Kami hanya bisa saling mengirim senyum singkat sebelum berpisah di pintu tenda.

Sebagian jemaah harus rela tak mendapat matras dan berbagi dengan yang lain. Kamar mandi pun menjadi tantangan tersendiri—antreannya panjang, dan fasilitasnya terbatas. Namun, semua ini telah kami siapkan di hati sejak awal. Dari awal, para pembimbing telah mengingatkan: “Jangan mengeluh. Puncak haji adalah ujian kesabaran. Yang kita cari di sini adalah ridha Allah, bukan kenyamanan dunia.”

Maka, kami menerimanya dengan lapang dada. Justru dalam kepadatan dan keterbatasan itu, aku merasakan betapa dekatnya kami semua—tidak hanya secara fisik, tapi juga secara hati. Sama-sama meninggalkan kemewahan, sama-sama meraih keikhlasan.

Pada hari Jumat ini kami tidak melaksanakan salat Jumat, tetapi menggantinya dengan salat jamak qasar taqdim: Dzuhur dengan Asar, dan Magrib dengan Isya, sesuai tuntunan Nabi ﷺ ketika melaksanakan ibadah haji.

 

Menjaga Cinta di Tengah Arafah

Malam itu, tanggal 9 Dzulhijjah, udara Arafah tetap terasa panas. Jam dua dini hari aku terbangun dengan niat menunaikan salat malam. Setelah mengantri cukup lama di kamar mandi dan berwudu, langkahku terhenti ketika aku menuju bagian belakang tenda—tempat para jemaah perempuan beristirahat.

Di sana kulihat istriku sedang dirawat oleh seorang petugas kesehatan dan beberapa jemaah perempuan. Wajahnya pucat, matanya sayu, dan tubuhnya tampak lemah. Rupanya ia hampir pingsan karena terlalu lama mengantri di kamar mandi. Tanpa pikir panjang aku segera duduk di sisinya, memegang tangannya yang dingin, dan mulai memijat punggung serta jemarinya.

Niat salat malam yang tadi kubawa langsung kulepaskan. Saat itu, yang lebih penting adalah mendampingi istriku. Aku tak ingin ia merasa sendirian di antara ribuan manusia yang memadati Arafah. Hingga adzan Subuh berkumandang, aku tetap berada di sisinya, memastikan ia bisa beristirahat agar cepat pulih.

Selesai Subuh, aku duduk di sebelahnya, membaca ayat-ayat suci sambil sesekali menatap wajahnya. Angin subuh berhembus pelan dari sela-sela tenda, membawa kehangatan di tengah hiruk pikuk ribuan jemaah. Saat matahari mulai naik dan sarapan dibagikan, aku menemaninya makan. Seorang jemaah perempuan yang lewat sempat bercanda, “Wah, kesempatan makan berdua lagi nih…” Candaan itu membuat kami tersenyum di tengah rasa lelah.

Meski kondisinya belum pulih sepenuhnya, aku mengajaknya salat duha di belakang tenda, tepat di tempat kami sarapan tadi. Seusai salat, aku tetap mendampinginya, bahkan ketika ia harus ke kamar mandi aku menunggu di luar. Menjelang siang, ia kembali ke tenda untuk beristirahat, dan aku pun kembali ke bagian jemaah laki-laki, menanti saat wuquf tiba dengan hati yang setengah tertinggal di sisinya.

 

Wukuf: Puncak Segala Doa

Tenda kami terasa sesak—144 orang dalam satu ruang, namun hati kami seperti terbuka seluas langit. Begitu adzan Dzuhur berkumandang, suasana menjadi hening. Seorang jemaah naik ke depan, memberi ceramah tentang makna wukuf. Suaranya bergetar saat mengingatkan bahwa inilah inti ibadah haji, inilah momen ketika doa-doa dibentangkan tanpa sekat, saat Allah turun dengan rahmat-Nya, mengampuni hamba-hamba-Nya yang bersimpuh memohon.

Salat Dzuhur kami laksanakan dengan jamak Asar, sesuai tuntunan Rasulullah ﷺ. Selesai salat, dzikir pun dimulai. Lantunan Subhanallah, Alhamdulillah, Laa ilaha illallah, Allahu Akbar terdengar bertalu-talu, kadang lirih, kadang meninggi, namun selalu penuh getar hati. Tangis mulai terdengar di sana-sini—lirih pada awalnya, lalu pecah menjadi isak yang tidak bisa dibendung. Aku sendiri tidak kuasa menahan air mata. Air mata itu jatuh bukan sekadar karena sedih, tapi karena rasa syukur yang tak mampu dijelaskan kata.

Setelah dzikir, kami saling memberi salam, saling berpelukan, saling mengucapkan taqabbalallahu minna wa minkum. Ada pelukan erat dari jemaah yang baru kukenal beberapa hari, namun rasanya seperti saudara lama yang telah melalui perjalanan panjang bersama. Semua seolah dibersihkan oleh satu hal yang sama—cinta kepada Allah.

Ketika pembimbing memberi kesempatan untuk berdoa di luar tenda, aku segera mencari istriku di bagian jemaah perempuan. Kami duduk bersisian di samping tenda, beralaskan kardus bekas, menatap langit Arafah yang terbuka luas tanpa batas. Angin padang pasir berhembus pelan, membawa aroma debu dan harapan.

Kami berdoa dalam diam, hanya bibir yang bergerak. Untuk anak kami, semoga suatu saat bisa menginjakkan kaki di tanah suci ini. Untuk orang tua, semoga diampuni dosa-dosanya dan diberi kedudukan mulia di sisi-Nya. Untuk saudara, kerabat, tetangga, dan guru-guru kami. Untuk orang-orang yang telah menyakiti kami, agar mereka diampuni. Untuk diri kami sendiri, agar hati ini selalu lunak di hadapan-Nya.

Di tengah doa, tangis kami pecah. Air mata istriku jatuh ke punggung tanganku yang menggenggamnya erat. Aku tidak peduli pada ribuan manusia di sekitar; hanya ada kami berdua dan Allah di sana.

Hari itu, di Padang Arafah, aku merasa cinta kami menjadi semakin suci—bukan hanya cinta antara suami istri, tapi cinta dua hamba yang sama-sama ingin pulang kepada-Nya dengan hati bersih.

 

Perjalanan Menuju Muzdalifah

Istriku belum benar-benar pulih. Wajahnya masih pucat, tapi senyum tipisnya berusaha menenangkan hatiku. Sejak pagi, aku tak pernah jauh darinya—mengiringi setiap langkahnya keluar tenda, menunggunya di depan kamar mandi, memastikan ia tak sendirian di tengah lautan manusia ini.

Menjelang Magrib, pembimbing kami memberi arahan untuk berkemas menuju Muzdalifah. Di sana kami akan bermalam di tanah lapang, melanjutkan rangkaian ARMUZNA. Aku menuntun istriku menuju titik kumpul. Sore itu, udara Arafah tetap hangat, tapi kelelahan yang menumpuk membuat tubuh seperti tak merasakannya.

Kami duduk di tanah beralaskan tas masing-masing sambil menunggu bus jemputan. Waktu terasa berjalan lambat. Jutaan jemaah dari seluruh dunia bergerak menuju arah yang sama, membentuk arus manusia yang tak ada ujungnya. Bus yang datang silih berganti seringkali sudah penuh, hingga kami harus sabar menunggu. Baru sekitar pukul 7 malam, bus untuk rombongan kami tiba.

Di dalam bus, suasana padat dan pengap. Istriku mendapat kursi, tapi aku memilih berdiri di sampingnya, menggenggam tangannya erat. Sesekali aku memijat jemarinya, mencoba meredakan letih yang tampak jelas di wajahnya. Perjalanan ke Muzdalifah hanya memakan waktu kurang dari dua jam, tapi rasanya seperti berhari-hari—jalan macet, klakson bersahut-sahutan, dan lautan manusia di luar tak kunjung surut.

Kami tiba di Muzdalifah hampir pukul 9 malam. Begitu turun, pemandangan yang kulihat membuatku tertegun: hamparan tanah luas, jutaan jemaah membentang di bawah langit malam tanpa atap. Karpet-karpet digelar seadanya, tas dan kantong menjadi bantal, dan bintang-bintang malam menjadi penerang alami. Di sinilah kami salat jamak takhir Magrib dan Isya, menundukkan kepala di tengah hangatnya udara dan cahaya bulan yang malu-malu tertutup awan tipis.

Setelah salat, sebagian jemaah memilih berzikir dengan suara lirih, sementara yang lain terlelap, terbungkus kain ihram, tubuh mereka meringkuk menahan udara Mina. Aku rebahan di sisi istriku. Ia tak banyak bicara, hanya sesekali tersenyum tipis. Aku sendiri sempat tertidur sebentar, tapi terbangun karena gerakan kecilnya. Rupanya ia tetap terjaga, matanya menatap langit seperti sedang berbicara dengan Allah dalam diam.

Menjelang tengah malam, kami kembali bersiap. Bus ke Mina belum terlihat, sementara udara semakin menusuk kulit. Aku menghangatkan jemari istriku dengan genggamanku. Waktu terasa beku, hingga akhirnya sekitar pukul 1 dini hari, bus rombongan kami tiba. Kami berangkat menuju Mina, melanjutkan perjalanan suci yang masih panjang—dengan doa yang tak pernah lepas dari bibir

 

Malam di Mina dan Lempar Jumrah Aqabah

Malam ini sudah memasuki tanggal 16 Juni 2024, atau tepatnya 10 Dzulhijjah 1445 H. Waktu menunjukkan pukul satu dini hari ketika akhirnya bus yang kami nanti tiba untuk mengantarkan rombongan menuju Mina. Perjalanan singkat itu terasa begitu sunyi—lampu-lampu jalan memantul di kaca bus, dan wajah-wajah letih para jemaah terpejam, menyimpan sisa tenaga untuk rangkaian ibadah berikutnya.

Jam 1.45 dini hari, kami tiba di Mina. Angin malam tetap terasa hangat di sini. Tanpa banyak waktu untuk beristirahat, kami diarahkan untuk bersiap menuju Jamarat guna melaksanakan lempar Jumrah Aqabah. Batu-batu kecil yang akan digunakan sudah kami terima sebelum berangkat dari Muzdalifah—masing-masing tersimpan rapi dalam kantong kecil yang seolah menjadi amanah besar.

Istriku masih terlihat lemah. Meski matanya menunjukkan keinginan kuat untuk ikut, aku tak mengizinkannya. Perjalanan ke Jamarat dari tenda memakan jarak sekitar lima kilometer, dengan jalur yang penuh sesak oleh jutaan jemaah, melewati dua terowongan panjang yang cukup melelahkan. “Biar Mas saja yang mewakili,” ucapku tegas. Ia mengangguk, meski aku tahu hatinya ingin berada di sana.

Bersama rombongan yang fisiknya masih cukup kuat, aku melangkah di bawah temaram lampu Mina. Arus manusia mengalir seperti sungai yang tak pernah berhenti, semua menuju satu arah: tempat melontar. Kaki terasa berat, tapi semangat ibadah membuat langkah tetap mantap.

Kami sampai di Jamarat menjelang pukul tiga dini hari. Deretan pilar besar berdiri tegak—simbol perlawanan Nabi Ibrahim terhadap godaan setan. Pada pilar terakhir, Jumrah Aqabah, aku berdiri tegak. Pertama, aku niatkan untuk diriku sendiri. Satu demi satu batu kulempar dengan takbir yang lirih namun penuh keyakinan: Bismillahi Allahu Akbar! Tujuh kali aku melontar, tujuh kali pula hatiku memohon agar Allah menerima ibadah ini.

Selesai untuk diriku, aku bergeser sedikit. Kali ini niatku untuk istriku. Setiap lemparan kurasakan seperti mewakili langkah yang ia ingin tempuh namun tak mampu, seolah aku mengirimkan doa dan kekuatannya bersama batu-batu itu.

Usai melontar, kami melaksanakan tahalul dengan memotong rambut. Sehelai demi sehelai jatuh ke tanah, tanda bahwa sebagian larangan ihram telah gugur. Suasana hati terasa ringan, seperti beban yang perlahan diangkat.

Kami kembali ke tenda di Mina ketika fajar mulai menyingsing. Istriku menungguku dengan senyum hangat. Aku memeluknya, menyampaikan kabar bahwa lempar Jumrah untuknya sudah aku laksanakan, dan kami kini telah bertahalul. Setelah salat Subuh, kami menanggalkan pakaian ihram dan mengenakan baju biasa.

Sore harinya, bersama para jemaah laki-laki, aku mencukur habis rambut kepalaku. Itulah pertama kalinya sejak entah kapan aku berkepala plontos—mungkin terakhir kali saat masih bayi, yang tentu saja sudah kulupa. Saat jemari menyentuh kulit kepala yang licin, aku tersenyum kecil. Ada rasa lega, bersih, dan tuntas—seperti membuka lembaran baru dalam hidup.

 

Keadaan di Mina

Tenda di Mina, meskipun sama padatnya dengan lautan jemaah, terasa sedikit lebih nyaman dibandingkan saat di Arafah. Udara malam di sini tetap panas, dan angin sesekali menyelinap melalui celah-celah tenda, menambah panas seperti siang hari. Untuk, urusan kamar mandi tetap saja menjadi tantangan—antrian panjang tak terhindarkan, membuat setiap jemaah harus pandai-pandai mengatur waktu.

Matras yang kami tempati pun sama seperti sebelumnya, berderet rapat tanpa celah, sehingga untuk sekadar melangkah perlu kehati-hatian agar tak menginjak barang bawaan atau kaki orang lain. Untungnya, rombongan kami mendapat tenda yang posisinya agak di atas. Dari sini, pandangan ke bawah begitu memukau: ribuan tenda putih berderet rapi, bagaikan lautan cahaya yang membentang sejauh mata memandang.

Malam itu, aku dan istriku keluar dari tenda. Kami berdiri sejenak, menghirup udara segar, lalu memandang ke arah hamparan tenda di bawah. Cahaya lampu-lampu tenda membuat suasana terasa magis, seakan-akan Mina sedang berhias untuk malam istimewa ini.

Istriku menatapku dengan senyum penuh semangat. “Mas, kita turun ke bawah, yuk. Di sana ada festival Idul Adha,” katanya. Siang tadi memang Hari Raya Idul Adha—momen puncak yang dirayakan umat Islam di seluruh dunia.

Kami pun berjalan menuruni tangga menuju deretan tenda di bawah. Ternyata benar, suasananya begitu meriah. Entah dari lembaga mana, ada yang membagikan aneka camilan dan minuman. Para jemaah tampak senang membawa popcorn, ada yang menikmati es krim, dan aroma kudapan khas Arab—seperti samosa dan manisan kurma—tercium di udara.

Kami berdua duduk di tepi tembok tangga kecil, sambil menikmati camilan dan memandangi kerlip lampu-lampu di tenda sekitar. Istriku terlihat jauh lebih segar malam ini; rona wajahnya kembali cerah, dan tawanya lepas. Di tengah perjalanan haji yang penuh ujian fisik dan batin, malam itu menjadi hadiah kecil dari Allah—malam yang sederhana, tapi begitu hangat di hati.

 

Hari Tasyrik Pertama di Mina

Selepas salat Subuh, kami bersiap kembali untuk melaksanakan lempar jumrah. Hari ini, 11 Dzulhijjah, adalah hari Tasyrik pertama—hari di mana setiap jemaah haji melempar batu ke tiga tiang jumrah: Ula, Wustha, dan Aqabah.

Aku dan istriku sudah berpakaian rapi, membawa kantong berisi batu yang telah disiapkan. Bersama rombongan, kami berjalan kaki menempuh jarak sekitar lima kilometer menuju Jamarat. Jalan menuju sana penuh sesak oleh lautan manusia yang bergerak menuju tujuan yang sama, dan kami harus melalui terowongan Mina yang panjang.

Aku selalu berjalan di sisi istriku, memastikan langkahnya mantap di tengah dorongan dan arus jemaah. Syukurlah, ia cukup kuat menempuh perjalanan ini. Sebelum berangkat haji, kami memang terbiasa jalan pagi setiap Sabtu dan Minggu. Bahkan, di hari-hari biasa, jika ada waktu luang, kami menyempatkan diri berjalan bersama. Latihan sederhana itulah yang membuatnya tidak gentar menempuh perjalanan kali ini.

Ini adalah kali pertama istriku melihat tiang-tiang jumrah secara langsung. Kami tiba di tiang pertama—Jumrah Ula. Dengan niat yang tulus, kami masing-masing melempar tujuh batu, satu per satu, diiringi doa. Kemudian, kami melanjutkan ke tiang kedua, Jumrah Wustha, lalu terakhir Jumrah Aqabah. Setelah selesai, kami berdoa bersama.

Perjalanan pulang terasa berbeda. Suhu udara mulai naik drastis, dan panas Mina terasa menusuk kulit. Kami sampai di tenda sekitar pukul delapan pagi dengan peluh yang membasahi tubuh. Di Mina, kesempatan untuk makan berdua lebih banyak terbuka. Setelah mendapatkan jatah makan dari maktab, kami mencari sudut yang nyaman di luar tenda. Biasanya kami duduk di bawah tangga—tempat teduh yang terhindar dari sengatan matahari. Kadang-kadang, di situ kami bertemu dengan jemaah dari daerah lain, bahkan ada yang dari luar Jawa, dan obrolan ringan pun mengalir di antara suapan makan.

Untuk urusan kamar mandi, kami menemukan trik kecil. Daripada mengantri panjang di tenda sendiri, kami mencoba keluar dari maktab dan mencari maktab lain yang tidak terlalu ramai. Akhirnya, kami menemukan tenda jemaah haji dari negeri Tirai Bambu, dan ternyata kamar mandinya relatif sepi. Namun, untuk mencapainya kami harus berjalan sekitar 500 meter di bawah terik matahari yang menyengat, dengan suhu yang bisa mencapai 48 hingga 51 derajat Celsius. Meski melelahkan, cara ini cukup membantu menghemat waktu antrian dan membuat kami bisa beraktivitas lebih nyaman.

 

Hari Tasyrik Kedua dan Perpisahan dengan Mina

Malam berikutnya, rombongan kami bersiap lebih awal. Tepat pukul setengah satu malam, kami berangkat kembali menuju Jamarat. Hari ini, 12 Dzulhijjah—hari Tasyrik kedua—dan menjadi hari terakhir kami melaksanakan lempar jumrah, karena rombongan kami mengambil nafar awal. Artinya, setelah selesai lemparan hari ini, kami bisa meninggalkan Mina dan kembali ke hotel di Makkah.

Seperti malam sebelumnya, perjalanan menuju Jamarat harus menembus arus jemaah yang padat dan melalui terowongan Mina. Namun kali ini, suasananya terasa berbeda. Ada rasa lega dan haru yang mengiringi langkah kami. Aku dan istriku berjalan berdampingan, saling menguatkan satu sama lain. Meskipun tubuh terasa letih setelah beberapa hari menjalani rangkaian ibadah yang padat, semangat kami tetap menyala.

Satu per satu tiang jumrah kami datangi: Jumrah Ula, Jumrah Wustha, dan Jumrah Aqabah. Batu demi batu kulempar dengan penuh kesungguhan, memohon agar Allah menerima ibadah kami, menghapus dosa-dosa, dan menguatkan langkah kami di sisa perjalanan hidup. Di sampingku, istriku melakukan hal yang sama, dengan wajah yang teduh meski napasnya sedikit tersengal.

Setelah lemparan terakhir, kami kembali berdoa bersama, menandai bahwa seluruh rangkaian lempar jumrah telah selesai. Aku dan istriku saling bertukar senyum—senyum yang sarat makna, penuh rasa syukur dan kebahagiaan.

Menjelang Subuh, kami tiba kembali di tenda. Tanpa banyak waktu beristirahat, kami segera berkemas. Ada rasa berat meninggalkan Mina, tempat yang dalam dua hari ini menjadi saksi kebersamaan kami, dari momen-momen melelahkan hingga saat-saat indah menikmati malam Idul Adha bersama. Namun ada pula rasa rindu yang menggebu untuk kembali ke Makkah, melanjutkan ibadah di Masjidil Haram dan menuntaskan rangkaian haji kami.

Antrian untuk menunggu bus menuju Makkah juga cukup panjang. Baru sekitar pukul 13.00 siang rombongan kami mendapat giliran berangkat. Perjalanan pun memakan waktu cukup lama karena padatnya lalu lintas, hingga akhirnya sekitar pukul 15.00 sore kami tiba kembali di hotel di Makkah.

 

Tawaf Ifadah: Saat Cinta Menyatu dengan Doa

Pagi itu, tanggal 19 Juni 2024 atau bertepatan dengan 13 Dzulhijjah 1445 H, udara Makkah terasa panas. Sesuai anjuran, para jemaah wanita yang masih usia subur beserta pasangannya diminta segera melaksanakan tawaf ifadah. Aku dan istriku pun bersiap. Kali ini kami sudah tidak lagi mengenakan pakaian ihram. Rasanya langkah terasa ringan, namun hati terasa penuh, seolah sebentar lagi akan sampai pada puncak perjalanan ibadah ini.

Pukul enam pagi kami berangkat dari hotel menuju Masjidil Haram. Di antara keramaian jutaan jemaah, kami berdua berjalan berdampingan setelah turun dari bus shalawat, sesekali saling menatap dan tersenyum tanpa kata. Ketika Ka'bah mulai tampak di hadapan, hatiku bergetar—seperti pertama kali melihatnya saat umrah wajib.

Kami memulai tawaf dengan hati penuh syukur. Setiap langkah mengitari Ka'bah bagaikan jejak kecil yang merangkum seluruh lelah, doa, dan pengorbanan sejak awal keberangkatan. Di putaran terakhir, suaraku tercekat saat pandangan tertuju pada Hajar Aswad. Aku dan istriku melambaikan tangan ke arahnya, mengucap lirih, “Bismillahi Allahu Akbar,” lalu mencium telapak tangan kami masing-masing—seolah mengabadikan momen itu di dalam jiwa untuk selamanya.

Selesai tawaf, kami melaksanakan salat sunnah di belakang Maqam Ibrahim, lalu minum air zamzam yang dingin menyegarkan. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan menuju bukit Shafa dan Marwah untuk melaksanakan sa’i. Setiap langkah antara dua bukit itu seakan menjadi penutup yang sempurna, mengulang kembali jejak perjuangan Hajar mencari air bagi Nabi Ismail. Sesekali kami berdoa di tengah lintasan, memohon kebaikan dunia dan akhirat.

Di ujung sa’i, kami melakukan tahalul sebagai tanda berakhirnya seluruh larangan ihram. Rambut kami dipotong sedikit—namun maknanya besar: tanda bahwa semua rukun haji telah kami sempurnakan.

Usai tahalul, kami berdiri bersama rombongan di salah satu sudut Masjidil Haram. Salah satu jemaah seorang ustadz memimpin doa bersama. Suaranya bergetar, mengucapkan pujian kepada Allah, memohon ampunan, dan menyampaikan syukur atas selesainya seluruh rangkaian ibadah haji.

Tangisan pun pecah di antara kami. Aku memejamkan mata, menunduk, dan merasakan genggaman tangan istriku yang erat. Isak tangisnya terdengar di telingaku. Kami menangis bukan karena sedih, tapi karena haru—menyadari betapa besar nikmat yang Allah beri, mengizinkan kami sampai pada titik ini. Air mata bercampur senyum, dan dalam hati aku berjanji akan menjaga kemurnian hati ini setelah kembali ke tanah air.

 

Lelaki Berjubah Putih di Atas Bukit

Malam itu, tanggal 20 Juni 2024, giliran jemaah yang belum melaksanakan tawaf ifadah berangkat menuju Masjidil Haram. Jam sudah menunjukkan pukul 23.30 ketika aku ikut kembali bersama rombongan. Malam terasa tenang, dan dalam hati aku berniat mengawal seorang jemaah yang sudah lanjut usia—seorang engkong-engkong, satu kamar denganku—sekaligus untuk melaksanakan tawaf sunnah.

Seperti biasa, kami menaiki Bus Shalawat menuju Masjidil Haram. Turun dari bus, rombongan berjalan bersama menuju area kamar mandi dan tempat wudu. Mereka yang belum berwudu atau batal dipersilakan mengambil air wudu. Aku tetap berdiri, tidak ikut masuk, karena wuduku masih terjaga.

Mataku lalu tertuju pada sebuah bukit tak jauh dari situ. Di atas bukit itu, aku melihat sosok lelaki berjubah putih. Dalam remang malam, yang tampak hanyalah jubahnya—putih bersih, memantulkan cahaya lampu-lampu jalan. Wajahnya sama sekali tidak terlihat. Aku memandangi sosok itu beberapa saat, lalu melempar pandangan ke arah lain selama satu atau dua menit. Saat kembali menatap ke bukit itu, sosok berjubah putih itu telah tiada.

Dalam hati aku bertanya, siapakah dia? Apakah hanya ilusi mata yang lelah? Ataukah sebuah isyarat? Aku tak ingin memikirkannya terlalu jauh, namun entah mengapa, hatiku terasa diselimuti rasa damai.

Kami melanjutkan perjalanan, memasuki pelataran Ka'bah, dan memulai tawaf ifadah. Sepanjang tawaf dan sa'i, si engkong selalu berpegangan pada lenganku, seperti seorang anak yang takut terpisah dari ayahnya. Menjelang subuh, semua rangkaian ibadah hajinya pun sempurna sudah.

Ketika aku menatap Ka'bah terakhir kali sebelum keluar, entah mengapa aku teringat lagi pada lelaki berjubah putih di atas bukit itu. Mungkin dia hanyalah seorang hamba yang lewat. Mungkin pula dia utusan yang tak kasat mata, hanya datang untuk berpesan tanpa kata. Seakan ingin berkata, "Ibadahmu telah sampai, kini bawalah pulang cahaya itu."

 

Jejak Sahabat di Tanah Suci

Di Makkah ini, kebiasaan yang sering kulakukan di Indonesia—memotret dan merekam momen-momen—jarang sekali kulakukan. Aku ingin benar-benar fokus pada ibadah. Namun, sesekali aku tetap membuka media sosial, sekadar melihat kabar teman-teman. Suatu ketika, mataku tertumbuk pada sebuah status dari sahabat SMA sekaligus teman satu desa, yang juga pernah berjuang bersamaku di organisasi desa. Ia menulis bahwa dirinya sedang berada di Makkah, menunaikan ibadah haji.

Aku langsung membalas pesannya, dan akhirnya kami sepakat untuk bertemu di Masjidil Haram. Pagi itu, 22 Juni 2024, seperti biasa jam tiga dini hari aku dan istriku sudah menyusuri jalan menuju Masjidil Haram. Selesai salat Subuh dan membaca ratib serta berdoa, kami pun berjalan menuju pintu 100, tempat yang kami sepakati.

Tak lama menunggu, sosok yang sudah lama tak kulihat itu muncul, bersama istrinya, adiknya, dan suami sang adik. Senyum kami sama-sama merekah, rasa canggung hilang seketika, digantikan rasa hangat persaudaraan yang lama terpendam. Istriku pun mengenalnya, karena kami berasal dari desa yang sama.

Di depan pintu 100 yang menjadi saksi pertemuan ini, kami berfoto bersama. Bukan sekadar foto, melainkan penanda sebuah takdir: bahwa Allah mempertemukan kami kembali, bukan di kampung halaman, melainkan di Tanah Suci, di rumah-Nya yang mulia.

Di tengah lautan manusia dari seluruh penjuru dunia, Allah sengaja mempertemukan kami di tempat yang paling suci di muka bumi. Seakan ingin mengingatkan bahwa persaudaraan yang terjalin karena-Nya tak akan lekang oleh jarak dan waktu. Pertemuan ini bukan sekadar temu kangen, tapi sebuah hadiah yang dibungkus rapi oleh takdir, lalu dihadiahkan di hadapan Ka’bah, rumah yang menjadi kiblat hati kami semua.

 

Ziarah ke Ma’la: Menyusuri Jejak Para Kekasih Allah

Pagi itu, 23 Juni 2024, jam 05.30, kami—rombongan jemaah laki-laki dari KBIHU—bersiap untuk berziarah ke pemakaman Ma’la di Kota Makkah. Udara pagi terasa hangat, dengan embusan angin yang membawa aroma khas gurun; kering, namun segar. Bus shalawat membawa kami hingga ke terminal dekat Masjidil Haram. Namun, tujuan kami kali ini bukan ke masjid sebagaimana biasanya, melainkan menuju salah satu kompleks pemakaman tertua dan paling mulia di Makkah.

Dari terminal, kami berjalan kaki menjauh dari Masjidil Haram, menempuh sekitar satu kilometer. Di sepanjang jalan, terlihat para pedagang kecil yang menjajakan tasbih sebagai oleh-oleh peziarah. Beberapa jamaah dari negara lain juga melangkah ke arah yang sama, sebagian berdoa lirih sambil berjalan.

Gerbang pemakaman Ma’la berdiri sederhana, namun suasananya penuh wibawa. Di dalamnya, hamparan tanah berwarna cokelat muda terbentang, ditandai nisan-nisan batu yang sederhana tanpa ukiran mewah. Hening menyelimuti, hanya terdengar bisikan doa yang bercampur dengan suara burung merpati yang beterbangan di atas langit Makkah.

Tujuan pertama kami adalah makam istri tercinta Rasulullah ﷺ, Sayyidah Khadijah binti Khuwailid. Makam beliau tertutup pagar besi, namun tetap terlihat dari luar. Rasa haru menyelusup saat kepala rombongan memimpin doa, dan kami pun mengaminkan dengan penuh takzim. Dalam hati, aku membayangkan pengorbanan dan keteguhan beliau dalam mendampingi perjuangan Rasulullah.

Dari situ, langkah kami berlanjut ke makam ulama kharismatik Indonesia, KH. Maimun Zubair—Mbah Moen. Konon, jasad beliau tetap utuh meski telah bertahun-tahun dimakamkan, sebuah karunia yang membuatku tertegun. Kami pun mengirim doa untuk beliau, mengenang nasihat dan keteladanan yang beliau tinggalkan.

Perjalanan dilanjutkan menuju makam Syaikh Nawawi al-Bantani, ulama besar asal Banten yang pernah menjadi Imam Besar Masjidil Haram. Di hadapan pusaranya, aku merasa seakan menapaki sejarah panjang perjuangan para kekasih Allah, yang mengabdikan hidupnya demi agama.

Ziarah pagi ini meninggalkan hikmah yang dalam di hatiku: bahwa amal, ilmu, dan keikhlasan adalah warisan sejati yang membuat nama tetap harum, meski jasad telah lama kembali ke bumi.

 

Belanja di Khakhiya, Miqat di Tan’im, dan Umrah Sunnah yang Penuh Cerita

Tanggal 25 Juni 2024, siang itu KBIHU memfasilitasi rombongan untuk berbelanja oleh-oleh di Pasar Khakhiya. Tepat pukul 13.00, tiga bus berangkat membawa kami menuju kawasan pasar yang terkenal di Makkah itu. Suasana bus riuh oleh canda, rencana belanja, dan daftar titipan dari keluarga di tanah air.

Setibanya di Khakhiya, aroma parfum khas Arab dan wangi rempah langsung menyambut kami. Lorong-lorong sempit penuh dengan toko kurma, sajadah, tasbih, dan baju gamis warna-warni. Istriku tetap setia di sisiku, kami berjalan dari satu toko ke toko lain, mencari oleh-oleh terbaik untuk anak kami dan memenuhi beberapa pesanan.

Sejak awal, kami sudah bersiap dengan baju ihram, karena rencana berikutnya adalah menuju Tan’im untuk mengambil miqat di Masjid Aisyah. Dari pasar, bus langsung membawa kami ke Tan’im. Di sana, kami menunaikan salat sunah, kemudian berniat untuk melaksanakan umrah sunah. Setelah itu kami kembali ke hotel untuk beristirahat sejenak sebelum menuju Masjidil Haram.

Panitia memberi kebebasan untuk tawaf dan sai secara mandiri atau bersama rombongan di malam hari. Aku dan istriku, bersama empat orang jemaah yang sudah akrab, sepakat untuk berangkat sendiri. Jam 17.45, kami berenam berjalan menuju Masjidil Haram. Saat tiba, adzan Magrib hampir berkumandang, sehingga kami memutuskan tawaf dimulai setelah salat Magrib.

Salat Magrib di Masjidil Haram terasa menenangkan, lalu kami memulai tawaf. Putaran demi putaran kami lakukan beriringan, namun ketika memasuki putaran kelima, petugas menghentikan tawaf karena waktu Isya hampir tiba. Di tengah keramaian, salah satu anggota rombongan kami tiba-tiba menghilang dari barisan. Kami berlima saling pandang, merasa bersalah namun tidak bisa mencarinya di tengah lautan manusia.

Salat Isya kami tunaikan di pelataran Ka’bah—suatu kenikmatan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Setelah itu, tawaf dilanjutkan hingga sempurna tujuh putaran, lalu berlanjut dengan sa'i. Semua rangkaian selesai menjelang larut malam.

Saat tiba di hotel, kekhawatiran kami akhirnya sirna—jemaah yang sempat hilang tadi ternyata sudah sampai lebih dulu. Kami pun mengucap syukur, menutup hari itu dengan rasa lega dan kenangan manis: sebuah perjalanan umrah sunah yang dimulai dengan belanja oleh-oleh, diwarnai kepanikan kecil, dan diakhiri dengan rasa syukur mendalam.

 

Belanja Berdua di Zamzam Tower

Tanggal 27 Juni 2024, pagi di Makkah terasa begitu teduh. Udara gurun yang hangat menyambut kami saat melangkah keluar dari Hotel Al-Keswah. Jarum jam baru menunjuk pukul 7.30 ketika kami menaiki Bus Shalawat. Di dalam bus, suasana cukup lengang, hanya ada beberapa jamaah yang tampak ingin ke Masjidil Haram atau berbelanja.

Perjalanan menuju Zamzam Tower terasa istimewa. Bukan sekadar karena ini berada di tanah suci, tapi karena hari itu aku dan istriku bisa berjalan berdua—sesuatu yang jarang kami lakukan sejak memiliki anak. Di tanah air, hampir setiap ke mal kami selalu bertiga. Hari ini, di bawah cahaya matahari Makkah yang lembut, kami seperti kembali ke masa-masa awal bersama.

Begitu bus menurunkan kami di dekat Masjidil Haram, pandangan langsung tertuju pada Zamzam Tower yang menjulang megah. Menara jamnya seolah menjadi penunjuk waktu yang bukan hanya mengingatkan kami pada jadwal salat, tetapi juga pada betapa berharganya detik-detik kebersamaan ini.

Kami masuk ke dalam malnya. Lantai-lantai berkilau, suara langkah kaki para jamaah dari berbagai negara berpadu dengan aroma parfum khas Arab yang samar-samar tercium. Kami menyusuri toko demi toko, mencari oleh-oleh untuk anak dan keluarga di rumah.

Ingatan itu tiba-tiba hadir—masa ketika kami belum menikah, saat berdua berkeliling supermarket di kota untuk membeli gelas, piring, sendok, rice cooker, blender, bahkan bantal dan perlengkapan rumah tangga lainnya. Semua perlengkapan itu, aku biarkan dia yang memilih sesuka hatinya, walau kadang aku ikut andil mempertimbangkannya, sambil membayangkan hidup bersama dengannya kelak.

Kami melangkah sambil bercanda, seperti dua anak muda yang sedang menata masa depan, hanya saja kali ini masa depannya sudah diisi puluhan ribu kenangan. Bedanya, dulu kami membeli perlengkapan untuk memulai rumah tangga, kini kami membeli oleh-oleh sebagai tanda cinta untuk orang-orang yang menunggu di rumah.

Selesai berbelanja, kami berjalan beriringan menuju terminal bus. Waktu masih menunjukkan sekitar pukul 10 pagi, udara Makkah terasa panas namun bersahabat. Di tengah perjalanan haji ini, momen-momen sederhana seperti ini justru terasa hangat, seolah Allah mengajarkan kami bahwa kebersamaan tak selalu harus diisi dengan langkah, tapi juga dengan jeda yang penuh kasih.

 

City Tour ke Kota Thoif

Tanggal 29 Juni 2024, sejak pukul enam pagi, rombongan KBIHU kami sudah bersiap di bus. Udara pagi Makkah terasa segar, langit biru membentang tanpa awan. Tujuan hari ini adalah city tour ke Kota Thoif — sebuah kota yang menyimpan kisah pilu perjuangan Rasulullah ﷺ.

Sepanjang perjalanan, pemandu bercerita bagaimana Rasulullah ﷺ pernah datang ke kota ini, berharap penduduknya mau menerima dakwah Islam setelah penolakan di Makkah begitu keras. Namun, sambutan yang didapat justru sangat menyakitkan. Rasulullah ﷺ diusir, bahkan dilempari batu oleh penduduk Thoif hingga kaki beliau berlumuran darah. Dalam keadaan letih dan terluka, beliau berlindung di sebuah kebun kurma milik ‘Utbah dan Syaibah bin Rabi’ah. Di sanalah, di bawah rindangnya pepohonan, Rasulullah ﷺ berdoa dengan hati yang penuh pasrah:

"Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahan kekuatanku, sedikitnya daya upayaku, dan hinanya aku di hadapan manusia…"

Doa itu, hingga kini, membuat hati kami yang mendengarnya terasa tercekat. Begitulah kesabaran dan cinta beliau terhadap umat manusia, meski dibalas dengan kepedihan.

Sesampainya di Thoif, pemberhentian pertama kami adalah sebuah kawasan wisata yang cukup luas dan indah. Di sana tersedia kereta gantung, termasuk hewan tunggangan. Aku dan istriku memilih mencoba naik unta berdua. Saat unta itu berdiri, kami sedikit terayun, lalu perlahan berjalan menyusuri jalur yang telah disiapkan. Dari punggung unta, pemandangan sekitar terlihat lebih lapang; udara Thoif yang sejuk berpadu dengan sensasi bergoyang-goyang lembut membuat perjalanan ini terasa berbeda. Sesekali kami saling tersenyum, seakan tanpa kata sepakat bahwa momen ini akan menjadi kenangan yang kami bawa pulang selamanya.

Perjalanan berikutnya membawa kami ke tempat penyulingan bunga mawar. Aroma lembut langsung menyambut saat kami memasuki area pabrik. Lewat sebuah tayangan video, kami diperlihatkan proses penyulingan kelopak mawar menjadi parfum. Harumnya meresap, membuatku teringat betapa harum juga kenangan-kenangan yang kami kumpulkan sepanjang perjalanan haji ini.

Menjelang tengah hari, bus berhenti di bawah sebuah jembatan layang. Di sanalah kami makan siang bersama — sederhana, namun hangat dalam kebersamaan. Usai makan, perjalanan dilanjutkan menuju masjid dan makam sahabat Abbas RA. Kami melaksanakan salat, berdoa, dan merenung sejenak, membayangkan bagaimana para sahabat Rasulullah dahulu menapaki perjalanan panjang demi Islam.

Ketika bus kembali melaju ke Makkah, matahari mulai condong ke barat. Kota Thoif perlahan menghilang di belakang, namun kisah perjuangan Rasulullah ﷺ, aroma mawar, dan tatapan hangat istriku di atas punggung unta tetap menetap di hati. Hari itu, kami pulang ke hotel dengan hati yang penuh syukur — atas kesempatan mengunjungi jejak sejarah, dan atas nikmat kebersamaan yang tak ternilai.

 

Umrah Sunnah yang Ketiga

Hari Minggu, 30 Juni 2024, udara pagi Makkah terasa hangat dan tenang. Jam di tangan menunjukkan pukul 06.30 ketika kami, sekitar tiga puluh orang jemaah, berangkat dari hotel. Tidak ada panggilan resmi dari KBIHU kali ini — ini adalah umrah sunnah mandiri, murni dari inisiatif kami sendiri.

Kami berjalan kaki menuju Terminal Jarwal. Langkah demi langkah terasa ringan, mungkin karena hati kami dipenuhi semangat untuk kembali menghadap Ka’bah. Sesekali terdengar canda kecil di antara rombongan, tapi tak jarang pula kami tenggelam dalam dzikir masing-masing. Matahari pagi mulai mengintip dari balik gedung-gedung tinggi Makkah, memantulkan cahaya lembut ke arah jalan yang kami lalui.

Setibanya di Terminal Jarwal, kami naik bus menuju Tan’im. Perjalanan ini singkat, tapi penuh makna. Tan’im, atau Masjid Aisyah, menjadi saksi sejarah ketika Sayyidah Aisyah RA mengambil miqat atas izin Rasulullah ﷺ. Di sinilah kami kembali berhenti untuk niat umrah, membalut hati dengan harapan agar setiap langkah berikutnya diterima sebagai amal saleh di sisi Allah.

Usai mengenakan niat dan mengucap talbiyah, kami menunggu bus lain yang akan membawa kami kembali menuju Masjidil Haram. Waktu menunggu di Tan’im itu justru menjadi momen yang menenangkan: sebagian jemaah memanfaatkan waktu dengan membaca Al-Qur’an, sebagian lagi berbincang ringan sambil menyeruput air zam-zam yang tersedia di pelataran masjid.

Ketika bus membawa kami kembali ke Makkah, suara talbiyah bergema di dalam kendaraan:

Labbaik Allahumma labbaik, labbaika laa syarika laka labbaik…

Suara itu menyatu, seakan menyalakan api kerinduan yang tak pernah padam pada Baitullah. Sesampainya di Masjidil Haram, kami langsung melaksanakan tawaf mengelilingi Ka’bah tujuh putaran. Putaran demi putaran seperti meluruhkan sisa letih tubuh, meninggalkan hanya rasa syukur yang mendalam.

Dari tawaf, kami beralih ke sa’i antara bukit Shafa dan Marwah. Langkah-langkah kami mengikuti jejak Siti Hajar dalam perjuangannya mencari air untuk Nabi Ismail kecil. Kisah itu terasa hidup di setiap lorong perjalanan sa’i — sebuah teladan tentang sabar, tawakal, dan keyakinan yang tak tergoyahkan.

Usai sa’i, kami menutup umrah dengan tahallul, memotong sedikit rambut sebagai tanda kesempurnaan ibadah. Beberapa dari kami saling menyalami, mengucapkan doa, dan tersenyum penuh rasa lega. Hari itu, meski umrah ini tanpa komando resmi dari KBIHU, justru terasa lebih personal, lebih intim, dan penuh kesadaran akan makna ibadah.

Kami pulang ke hotel dengan hati yang ringan, membawa rasa damai yang hanya bisa lahir dari pertemuan seorang hamba dengan Allah SWTnya di rumah-Nya yang mulia.

 

Napak Tilas di Jabal Nur

Sorenya, sekitar pukul 16.30, rombongan kami yang berjumlah satu bus penuh berangkat menuju Jabal Nur, bukit bersejarah tempat Gua Hira berada. Dalam perjalanan, pemandu menceritakan tentang sejarah bukit ini: kisah turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad ﷺ, saat beliau berusia 40 tahun. Beliau sedang menyendiri di Gua Hira untuk bertafakur, hingga Malaikat Jibril datang membawa perintah Iqra’. Pemandu juga mengisahkan keteguhan Sayyidah Khadijah RA — meski dalam keadaan hamil, beliau tetap mendaki bukit ini untuk mengantarkan makanan kepada suaminya.

Dari penjelasan pemandu, kami mengetahui bahwa Gua Hira letaknya bukan tepat di puncak, tetapi sedikit menurun dari puncak bukit. Jadi, para pendaki harus mencapai puncak terlebih dahulu, kemudian menuruni sedikit jalur untuk sampai ke mulut gua.

Aku dan istriku memutuskan untuk ikut napak tilas. Awalnya, hampir semua peserta penuh semangat dan antusias untuk mendaki. Namun tak lama setelah perjalanan dimulai, medan terjal dengan batu-batu besar dan tanjakan curam mulai menguji ketahanan fisik. Nafas terengah, kaki mulai terasa berat, dan beberapa orang memilih berhenti di tengah jalan.

Di pertengahan perjalanan, istriku mulai kelelahan. Wajahnya terlihat letih, keringat mengalir deras, dan ia berkata lirih ingin menyudahi pendakian. Saat itu aku teringat kisah Sayyidah Khadijah yang hamil namun tetap menaiki bukit ini demi menemui Rasulullah ﷺ. Aku pun mencoba memompa semangatnya.
"Ayo sayangku, Khadijah yang sedang hamil saja mampu menapaki jalur ini. Kita sehat, pasti bisa. Pelan-pelan saja, insyaAllah sampai."

Matanya kembali berbinar. Ia mengangguk, lalu kami melanjutkan langkah. Aku menggandeng tangannya erat-erat, membantunya meniti bebatuan terjal, satu demi satu, hingga akhirnya—menjelang adzan Maghrib berkumandang—kami tiba di puncak Jabal Nur.

Dari sana, kami bisa melihat mulut Gua Hira yang berada sedikit di bawah. Antrian menuju gua begitu panjang, para peziarah saling bergantian untuk bisa masuk dan salat di dalamnya. Aku memilih untuk tidak ikut mengantri, cukup memandangnya dari kejauhan sambil membayangkan suasana hening di dalam gua itu lebih dari 14 abad yang lalu.

Langit malam mulai menyelimuti. Dari puncak Jabal Nur, cahaya kota Makkah berkilau indah, dengan Zamzam Tower menjulang gagah menjadi penanda arah Masjidil Haram. Kami mulai menuruni bukit dalam gelap, hanya diterangi lampu-lampu LED dari ponsel para peziarah. Jalannya licin dan curam, jadi langkah harus hati-hati.

Dari sekitar 50 orang rombongan bus kami, ternyata hanya belasan orang yang berhasil sampai ke puncak. Saat kaki akhirnya menginjak tanah datar kembali, rasa lelah tergantikan oleh kebanggaan dan syukur. Malam itu, napak tilas Jabal Nur bukan hanya tentang menapak jejak sejarah, tetapi juga tentang menguji tekad, saling menguatkan, dan merasakan sedikit saja bagaimana beratnya perjuangan orang-orang yang mulia di masa lalu.

 

Napak Tilas di Sekitar Masjidil Haram

Pagi itu, Selasa 2 Juli 2024, tepat pukul 07.00, kami bersiap mengikuti napak tilas di sekitar Masjidil Haram. Pemandunya adalah pembimbing KBIHU yang suaranya tenang, penuh wibawa, namun juga hangat saat bercerita.

Dari hotel, kami menaiki Bus Shalawat menuju terminal. Setiba di sana, rombongan berjalan kaki menyusuri jalanan yang dipenuhi peziarah dari berbagai negara. Matahari pagi menebar cahaya keemasan di sela gedung-gedung tinggi, membuat suasana Makkah terasa hidup dan penuh semangat.

Perjalanan dimulai dengan sebuah kisah yang menggetarkan hati: pemandu menunjukkan sebuah bangunan sederhana yang kini menjadi perpustakaan, namun dulunya adalah rumah tempat Nabi Muhammad ﷺ dilahirkan. Dari titik itulah sejarah agung dimulai.

Tak jauh dari sana, kami ditunjukkan Jabal Qubais atau bukit Qubais, yang di bawah puncaknya tumbuh sebuah pohon. Saat pemandu menunjuk ke arah bukit itu, langkahku terhenti. Ingatan itu tiba-tiba datang, membawa kembali suasana malam 20 Juni, saat aku mengikuti tawaf sunnah bersama rombongan tawaf ifadah

Malam itu, sebelum kami memasuki pelataran masjid, mataku tanpa sengaja tertuju ke sebuah bukit gelap di kejauhan. Di puncaknya, berdiri sesosok lelaki berjubah putih. Tubuhnya tampak jelas di bawah cahaya lampu kota yang memantul di kain putihnya. Ia berdiri tegak, menghadap ke arah Masjidil Haram, tanpa bergerak sedikit pun.

Aku memandanginya cukup lama, mencoba memastikan apakah itu benar seorang manusia atau hanya ilusi bayangan. Bukit itu gelap, dan aku tak melihat adanya pohon seperti yang pemandu sebutkan hari ini. Aku tidak pernah tahu siapa lelaki itu, dan entah kenapa, sosoknya menyisakan rasa takjub bercampur tanya. Hingga hari ini, misteri itu tetap mengendap di dalam hatiku.

Napak tilas pun berlanjut. Kami ditunjukkan lokasi rumah Sayyidina Ali RA, rumah Abu Jahal, dan rumah para tokoh terkenal di masa Nabi ﷺ. Pemandu juga menunjukkan tempat-tempat bersejarah lain, hingga akhirnya kami tiba di bawah Zamzam Tower yang menjulang megah.

Saat berdiri di bawah bayangan menara raksasa itu, pikiranku kembali pada malam 20 Juni — pada sosok berjubah putih di atas bukit. Entah siapa dia, entah untuk apa dia ada di sana. Tapi di tengah perjalanan ibadah ini, rasanya seperti Allah sedang menyelipkan tanda-tanda kecil untukku: bahwa di setiap langkah, selalu ada sesuatu yang tidak terlihat oleh mata, namun bisa dirasakan oleh hati.

 

Tawaf Perpisahan

Tanggal 3 Juli 2024 adalah sehari sebelum keberangkatan kami menuju Madinah. Di hati setiap jamaah, hari ini membawa rasa haru sekaligus syukur. Masih ada satu ibadah penting yang harus dilaksanakan sebelum meninggalkan Kota Suci: Tawaf Wada, tawaf perpisahan dengan Ka'bah yang selama beberapa hari ini menjadi pusat setiap langkah, doa, dan air mata kami.

Pihak KBIHU telah merencanakan tawaf wada dilakukan menjelang siang, namun aku dan istriku memilih untuk melakukannya lebih awal bersama lima jamaah lain yang sudah sepuh — para kakek dan nenek yang tenaganya tak lagi sekuat dahulu. Kami meminta izin pada pembimbing, dan alhamdulillah diperbolehkan. Pagi itu, tepat pukul 07.30, kami berangkat menuju Masjidil Haram dengan niat yang mantap.

Dari tujuh orang, hanya aku dan istriku yang masih muda. Kami berdua bertekad untuk membantu mereka, agar bisa menuntaskan tawaf wada sebelum tubuh mereka lelah dan waktu habis untuk berkemas. Udara pagi Makkah terasa hangat, tapi di hati kami ada getaran lain: rasa sadar bahwa ini adalah kali terakhir — setidaknya untuk saat ini — kami akan memandang Ka'bah dari dekat.

Setibanya di pelataran Masjidil Haram, pandangan pertama ke arah Ka'bah membuat langkahku melambat. Kubah langit biru di atasnya terasa begitu luas, tapi Ka'bah berdiri teguh di tengah, memanggil setiap hati untuk mendekat. Bersama-sama, kami mulai mengelilinginya. Tujuh putaran, dengan doa yang mengalir lirih, kadang bercampur isak. Tidak ada sa’i setelah tawaf wada ini, sehingga setiap putaran terasa seperti kesempatan terakhir untuk menumpahkan semua pinta yang belum sempat terucap.

Selesai tawaf, kami berdoa bersama di pelataran Ka'bah. Suasana saat itu begitu syahdu. Di tengah keramaian ribuan jamaah dari berbagai bangsa, rasanya hanya ada kami dan Ka'bah. Aku dan istriku lalu melakukan video call dengan keluarga di tanah air. Di layar kecil ponsel, wajah anak dan kerabat tampak berseri sekaligus haru melihat siaran langsung Ka'bah dari genggaman kami. “Berdoalah, lihatlah Ka'bah, semoga Allah juga memanggil kalian ke sini,” ucapku pelan, berusaha menahan getaran suara.

Akhirnya, dengan hati berat, kami mengucapkan salam perpisahan pada Ka'bah. “Ya Allah, izinkan kami kembali ke tempat ini. Jadikan kerinduan ini sebagai doa yang Engkau kabulkan,” begitu doa terakhir yang terucap. Kami menatap Ka'bah sekali lagi, mencoba mengukir setiap detailnya ke dalam ingatan — warna kiswah hitam yang berkilau di bawah sinar matahari, kaligrafi emasnya, dan suasana suci yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.

Saat melangkah pergi, aku tahu, setiap jejak yang tertinggal di pelataran itu bukan sekadar langkah kaki, melainkan bagian dari perjalanan hati yang akan selalu kuingat.

Jam 10 pagi, kami selesai melaksanakan tawaf wada. Perasaan lega bercampur haru masih terasa, namun waktu tak memberi banyak ruang untuk berlama-lama. Kami segera kembali ke hotel untuk berkemas — mencuci sisa pakaian yang masih kotor, menata koper, dan mempersiapkan segala keperluan untuk perjalanan esok hari menuju Madinah.

Hari berjalan cepat. Saat selesai salat Magrib di hotel, suasana tiba-tiba berubah. Kabar mengejutkan datang: salah satu jamaah dari rombongan KBIHU kami telah wafat, tidak lama setelah menyelesaikan tawaf wada siang tadi. Hatiku tercekat. Bukan sekadar karena berita duka itu, tetapi karena aku teringat bahwa siang tadi akulah yang mendampinginya turun dari kamarnya menuju lift.

Aku masih ingat jelas raut wajahnya. Langkahnya pelan, tubuhnya tampak lemah, tapi ia tetap berusaha tersenyum ketika kutawarkan bantuan. Sepanjang perjalanan menuju lantai dasar, aku mendampinginya, memastikan ia aman sampai berkumpul dengan rombongan yang akan berangkat tawaf wada bersama. Tidak terpikir sedikit pun bahwa itulah kali terakhir aku melihatnya hidup.

Malam itu, bersama beberapa jamaah lain, aku dan istriku mendatangi kamar istrinya. Suasana penuh isak dan doa. Kami menyampaikan bela sungkawa, mencoba menenangkan hati yang kehilangan. Dalam hati, aku merenung: betapa indahnya ketentuan Allah bagi beliau — menutup perjalanan hidup di tanah suci, usai menunaikan ibadah perpisahan dengan Ka'bah. Sebuah akhir yang mungkin diimpikan banyak orang beriman.

 

Hijrah ke Madinah

Hari Kamis, 4 Juli 2024, selepas Subuh suasana hotel sudah ramai. Para jamaah sibuk berkemas, memastikan koper, oleh-oleh, dan perlengkapan pribadi siap untuk perjalanan panjang menuju Madinah. Pagi itu terasa berbeda. Ada haru yang tersisa setelah berpisah dengan Ka’bah melalui tawaf wada, namun juga ada semangat baru: hijrah ke kota Nabi.

Sekitar pukul 10.30, rombongan kami berangkat dengan iring-iringan sebelas bus. Perlahan kami meninggalkan jalanan kota Makkah, melewati bangunan-bangunan tinggi yang semakin jauh tertinggal di belakang. Di dalam bus, istriku duduk di sampingku. Sesekali ia menyiapkan bekal makan siang, sementara tanganku tak lepas menggenggam tangannya. Ada rasa hangat dan syukur mendalam: kami dipersatukan Allah dalam perjalanan suci ini.

Sepanjang jalan, mataku menatap hamparan gurun yang luas. Pemandangan yang terlihat hanyalah batu-batu hitam, bukit-bukit tandus, dan sesekali unta-unta yang berjalan pelan di tengah teriknya padang pasir. Subhanallah, aku membatin, bagaimana mungkin makhluk itu mampu bertahan hidup dengan sedikit air, di tengah panas yang membakar? Pemandangan itu seakan menjadi pelajaran, bahwa kesabaran dan ketabahan adalah kunci bertahan di tengah kerasnya kehidupan.

Waktu Dzuhur sudah masuk, rombongan singgah di sebuah rest area. Kami melaksanakan salat Dzuhur dan Ashar dengan jama’ qashar, sesuai tuntunan musafir. Setelah itu perjalanan kembali dilanjutkan. Matahari mulai condong ke barat, langit perlahan berubah warna, pertanda sore akan tiba.

Hati ini bergetar ketika bus mulai memasuki wilayah Madinah. Kondektur bus berdiri dan menunjuk ke arah sebuah lokasi, sambil bercerita: di sinilah dahulu kaum Ansar menanti kedatangan Nabi Muhammad ﷺ dan Abu Bakar ketika hijrah dari Makkah. Dengan suara lantang ia kemudian melantunkan shalawat “Thala‘al Badru ‘Alaina”. Kami pun spontan ikut bershalawat bersama, seolah benar-benar sedang disambut oleh penduduk Madinah sebagaimana Rasulullah dulu disambut dengan penuh cinta. Suasana bus pun haru, banyak yang tak kuasa menahan air mata.

Tepat pukul enam sore, iring-iringan bus kami tiba di hotel yang telah disiapkan. Nama hotel itu Diyar El-Amal, yang berarti “Rumah Harapan”. Nama yang terasa pas: di kota inilah kami berharap bisa lebih dekat dengan Rasulullah, memperbanyak doa, dan mengisi hari-hari dengan ibadah di Masjid Nabawi.

 

Hotel di Madinah

Hotel yang kami tempati di Madinah tidaklah sebesar dan semewah hotel sewaktu di Mekkah. Namun, ada satu kelebihan yang sangat kami syukuri: jaraknya amat dekat dengan Masjid Nabawi. Hanya dengan berjalan kaki sekitar 300 meter, kami sudah sampai di gerbang masjid. Kelelahan perjalanan panjang pun terasa terbayar oleh kenyamanan itu.

Pada awalnya, pembagian kamar dilakukan secara acak oleh pihak hotel. Aku mendapat kamar di lantai yang berbeda dengan istriku. Ada rasa sedikit kecewa, sebab selama di Mekkah kami selalu bersama, bahkan sering terlihat makan berdua. Melihat hal itu, pembimbing KBIHU kami tergerak hatinya. Dengan bijak, ia menukar kamar seorang jemaah lain denganku, sehingga aku bisa sekamar di lantai yang sama dengan istriku. Alhamdulillah, aku akhirnya mendapat kamar yang letaknya bersebelahan dengan kamar istriku.

Di hotel ini, jumlah penghuni setiap kamar tidak seragam. Ada kamar yang dihuni tiga orang, ada pula yang sampai lima orang. Kamarku kebetulan dihuni lima orang, sedangkan kamar istriku hanya tiga orang. Kondisi lorong hotel pun berbeda dibanding hotel di Mekkah. Lantainya tidak berkarpet, agak sempit, namun disediakan beberapa kursi dan meja, meski jumlahnya terbatas. Kursi-kursi itu sering menjadi tempat kami menyantap makanan berdua. Kadang harus bergantian dengan jemaah lain, tetapi justru di situlah suasana kebersamaan terasa.

Untuk konsumsi, kami tetap mendapat jatah nasi box dari katering. Akan tetapi, setelah beberapa hari, lidah ini mulai rindu pada cita rasa tanah air. Akhirnya banyak dari kami mencari pelarian dengan Pop Mie atau mie instan lain yang terasa lebih familiar di lidah. Sederhana memang, tetapi kenikmatan makanan itu justru menambah hangat suasana kebersamaan di perantauan.

 

Masuk ke Raudhah

5 Juli 2024 – Giliran Jemaah Laki-laki
Hari itu adalah salah satu momen yang paling kami tunggu-tunggu dalam rangkaian ibadah di Madinah: kesempatan masuk ke Raudhah, yang diyakini sebagai taman surga di bumi. Sejak selesai salat Ashar, rombongan jemaah laki-laki dari KBIHU kami sudah berkumpul dan bersiap.

Jalan menuju Raudhah dipadati jamaah dari berbagai bangsa, dengan bahasa, wajah, dan warna kulit yang berbeda-beda, namun menyatu dalam satu tujuan: ingin mendekat ke tempat yang dimuliakan. Antrian begitu panjang, kami berjalan perlahan-lahan sambil berzikir dan membaca shalawat. Hati ini berdebar, setiap langkah terasa semakin dekat dengan sebuah tempat yang disebut oleh Rasulullah ﷺ sendiri sebagai bagian dari surga.

Akhirnya, sekitar pukul setengah lima sore, kami tiba dan mendapat giliran masuk. Begitu kaki ini menapaki karpet hijau khas Raudhah, rasa haru langsung menyeruak. Aku tertegun sejenak, lalu air mataku menetes tanpa bisa kutahan. Bersama ribuan jamaah lain, aku menengadahkan tangan, berdoa penuh kekhusyukan. Dalam bisikan doa, aku memohon ampunan, memohon keteguhan iman, keselamatan keluarga, dan semoga Allah mengizinkan aku kembali lagi suatu hari nanti.

Di tengah desakan orang yang datang silih berganti, suasana terasa khusyuk. Tangis jamaah bercampur dengan suara doa yang lirih. Tidak semua orang mendapat kesempatan lama, namun walau hanya sejenak, rasanya sudah cukup membuat hati luluh dan jiwa terasa penuh cahaya. Saat meninggalkan Raudhah, aku menoleh sekali lagi. Ada rasa berat untuk pergi, tapi hati ini penuh syukur karena telah diberi kesempatan berdoa di taman surga.

6 Juli 2024 – Giliran Jemaah Perempuan
Keesokan harinya, tepat jam 10 pagi, giliran jamaah perempuan yang mendapat kesempatan memasuki Raudhah. Istriku ikut bersama rombongan. Dari sejak duha, istriku sudah tampak bersemangat. Ia menyiapkan dirinya dengan pakaian terbaik, wajahnya penuh harap meski menyimpan kegugupan kecil.

Proses masuk bagi jamaah perempuan biasanya lebih panjang dan padat, karena jumlah mereka lebih banyak dan waktu kunjungan dibagi khusus. Aku tidak bisa ikut mendampingi, hanya istirahat di hotel sambil terus mendoakan dari jauh, semoga istriku diberi kelancaran dan kesempatan berdoa dengan khusyuk di Raudhah.

Beberapa jam kemudian, istriku kembali dengan wajah yang bercahaya. Dengan suara lirih, ia bercerita bagaimana suasana Raudhah begitu indah dan penuh rahmat. Ia berdoa untuk keluarga, anak, orang tua, dan tentu juga untukku. Mendengar ceritanya, hatiku ikut terenyuh. Rasanya Allah begitu dekat, mendengar doa-doa hamba-Nya di tempat yang mulia itu.

Raudhah menjadi salah satu puncak pengalaman spiritual kami di Madinah. Meski hanya sebentar, namun meninggalkan jejak yang akan selalu kami kenang sepanjang hidup.

 

City Tour Madinah 

Hari itu, tanggal 7 Juli 2024, rombongan kami dijadwalkan mengikuti city tour Madinah. Sejak pagi, suasana hotel terasa lebih ramai dari biasanya, para jemaah sudah bersiap menaiki bus yang berjajar di depan. Satu kloter kami terbagi dalam sebelas bus, masing-masing dipenuhi wajah-wajah ceria yang tak sabar menikmati ziarah.

Aku duduk di samping istriku, menikmati perjalanan sambil menatap keluar jendela bus. Jalanan Madinah yang rapi dan tertib, dihiasi deretan pohon kurma yang sesekali berjejer di pinggir jalan, memberi kesan damai yang menyejukkan hati.

Perhentian pertama kami adalah kebun kurma. Di sana, pohon-pohon kurma menjulang tinggi dengan buah yang bergelantungan, sebagian masih muda, sebagian sudah matang dengan warna cokelat keemasan. Di area kebun itu terdapat toko besar yang menjual aneka jenis kurma—dari kurma Ajwa (kurma Nabi) yang mulia, hingga kurma Sukari yang manis legit, serta berbagai makanan olahan berbahan dasar kurma.

Para jemaah tak melewatkan kesempatan untuk berbelanja. Aku dan istriku pun membeli beberapa kotak kurma Ajwa sebagai oleh-oleh untuk keluarga di tanah air, juga kurma-kurma lain yang jarang ditemui di Indonesia. Ada rasa haru saat membayangkan kurma itu nanti disantap bersama keluarga—seolah membawa sedikit aroma tanah haram ke kampung halaman.

Dari kebun kurma, rombongan melanjutkan perjalanan ke Masjid Quba, masjid pertama yang dibangun Rasulullah ﷺ setelah hijrah dari Mekkah. Kami bergegas berwudhu, lalu melaksanakan salat duha di dalamnya. Suasana masjid yang bersih, indah, dan damai membuat ibadah terasa begitu khusyuk. Kami teringat sabda Nabi ﷺ: “Barang siapa berwudhu di rumahnya lalu datang ke Masjid Quba dan salat di dalamnya, maka baginya pahala seperti umrah.” Hati kami bergetar—Allah memberi kesempatan yang begitu agung.

Setelah itu, bus membawa kami menuju Jabal Uhud. Dari kejauhan, gunung itu tampak gagah menjulang dengan batu-batu merah kecokelatan. Begitu kaki menapakkan tanahnya, hatiku bergetar lebih kencang. Di sinilah dahulu, pada tahun 3 Hijriah, perang dahsyat terjadi.

Aku dan istriku bergandengan menapaki lereng Uhud, langkah demi langkah menyusuri jalur berbatu hingga mencapai puncak kecilnya. Angin berhembus membawa debu halus, seakan ikut bercerita tentang dentuman pedang, teriakan pasukan, dan pengkhianatan sebagian pemanah yang meninggalkan pos mereka. Aku membayangkan pasukan Muslim yang awalnya unggul tiba-tiba porak poranda, Rasulullah ﷺ sendiri terluka, dan Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi, syahid dengan tubuh tercabik.

Dari atas bukit, pandanganku melayang pada hamparan lembah di bawah. Aku bisa merasakan kedahsyatan peristiwa itu—tempat di mana iman dan ketaatan diuji dengan sangat berat. Tiba-tiba hatiku terasa kecil, betapa jauh kualitas kami dibanding para sahabat yang rela mati demi Rasulullah ﷺ.

Sesudah turun, kami berziarah ke makam para syuhada Uhud. Deretan gundukan makam sederhana menjadi saksi bisu pengorbanan para pejuang Islam. Dengan khidmat, kami membacakan doa, memohon agar Allah melapangkan kubur mereka, meninggikan derajat mereka, dan semoga kelak Allah mengumpulkan kami bersama mereka dalam barisan Rasulullah ﷺ.

Dalam perjalanan pulang, bus kami melewati Masjid Qiblatain—masjid bersejarah tempat wahyu turun yang memerintahkan Nabi ﷺ memindahkan kiblat dari Baitul Maqdis (Yerusalem) ke Ka’bah (Mekkah). Pembimbing menjelaskan betapa peristiwa itu menjadi penanda penting: umat Islam kini memiliki identitas dan arah yang jelas dalam ibadah. Kami hanya sempat berhenti sejenak untuk mendengar penjelasan, lalu melanjutkan perjalanan kembali ke hotel dengan hati penuh kesan.

Hari itu, perjalanan city tour tidak sekadar wisata rohani, melainkan pelajaran iman yang nyata. Dari kebun kurma yang subur, masjid Quba yang penuh berkah, Jabal Uhud yang menyimpan luka sejarah, hingga Masjid Qiblatain yang menjadi saksi perubahan besar, semuanya meninggalkan jejak mendalam dalam hati.

 

Ziarah ke Maqam Baqi

Tanggal 8 Juli 2024, selepas salat Subuh di Masjid Nabawi, rombongan kami mendapat kesempatan berziarah ke Maqam Baqi’. Udara Madinah belum terlalu panas, cahaya pagi baru saja menyapu pelataran masjid. Dari kejauhan, area pemakaman itu tampak sunyi, hanya dikelilingi tembok sederhana dengan pintu gerbang yang dijaga.

Kami berjalan bersama-sama dipimpin langsung oleh pembimbing KBIHU. Sebelum masuk, beliau mengingatkan bahwa ziarah ke Baqi adalah untuk mendoakan para penghuni makam dan mengambil pelajaran dari kematian. “Baqi adalah taman dari taman-taman surga,” ucap beliau, “di sinilah ribuan sahabat Nabi ﷺ, keluarga Rasulullah, dan orang-orang saleh dimakamkan.”

Begitu masuk, hatiku langsung bergetar. Tanah lapang berwarna cokelat itu penuh dengan gundukan sederhana tanpa nisan mewah, hanya tanda kecil untuk membedakan satu makam dengan yang lain. Kesederhanaan itu justru menghadirkan rasa haru yang dalam.

Kami pun berdiri khusyuk, membaca doa-doa dan Al-Fatihah. Suara lirih doa bercampur dengan keheningan pagi, seakan-akan angin Madinah turut menjadi saksi.

Aku memejamkan mata, membayangkan betapa mulianya mereka yang kini beristirahat di sini, begitu dekat dengan Rasulullah ﷺ. Hatiku tercekat: cepat atau lambat, aku pun akan dipanggil Allah dan berbaring di tanah seperti mereka. Tak ada lagi yang bisa dibawa selain amal saleh.

Saat meninggalkan area Baqi, aku menoleh sekali lagi. Ada rasa berat, namun juga rasa syukur yang besar. Allah telah memberi kesempatan kepadaku untuk berziarah ke tempat yang begitu agung, tempat peristirahatan orang-orang pilihan Allah dan sahabat-sahabat Nabi ﷺ.

 

Itikaf dan Makan Bersama di Madinah

Di Masjid Nabawi, aturan pemisahan antara jamaah laki-laki dan perempuan memang lebih tegas dibandingkan dengan di Masjidil Haram. Karena itu, aku dan istriku tidak selalu bisa beribadah berdekatan sebagaimana di Mekkah. Namun ada momen-momen sederhana yang justru menjadi kenangan tak ternilai: makan bersama dalam kesederhanaan.

Sore itu sekitar pukul enam, sambil menunggu waktu maghrib, kami duduk berdua di depan kamar hotel dengan satu kotak nasi. Kami berbagi, seolah setiap suapan yang berpindah menjadi saksi kebersamaan di tanah suci. Selesai makan, setengah jam sebelum azan maghrib, aku melangkah ke masjid. Keinginanku sederhana: bisa mendapatkan tempat di ruang utama, di mana denyut sejarah dan doa para sahabat pernah bergema.

Istriku pun pergi sendiri, kadang bersama jamaah perempuan lain. Kami berpisah jalan, tetapi sama-sama menuju rumah Rasulullah ﷺ. Aku tiba lebih awal, lalu membuka mushaf yang berderet rapi di rak-rak kayu. Lembaran Al-Qur’an kubaca dengan penuh khusyuk, menenangkan hati sambil menunggu waktu maghrib.

Azan berkumandang, jamaah berdiri dalam saf-saf rapat, dan aku larut dalam salat maghrib. Seusai itu, aku memilih untuk tetap berdiam, melanjutkan tilawah, menikmati ketenangan yang hanya bisa dirasakan di masjid ini. Hingga isya tiba, aku masih bertahan, merasakan bahwa waktu berjalan lambat, setiap detik dipenuhi dengan doa dan dzikir.

Sekitar pukul sembilan malam barulah aku kembali ke hotel. Di sana, istriku sudah menunggu. Kami kembali membuka satu kotak nasi untuk dimakan berdua. Sesudahnya, kami berpisah kembali ke kamar masing-masing—hanya satu lorong yang memisahkan. Namun justru di situ aku merasa, kedekatan batin jauh lebih dalam daripada sekadar duduk bersebelahan.

Pagi hari, tepat pukul setengah tiga, aku terbangun. Dengan semangat yang tak pernah aku rasakan di tanah air, aku berwudhu lalu melangkah menuju Masjid Nabawi. Sepertiga malam terakhir itu, aku gunakan untuk salat tahajud, dzikir, dan munajat panjang. Setelahnya, fajar datang, dan aku larut dalam salat Subuh di masjid yang tak pernah tidur ini.

Di Madinah, ibadah terasa begitu hidup—antara tilawah, doa, makan sederhana berdua dengan istriku, hingga qiyamul lail yang menggetarkan hati. Semua tersimpan sebagai jejak yang akan selalu kurindukan.

 

Salat Duha dan Ziarah ke Makam Rasulullah ﷺ

Selepas sarapan pagi di hotel, aku dan istriku bersiap kembali menuju Masjid Nabawi. Suasananya lebih lengang dibandingkan waktu salat fardhu, sehingga langkah kami terasa lebih ringan. Kami berjalan berdua, menyusuri jalan yang dipenuhi jamaah dari berbagai bangsa. Sesampainya di pelataran masjid, kami berpisah; istriku berjalan ke bagian belakang, menuju ruang salat perempuan, sedangkan aku masuk ke ruang utama jamaah laki-laki.

Aku berniat melaksanakan salat duha. Dengan hati bergetar, aku mencari tempat yang dekat dengan Raudhah. Walaupun ada sekat hijab, aku masih bisa melihat bagian atasnya. Di tempat itulah aku berdiri, takzim, mengangkat tangan dan melaksanakan rakaat-rakaat duha dengan penuh rasa syukur. Seusai salat, aku duduk lama, berdoa dengan harapan semoga saat itu Allah mencatatku seakan berada di dalam taman surga—Raudhah yang mulia.

Setelah itu aku keluar, menyusuri jalur yang sudah diatur dengan pagar pembatas. Orang-orang dari berbagai negara berbaris rapi untuk ziarah ke makam Rasulullah ﷺ. Aku ikut masuk dalam barisan, langkah demi langkah semakin dekat ke tempat yang selama ini hanya terbayang dalam doa. Akhirnya, tibalah aku di hadapan makam Rasulullah ﷺ yang berdampingan dengan makam Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. dan Umar bin Khattab r.a. Dengan penuh haru aku menyampaikan salam, lalu berdoa lirih agar cinta dan syafaat Rasulullah selalu melingkupi kami.

Usai ziarah, aku segera berjalan ke bagian belakang masjid untuk menemui istriku. Ia telah selesai salat duha. Kami lalu berjalan berdua, bergandengan tangan, menyusuri lorong-lorong di belakang Masjid Nabawi yang dipenuhi toko-toko dan pedagang oleh-oleh. Sesekali kami masuk ke toko, memilih kurma, sajadah, dan tasbih untuk dibawa pulang sebagai buah tangan. Pernah juga kami berdua masuk ke Mal Bin Dawood. Saat di dalam lift, seorang petugas mal bertanya sambil tersenyum, “Suami istri ya?” Kami mengangguk dan menjawab iya. Ia lalu memuji kami, mungkin karena melihat kemesraan sederhana yang kami bawa dari tanah air hingga ke tanah suci. Bagi kami, itu menjadi momen manis—indahnya cinta yang tumbuh makin dalam di bawah langit Madinah.

Namun, tidak semua kisah berjalan mulus. Ada juga kejadian yang kini menjadi bahan tawa setiap kami mengenangnya. Seperti biasa, selepas sarapan kami berjalan menuju masjid. Setelah ziarah ke makam Rasulullah, aku hendak menemui istriku. Namun entah bagaimana, aku tidak menemukannya. Spontan aku merogoh saku, tetapi ternyata HP-ku tertinggal di kamar hotel. Tak ada cara lain, aku kembali ke hotel, mengambil HP, lalu kembali lagi ke masjid untuk mencoba menelepon istriku. Aku hubungi berulang kali, tapi tak juga diangkat. Rasa khawatir mulai menyelip, hingga hampir putus asa.

Beberapa waktu kemudian, takdir mempertemukan kami juga. Dengan wajah lega bercampur geli, kami saling bercerita. Rupanya, istriku pun mengalami hal yang sama: HP-nya juga tertinggal di hotel. Maka pagi itu, kami berdua sama-sama mencari, sama-sama tak terhubung, karena sama-sama tanpa HP. Di tengah hiruk-pikuk jamaah dunia, Allah ternyata sedang memberi kami pelajaran: bahwa pertemuan sejati tidak selalu ditentukan oleh teknologi, melainkan oleh takdir dan kasih-Nya.

 

Ziarah Wada (Perpisahan)

Tanggal 11 Juli 2024, satu hari menjelang kepulangan kami ke tanah air. Seusai salat duha, aku kembali melangkah menuju makam Rasulullah ﷺ. Hati terasa berat, karena kali ini bukan sekadar ziarah, melainkan ziarah wada—ziarah perpisahan. Dengan langkah perlahan aku masuk ke lorong yang sama, lalu berdiri di depan makam Rasulullah ﷺ. Air mata jatuh begitu saja ketika aku berdoa, “Ya Rasulullah, izinkan aku kembali suatu hari nanti untuk menemuimu lagi.”

Saat keluar dari lorong makam, tangis itu tak lagi bisa kutahan. Rasanya seperti benar-benar berpisah dengan seseorang yang begitu dekat di hati. Beberapa hari belakangan, aku merasa seolah berada sangat dekat dengan Rasulullah—lewat salat, doa, dan ziarah. Namun hari ini, aku harus menyampaikan salam perpisahan.

Siang harinya, aku dan istriku menyempatkan diri membeli Al-Baik Fried Chicken, titipan anak kami tercinta di tanah air. Rasanya sederhana, namun ada bahagia yang melingkupinya—membayangkan senyum anak kami saat menerima oleh-oleh khas tanah suci.

Malamnya, aku menggandeng istriku menuju samping Masjid Nabawi. Dari sisi itu, tepat menghadap lorong di mana Rasulullah ﷺ dimakamkan, kami berdiri dalam hening. Di sana, istriku pun menyampaikan salam perpisahannya kepada Baginda Nabi, meski dari kejauhan. Malam itu, dalam diam dan kesyahduan, kami berdua menitipkan cinta dan rindu kami kepada Rasulullah ﷺ, sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan Madinah.


Kembali ke Tanah Air

Tanggal 12 Juli 2024, pukul 02.30 dini hari, kami sudah harus bangun dan bersiap-siap untuk kembali ke tanah air. Suasana hati bercampur—ada haru meninggalkan Tanah Suci, ada rindu yang menanti di rumah. Tepat pukul 03.40, bus mengantar kami menuju Bandara Madinah. Di sana, sebelum keberangkatan, kami sempat menunaikan salat Subuh di masjid bandara, menutup perjalanan rohani ini dengan doa-doa terakhir dari bumi para nabi.

Pukul 08.50 kami sudah masuk ke dalam pesawat. Sekitar satu jam kemudian, pesawat pun lepas landas, membawa kami meninggalkan Madinah dengan kenangan yang tak akan pernah pudar. Sepanjang perjalanan, hati kami terus berzikir, memohon agar Allah menerima ibadah haji kami.

Hampir sehari penuh perjalanan itu ditempuh. Pukul 23.30 waktu Indonesia, pesawat mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Dari bandara, bus mengantar kami ke Asrama Haji Bekasi untuk transit sebentar, lalu melanjutkan perjalanan ke UIII Depok hingga tiba sekitar pukul 04.15 dini hari.

Di sanalah akhirnya kami bertemu kembali dengan anak dan ibunda tercinta. Kami berpelukan erat, penuh rasa haru, syukur, dan bahagia. Air mata menetes tanpa bisa ditahan—air mata kerinduan yang terjawab. Doa kami yang paling dalam pun terucap: semoga Allah menerima haji kami sebagai haji yang mabrur, dan semoga cinta kami berdua semakin bertambah kuat, dipelihara-Nya hingga akhir hayat.

 

Penutup

Perjalanan haji tahun 2024 ini adalah sebuah kisah yang akan selalu hidup dalam hati kami. Dari langkah awal menggenggam uang lusuh, menabung, meninggalkan tanah air, menjalani ibadah penuh suka dan duka di Makkah, hingga singgah di Madinah untuk meneguhkan cinta kepada Rasulullah ﷺ, semuanya menjadi untaian kenangan indah yang tak ternilai.

Di Makkah, kami belajar tentang kepasrahan total kepada Allah—saat tawaf mengelilingi Ka’bah, sa’i menapaki jejak Siti Hajar, hingga wukuf di Arafah yang membuat kami merenungi seluruh dosa dan berharap ampunan. Di Mina, dengan melontar jumrah, kami belajar melawan hawa nafsu dalam diri sendiri. Semua itu mengajarkan bahwa haji bukan hanya perjalanan fisik, melainkan perjalanan batin yang merubah jiwa.

Di Madinah, doa-doa kami larut dalam haru saat berada di Raudhah, taman surga yang dirindukan. Ziarah ke makam Rasulullah ﷺ dan para sahabat mulia di Baqi menumbuhkan rasa dekat sekaligus kerinduan yang mendalam. Saat ziarah wada, aku menangis—seakan benar-benar harus berpisah dengan Rasulullah, meski hati selalu ingin kembali.

Lalu, tibalah saatnya pulang. Ada rindu kepada keluarga yang menunggu, tapi juga ada kerinduan yang tertinggal di Tanah Suci. Setibanya di tanah air, kami disambut pelukan hangat anak dan ibunda tercinta. Di sanalah kami menyadari, bahwa cinta kami sebagai suami-istri diuji, dipererat, dan dipenuhi berkah dalam perjalanan haji ini.

Semua pengalaman itu menjadikan kami berdua semakin yakin bahwa haji bukan sekadar ibadah wajib, melainkan perjalanan cinta—cinta kepada Allah, cinta kepada Rasulullah, cinta kepada keluarga, dan cinta di antara kami yang semakin dipelihara.

Doa kami, semoga Allah menerima haji ini sebagai haji yang mabrur. Dan semoga cinta kami terus bertumbuh, menyertai langkah-langkah hidup kami sampai akhir hayat.


Epilog: Dari Surat ke Baitullah

Ada sesuatu yang berawal dari secarik kertas, tinta sederhana, dan hati yang masih belajar mengenal arti rindu. Tahun 1993, seorang mahasiwa tingkat pertama menulis surat dari Depok, dan seorang gadis SMP menjawab dari desa di Tegal dengan tawa, manja, dan kangen yang disamarkan. Saat itu, siapa sangka bahwa Allah sedang menulis takdir yang jauh lebih panjang dari sekadar surat balasan?

Delapan tahun kemudian, tahun 2001, tinta itu menjelma menjadi akad. Dua nama yang dulu hanya bertukar kata, kini terikat dalam janji suci. Dari sana, perjalanan tak berhenti: suka dan duka, tawa dan tangis, perjuangan dan doa — semuanya ditempuh bersama.

Hingga akhirnya, tahun 2024, sepasang jiwa itu berdiri di hadapan Ka’bah. Tidak lagi hanya menyebut nama satu sama lain dalam surat, tetapi kini menyebut nama Allah dalam satu doa, satu sujud, satu air mata. Yang dulu dimulai dengan kalimat “Assalamu’alaikum wr. wb.” dalam surat remaja, kini berakhir dengan salam yang lebih agung di Tanah Suci.

Maka lengkaplah lingkaran itu:
dari 
surat pertama,
ke 
janji pernikahan,
hingga 
ziarah ke Baitullah bersama.

Cinta mereka bukan sekadar kisah manusia, melainkan jalan panjang yang Allah bimbing dari awal hingga akhir — dari kertas yang basah tinta, hingga hati yang basah air mata.

Dan di hadapan Ka’bah, mereka berdua akhirnya tahu: cinta sejati bukan sekadar kata, bukan sekadar janji, melainkan doa yang dibawa bersama-sama menuju rumah Allah.

Selesai

Depok, 24 Agustus 2025

✨ Tentang Penulis ✨

Setiap cerita lahir dari harapan, doa, dan cinta yang tersembunyi.
Siapakah sosok di balik kisah-kisah ini? Temukan jawabannya...

CERPEN KARYA ANAFIS '93

Buku kumpulan cerpen ini menghadirkan delapan kisah yang merentang dari cinta masa remaja, persahabatan, pengorbanan, hingga perenungan spiritual. Masing-masing cerita bukan sekadar fiksi, tetapi berangkat dari pengalaman batin yang diolah menjadi narasi penuh makna

Seorang dosen Fisika menemukan makna cinta melalui mahasiswinya, saat hukum gravitasi berubah menjadi metafora tentang rasa yang saling menarik namun tak bisa dimiliki. Cinta di antara mereka tidak pernah terucap, hanya hadir dalam bentuk pengertian, penghormatan, dan kenangan yang tak lekang oleh waktu.

Dalam perjalanannya sebagai gadis sederhana yang jatuh cinta pada rekan kerja barunya, Adipta harus belajar menerima kenyataan pahit bahwa debar yang ia simpan tak pernah berbalas, hingga akhirnya ia menemukan bahwa cinta sejati bukan selalu tentang memiliki, melainkan tentang kerelaan untuk mencintai dalam diam dan merelakannya lewat doa.

Cerita ini mengisahkan cinta tragis antara Baridin, pemuda miskin Jagapura Lor Kabupaten Cirebon, dan Suratminah, putri juragan kaya, yang berakhir nestapa oleh jurang derajat, hinaan, dan takdir.

Cerpen Remaja ini mengisahkan tentang cinta pertama yang lahir di bawah nyala api unggun, terjaga dalam diam, dan abadi dalam kenangan.

Cerpen ini menyiratkan perjalanan tobat dan kesadaran spiritual yang dalam, serta pencarian akan rekonsiliasi dengan diri sendiri — sebagai langkah awal untuk menata hidup yang lebih baik.

Kisah tragis tentang Dirman dan Surti, dua sejoli yang cintanya kandas oleh kepercayaan weton hingga berakhir di dua pusara berdampingan, menjadi pelajaran bahwa hidup dan mati hanyalah di tangan Allah, bukan ramalan.

Di balik senyum dan jilbabnya yang teduh, Anggraeni menyembunyikan cinta sunyi pada dosennya—cinta yang tak pernah berani ia ucapkan, hanya bisa ia rawat dalam doa dan diam, tumbuh sebagai rahasia manis sekaligus luka halus yang terus ia tanggung sendirian

Kasih dalam Sebutan Adik adalah kisah epistolari tentang hubungan yang bermula dari panggilan kakak-adik antara Ati dan Azis, namun perlahan berkembang menjadi cinta yang indah sekaligus rumit, terjalin lewat surat, kerinduan, dan pertanyaan tentang batas kasih sayang.

Kisah ini mengurai pertemuan seorang trainee Indonesia dan Haruka di Osaka, yang masih dibayangi hubungan pahitnya dengan Tio—seorang trainee lain dari Indonesia yang pernah ia cintai—hingga lewat surat-surat dan kenangan masa lalu mereka akhirnya menyadari bahwa cinta kadang harus melewati luka dan perpisahan sebelum berlabuh pada pintu maaf.

Melepasmu Dua Kali adalah kisah tentang dua sahabat SMA yang pernah berbagi kenangan indah bersama, lalu dipertemukan kembali setelah sepuluh tahun dalam reuni, namun akhirnya harus berani mencintai tanpa memiliki dan ikhlas melepas demi kebaikan.

Sahabat Terbaik mengisahkan dua sahabat kecil yang dipertemukan kembali oleh surat yang salah paham, lalu tumbuh menjadi cinta yang tak pernah terucap, dan akhirnya hanya bisa disimpan sebagai doa, kenangan, serta pengakuan tulus dalam diam.

Kisah ini menuturkan pertemuan tak terduga antara Hiro dan Michiyo yang tumbuh menjadi persahabatan hangat, lalu cinta yang akhirnya diakui namun harus dilepaskan, meninggalkan jejak indah tentang pertemuan, perpisahan, dan keikhlasan melepaskan.

Kisah ini mengurai perjalanan seorang kakak yang berpegang pada wasiat ibunya untuk menjaga adiknya, hingga di tengah perjuangan hidup dan pertemuan dengan cinta yang tak bisa dimiliki, ia belajar bahwa pengorbanan, tanggung jawab, dan kasih tanpa pamrih justru meninggalkan jejak paling dalam.

Pada reli Pramuka hujan Februari 1991, seorang remaja menemukan kehangatan tak bernama cinta dengan seorang siswi, yang kelak ia pahami sebagai pelajaran jiwa bahwa tidak semua pertemuan harus dimiliki, cukup dikenang sebagai doa sunyi di dalam hati.

Kisah ini adalah perjalanan dari genggaman uang lima ribu rupiah yang penuh keyakinan hingga menjadi undangan suci ke Baitullah, bukti bahwa doa, niat tulus, dan cinta dalam rumah tangga mampu membuka pintu langit. Ini adalah catatan perjalanan Ibadah Haji tahun 2024

Kisah ini menceritakan pertemuan sederhana seorang siswa SMA dengan adik temannya bernama Hapsi, yang berawal dari sapaan kecil di pagi banjir dan tumbuh menjadi ikatan manis kakak-adik penuh rahasia serta kehangatan yang tak pernah mereka sebut cinta.

Kisah ini menggambarkan hubungan samar antara seorang lelaki misterius dan Non, gadis kecil yang tumbuh dengan puisi-puisinya, di mana setiap kehadiran dan sepucuk amplop berisi kata-kata menjadi tanda kasih sayang tersembunyi yang menuntunnya menuju kedewasaan.

Kakak Berjilbab mengisahkan seorang mahasiswa baru Fisika UI pada tahun 1993 mengalami dua perjumpaan singkat namun membekas dengan kakak senior berjilbab, meninggalkan kenangan manis yang tak pernah terlupa meski namanya tak pernah benar-benar diingat.

Seorang kenshusei Indonesia di Yokohama tahun 1999 menemukan hiburan sekaligus “takdir aneh” lewat kaset-kaset Tan Sri P. Ramlee yang selalu muncul di momen tak terduga, hingga membuat sahabat sebelah kamarnya yakin dunia ini diam-diam diatur oleh Ramlee.

Sebuah kisah tentang suami-istri yang, di tengah lautan jamaah haji di Makkah, menemukan makna cinta terdalam melalui thawaf, sa’i, dan potongan rambut kecil yang menjelma menjadi janji suci pengabdian bersama menuju Allah.

Seorang trainee Indonesia di Osaka menemukan keteduhan di balik senyum resepsionis bernama Nagabayashi, yang dengan sapaan sederhana, surat-surat dari tanah air, dan satu foto perpisahan, meninggalkan kenangan manis yang tak terlupakan di tengah hari-hari keras perantauan.

Seorang dosen yang terbiasa dengan rutinitas Sabtunya di kampus dan warung Padang tiba-tiba mengalami pertemuan singkat dengan seorang mahasiswi kampus sebelah yang meninggalkan senyum hangat—dan sepiring ayam bakar tak terbayar—membuatnya bertanya apakah itu sekadar kebetulan atau isyarat kecil dari semesta.

Di tengah panas lembab musim panas Osaka 1999, seorang trainee menemukan seberkas kebahagiaan sederhana dari sapaan kasir kantin yang setiap hari menyebut “nana juu en desu”, hingga julukan “Mba Nana” pun lahir dan menjadi kenangan manis yang tak ternilai.

Keyakinan sederhana seorang istri yang menggenggam uang lima ribu rupiah di tahun 2008 menjadi awal perjalanan suci pasangan ini hingga akhirnya Allah mengundang mereka ke Baitullah.

Menjadi sekretaris RW bukan hanya soal tanda tangan dan arsip, tapi juga membuka pintu pada kisah-kisah tak kasat mata—seperti pertemuan istriku dengan sosok anak kecil yang seharusnya sudah tiada.

Sekelompok siswa SMAN 1 Tegal pada tahun 1991 membuktikan bahwa gamelan dan band bisa berpadu harmonis di panggung lomba musik Semarang, meninggalkan kenangan tak terlupakan tentang mimpi yang pernah hidup dengan gemuruh sorak penonton.

A man who secretly replaces someone else in a woman’s heart struggles between truth and silence, torn by the borrowed love that warms him even though he knows the light was never meant for him.

Perjalanan haji yang penuh haru dimulai dengan pelepasan sederhana di rumah dan kampus UIII, ketika doa, tangis, dan pelukan terakhir dari anak tercinta menjadi bekal hati menuju tanah suci.

Seorang pemuda yang terjebak hujan tanpa sengaja dipertemukan dengan keponakan yang lama hilang, lalu menguak kisah kelam keluarganya hingga membawanya pada janji untuk bertobat dan kembali ke jalan yang benar.

Seorang kakak yang sibuk kerja akhirnya memilih menulis cerpen penuh nasehat sebagai hadiah ulang tahun sederhana namun bermakna untuk sahabatnya, setelah melalui kehebohan bersama adiknya yang usil namun penuh perhatian.

Kisah Kisdanu dan Hapsari adalah perjalanan panjang dua sejoli dari desa, yang berawal dari hubungan kakak-adik penuh kasih sayang hingga akhirnya menemukan cinta sejati dan dipersatukan dalam pernikahan, setelah melewati ujian jarak, keraguan, dan kesetiaan.

Seorang trainee Indonesia di Osaka menemukan kehangatan tak terduga ketika lensa kameranya menjadi jembatan sederhana antara dirinya dan tawa siswi SMP di seberang gedung, menghadirkan sejenak pertemuan dua dunia yang berbeda.

Postingan Populer

Cerpen - Sajak Sunyi di Bawah Langit Februari

Cerpen - Sapaan Yang Hanyut Terbawa Banjir

Cerpen - Cinta yang Terselip di Antara Rumus-rumus Fisika

Cerpen - Di Bawah Tokyo Tower, Malam Berbisik (東京タワーの下、夜が囁く)

Puisi - SEJAK KAU MENANGIS

Puisi - Di Ujung Masa

Puisi - DI STASIUN INI AKU MENANTI