Cerpen - Cinta yang Tak Pernah Punya Nama
Prolog
Ada kisah yang tak pernah dimaksudkan untuk diketahui banyak orang. Ia lahir dalam diam, tumbuh dalam rahasia, lalu perlahan mengendap menjadi kenangan yang tak pernah pudar.
Aku, Anggi, hanyalah seorang mahasiswi biasa. Perjalananku di kampus seharusnya hanya berisi tugas, kelas, dan gelisah menjelang ujian. Namun, tanpa pernah kusadari, di sela semua itu, hatiku tertambat pada sosok yang tak seharusnya kucintai. Seorang dosen—yang bagiku bukan hanya guru, melainkan juga cahaya yang pernah menuntun langkahku melewati hari-hari sulit.
Tidak pernah ada janji di antara kami. Tidak pernah ada kata cinta yang terucap. Hanya tatapan singkat, percakapan seperlunya, dan kebetulan-kebetulan kecil yang meninggalkan jejak terlalu dalam. Seperti salat berjemaah berdua, malam hujan di bawah satu payung, atau senyum singkat di tengah ruang wisuda.
Kini, setelah toga terlipat rapi dan kampus hanya tinggal cerita, yang tersisa hanyalah aku dan perasaan yang harus kupelihara sendirian. Cinta itu mungkin tak pernah punya tempat di dunia nyata, tetapi ia menemukan rumahnya di hatiku—sunyi, sederhana, dan kekal.
Inilah catatan kecil tentang sebuah perasaan yang tidak pernah menjadi nyata, namun tetap hidup, mengalir tenang seperti sungai yang tak pernah berhenti mencari lautnya.
Awal Kuliah
Namaku Anggraeni, tapi hampir semua orang memanggilku Anggi. Aku berasal dari sebuah desa di Jawa Tengah, dan ini pertama kalinya aku jauh dari keluarga. Hari itu, awal masuk kuliah di Politeknik kawasan Lenteng Agung, udara Jakarta terasa lebih padat dari biasanya. Aku berdiri di gerbang kampus dengan perasaan campur aduk: bangga karena berhasil lolos seleksi, tapi juga gugup menghadapi dunia baru. Jilbab sederhana yang kupakai terasa menjadi penanda diriku—seorang gadis desa yang mencoba menapak di kota besar dengan hati yang berdebar.
Kampus ini tidak sebesar perguruan tinggi lain di Jakarta, tapi atmosfernya hidup. Mahasiswa lalu-lalang dengan map, kalkulator, dan setumpuk fotokopian. Di sekitar gerbang, tukang fotokopi dan warung nasi sudah siap melayani mahasiswa yang sibuk. Aku menarik napas panjang, mencoba meyakinkan diri: Inilah awal dari hidup baruku.
Hari itu aku bertemu beberapa teman baru. Ada Rina, anak Depok yang cerewet dan supel, cepat akrab dengan siapa saja. Ada juga Santi, pendiam, asal Bekasi, tapi wajahnya selalu serius seperti sedang menganalisis sesuatu. Kami bertiga sering bersama, berjalan sambil membawa jadwal kuliah yang masih membingungkan.
Saat ospek, kami diperkenalkan dengan laboratorium-laboratorium yang akan menjadi dunia baru kami: Lab Elektronika, Lab Sensor dan Transduser, Lab Pneumatik, hingga Lab PLC. Melihat meja-meja penuh kabel, sensor, dan alat ukur, aku sempat merasa ngeri sekaligus bersemangat. Di kepalaku terbayang malam-malam panjang penuh rangkaian dan coding.
“Aduh, ini beneran kayak dunia laki-laki semua ya, Gi,” bisik Rina sambil melirik alat-alat yang berantakan.
Aku tersenyum tipis. “Iya, tapi justru itu tantangannya.”
Minggu pertama kuliah terasa seperti masa perkenalan yang penuh transisi. Dosen-dosen datang silih berganti, memperkenalkan diri, menjelaskan silabus, lalu menutup dengan beberapa wejangan. Ada yang tampak begitu serius, ada pula yang membuat suasana terasa sedikit membosankan. Namun, ketika sebuah nama dipanggil, aku refleks menajamkan telinga. Muhammad Arifin—lulusan Fisika UI, pernah menimba pengalaman di Jepang dalam dunia industri, kini mengajar Elektronika Dasar, Pneumatik, dan PLC.
Hari itu masih terpatri jelas dalam ingatan. Ia melangkah masuk kelas dengan map dan spidol di tangan, geraknya tenang tanpa banyak basa-basi. Kemeja biru muda yang dikenakannya sederhana, lengannya digulung rapi seolah siap bekerja tanpa jarak. Wajahnya teduh, dengan ketenangan yang sekaligus memancarkan keramahan. Usianya, barangkali baru menginjak awal tiga puluhan, namun auranya memberi wibawa yang membuatku diam-diam menaruh perhatian lebih.
“Selamat pagi. Saya Muhammad Arifin. Kalian boleh panggil saya Pak Ari saja. Di semester pertama ini kita akan bersama di mata kuliah Elektronika Dasar, yang menjadi fondasi semua mata kuliah Instrumentasi selanjutnya. Jangan takut dengan banyaknya rumus, karena kita akan belajar pelan-pelan.”
Ia menulis di papan: V = I x R. Rumus sederhana yang bahkan kami pelajari di SMA. Tapi caranya menjelaskan terasa berbeda. Ia bercerita bagaimana hukum Ohm dipakai untuk menghitung tegangan sensor tekanan, atau mengatur sinyal di pabrik. Aku merasakan antusiasme yang tulus saat ia mengajar.
Aku menatapnya lama. Suara tenangnya menembus kegaduhan batinku sebagai mahasiswa baru. Saat itu, entah bagaimana, ada sesuatu yang bergetar di hatiku.
Setiap pertemuan, aku semakin terkesan. Ia tidak pernah marah kalau ada mahasiswa yang lambat memahami materi. Ia sabar menulis ulang penjelasan, bahkan memberi contoh praktis.
“Kalau kalian nanti masuk ke dunia industri, alat ukur yang dipasang di pabrik bekerja berdasarkan prinsip sederhana ini,” katanya suatu hari, sambil menggambar sensor arus di papan.
Aku duduk di barisan kedua, memperhatikan setiap gerakannya. Kadang aku merasa pandangannya berhenti sejenak padaku. Mungkin itu hanya perasaanku saja, tapi cukup membuat pipiku panas.
Awalnya aku hanya kagum. Tapi makin lama, aku menunggu-nunggu jadwal kuliahnya. Aku bahkan rela datang lebih pagi agar bisa duduk di barisan depan.
Saat ia menyebut namaku saat absen—“Anggraeni?”—aku menjawab pelan, “Hadir, Pak.”
Dan jantungku langsung berdetak lebih cepat, seolah itu bukan sekadar formalitas, tapi panggilan istimewa.
Aku tahu ia sudah berkeluarga. Aku tahu dosen dan mahasiswa seharusnya hanya punya hubungan akademis. Tapi perasaan itu tumbuh tanpa bisa dicegah.
Aku mulai mencari cara agar ia memperhatikan aku. Aku sering mengajukan pertanyaan di kelas, bahkan ketika aku sebenarnya sudah mengerti.
“Pak, kalau sensor suhu dipasang di ruangan lembap, apa pengaruh kelembapan pada resistansinya?” tanyaku suatu kali.
Ia menoleh, tersenyum tipis, lalu menjelaskan panjang lebar sambil menggambar kurva resistansi di papan. Saat menjawab, ia sempat menyebut namaku:
“Jadi, Anggi, kelembapan itu memang berpengaruh…”
Hanya menyebut namaku, tapi bagiku itu lebih dari cukup.
Namun, ada saat-saat menyakitkan. Saat ia memberi perhatian pada mahasiswi lain, aku merasa cemburu. Pernah suatu kali ia memuji hasil rangkaian kelompok Santi karena rapi. Hatiku mendadak muram, meski aku tahu itu hanya profesionalitas seorang dosen.
Praktikum pertama di Lab Elektronika semakin memperdalam perasaan itu. Ruangan ber-AC dingin, penuh dengan breadboard, power supply, kabel, dan multimeter.
Pak Ari menjadi penanggung jawab. Ia berkeliling ke tiap kelompok. Aku dan Rina satu kelompok. Aku sengaja memasang LED terbalik.
“Pak, ini kok nggak nyala, ya?” tanyaku, pura-pura bingung.
Ia mendekat, menunduk, lalu memperbaiki sambil menjelaskan. Tangannya bergerak cekatan. Saat jarak kami begitu dekat, aku bisa merasakan aroma parfum lembut yang samar, sekaligus kehangatan kehadirannya.
Setelah ia beralih ke kelompok lain, aku masih menatap LED yang kini menyala. Tapi yang sesungguhnya menyala bukan hanya rangkaian di meja itu, melainkan sesuatu yang perlahan tumbuh di hatiku.
Aku sadar, aku sedang jatuh cinta.
Pada sesuatu yang tidak seharusnya.
Pada seseorang yang seharusnya hanya kucatat sebagai dosen Elektronika Dasar, bukan sebagai pria yang diam-diam kurindukan setiap hari.
Pertengahan Kuliah
Tahun kedua berjalan, dan aku mulai terbiasa dengan ritme kampus. Kuliah, praktikum, laporan, dan jadwal padat yang kadang membuatku lupa makan siang. Namun, ada hal baru yang mewarnai hari-hariku: aku terpilih sebagai salah satu anggota Senat Mahasiswa Program Studi Instrumentasi.
Awalnya aku hanya ikut karena diajak Rina. Tapi lama-kelamaan aku merasa senang berada di sana. Senat memberi kesempatan untuk mengenal lebih banyak orang, ikut rapat, mengurus kegiatan, bahkan bekerja sama dengan dosen dalam berbagai acara.
Suatu ketika, ada rapat persiapan untuk Dies Natalis Politeknik. Salah satu agendanya adalah pemilihan Dosen Favorit oleh mahasiswa. Aku yang duduk di belakang, pura-pura sibuk menulis notulen, langsung memasang telinga.
“Setiap prodi nanti ada voting. Mahasiswa bebas memilih dosen favorit mereka, kriterianya terserah masing-masing,” jelas seorang senior.
Hatiku langsung berdegup kencang. Satu nama muncul di kepalaku tanpa bisa dibendung: Pak Ari.
Saat pemilihan Dosen Favorit dimulai, aku tahu apa yang harus kulakukan. Di kelas, aku mulai membujuk teman-teman secara halus.
“Eh, kalian mau pilih siapa? Menurutku Pak Ari oke banget deh. Ngajarnya jelas, nggak marah-marah, dan selalu kasih contoh praktis. Jarang ada dosen kayak gitu,” kataku suatu siang di kantin.
Rina terkekeh. “Iya juga sih. Aku juga mau pilih beliau. Kayaknya mayoritas kelas kita bakal ke dia deh.”
Aku tersenyum, merasa lega. Diam-diam aku juga menghubungi beberapa teman di kelas lain. Aku tidak terang-terangan, tapi setiap ada kesempatan, aku selalu menyebut kelebihan Pak Ari. Bagiku, ini bukan sekadar voting. Ini seperti cara kecil untuk menunjukkan rasa banggaku padanya, meski ia tak akan pernah tahu.
Hari pengumuman Dosen Favorit diadakan di aula kampus, bertepatan dengan acara Dies Natalis. Ruangan penuh dengan dosen, mahasiswa, dan tamu undangan. Aku duduk bersama Rina dan Santi, berusaha menahan rasa gugup.
Ketika MC menyebutkan nama pemenang untuk jurusan Instrumentasi, aku hampir menahan napas.
“Dan Dosen Favorit tahun ini jatuh kepada… Bapak Muhammad Arifin.”
Tepuk tangan bergemuruh. Pak Ari maju ke panggung dengan senyum tipisnya yang khas. Ia menerima plakat penghargaan, lalu mengucapkan terima kasih singkat.
Aku ikut bertepuk tangan, tapi di dalam hatiku ada rasa hangat yang tak bisa kuungkapkan. Seolah aku ikut berperan dalam keberhasilannya. Aku tahu, mungkin hanya aku yang merasa seperti ini, tapi hari itu aku pulang dengan perasaan melayang.
Sejak saat itu, bayangan Pak Ari semakin sulit kuhapus. Setiap kali melihatnya berjalan di koridor kampus, aku merasa waktu melambat. Aku tahu ini salah, aku tahu aku tidak boleh larut. Tapi perasaan itu justru semakin dalam.
Rina pernah menggoda,
“Gi, kok kamu semangat banget tiap ada kelas Pak Ari, ya? Jangan-jangan kamu suka, tuh…”
Aku pura-pura tertawa, menepis dengan cepat.
“Ah, nggak lah. Aku cuma suka cara ngajarnya aja.”
Tapi dalam hati, aku tahu kebenarannya. Aku tidak sekadar kagum. Aku benar-benar jatuh hati.
Hari-hari kuliah bersama Pak Ari semakin mempertegas perasaanku. Ia tetap sama: ramah, sabar, dan selalu memberi contoh nyata dalam setiap materi. Aku sering memperhatikan hal-hal kecil: cara ia menggulung lengan kemeja, cara ia mengetuk spidol di papan tulis, bahkan caranya menghela napas ketika menjelaskan konsep rumit.
Teman-teman di kelas sering bercanda,
“Wah, Pak Ari kalau ngajar bikin gampang ngerti ya. Kayak ada magnetnya.”
Aku hanya tersenyum, menutupi rasa yang jauh lebih besar dari sekadar kagum.
Aku tahu, ia sudah beristri. Pernah suatu kali, saat acara kampus, beliau datang bersama keluarganya. Seorang perempuan anggun berjilbab berjalan di sisinya—istrinya. Di gendongannya ada seorang anak kecil, mungkin baru dua tahun, yang sesekali meraih tangan ayahnya sambil tertawa riang.
Aku hanya bisa memandang dari kejauhan. Tanganku refleks meremas map biru yang kugenggam, hingga ujung-ujung kertas di dalamnya sedikit terlipat. Jantungku berdetak terlalu cepat, wajahku panas, dan mataku tiba-tiba terasa berair. Aku buru-buru menunduk, berpura-pura sibuk merapikan berkas di meja panitia, padahal dadaku seperti diremas.
Acara belum dimulai, aku sengaja berjalan cepat ke toilet. Di sana, aku menatap cermin. Wajahku pucat, mataku berkaca-kaca. Aku menggenggam wastafel erat-erat, mencoba menahan getaran di tubuhku. Air mata sempat lolos, satu-dua tetes, segera kuusap dengan tisu agar tak ketahuan.
Di dalam hati, aku berbisik lirih, nyaris seperti doa:
"Ya Allah... kenapa aku harus jatuh pada seseorang yang tak boleh kucintai? Kenapa perasaan ini justru tumbuh pada orang yang sudah Kau tetapkan jalannya? Aku tahu aku salah, aku tahu aku tak berhak. Tapi hati ini bandel, tak bisa diperintah. Kenapa harus dia, ya Allah? Kenapa bukan orang lain?"
Aku memejamkan mata, mencoba menarik napas panjang. Namun rasa nyeri kecil itu tetap menguasai dada. Seolah ada dinding tinggi yang mengingatkanku: Ia bukan milikku. Ia sudah punya rumah, punya cinta, punya keluarga.
Namun anehnya, justru rasa sakit itu membuatku semakin ingin tetap dekat dengannya—meski hanya sebagai mahasiswi, meski hanya lewat pertanyaan di kelas, meski hanya lewat tatapan singkat yang mungkin tak pernah ia sadari.
Dengan tergesa, aku membasuh wajah, mengusap bekas air mata agar tak meninggalkan jejak. Kupulas bedak tipis dari saku tas kecilku, lalu tersenyum paksa di depan cermin—senyum yang terasa kaku, namun cukup untuk menutupi luka.
Saat aku melangkah keluar dari toilet, suasana mulai riuh. Beberapa dosen duduk di barisan depan, mahasiswa hilir-mudik membawa kertas dan perlengkapan. Aku menarik napas panjang, berusaha menegakkan tubuh seolah semuanya baik-baik saja.
Tak lama kemudian, mataku tanpa sengaja menangkap sosoknya. Pak Ari berdiri di dekat pintu, masih dengan kemeja putih sederhana yang selalu tampak rapi di tubuhnya. Di sampingnya, istrinya tampak berbicara dengan salah satu dosen perempuan, sementara anak kecilnya berlari kecil sambil tertawa.
Jantungku langsung berdebar tak karuan. Ingin rasanya berbalik arah, tapi justru langkahku malah semakin mendekat. Seperti ada tarikan halus yang membuatku tak bisa menjauh.
Aku memberanikan diri menyapanya, suaraku sedikit bergetar namun kucoba terdengar biasa.
“Pak… acara pembagian sertifikat nanti jam berapa, ya?”
Beliau menoleh, tersenyum ramah, seperti biasanya. Senyum yang selama ini jadi alasan kenapa aku betah berlama-lama di kelas.
“Oh, nanti setelah sesi presentasi. Kamu sudah siap jadi MC, kan?” katanya ringan.
Aku mengangguk, tersenyum kecil. “Iya, Pak… sudah.”
Padahal di dalam, hatiku sedang gemetar. Wajahku ingin menoleh ke arah istrinya, tapi aku tahan. Aku hanya melihat sekilas anak kecil itu tertawa sambil menarik lengan ayahnya. Pemandangan sederhana itu seperti anak panah yang menancap tepat di dadaku.
"Ya Allah… ia begitu utuh dengan keluarganya. Kenapa aku masih saja berharap ada ruang untukku di hidupnya?"
Aku cepat-cepat berpamitan. “Kalau begitu saya bantu panitia dulu, Pak…” ucapku sambil menunduk sopan.
Beliau hanya mengangguk sambil tersenyum, lalu kembali menoleh ke anaknya yang memanggil, “Ayah… ayah!”
Aku melangkah pergi dengan senyum tipis di bibir, meski di dalam hati aku kembali hancur. Di antara keramaian acara, aku merasa justru paling sendiri.
Hari itu, setelah semua acara selesai, aku pulang dengan langkah pelan. Kamar kosku gelap, hanya lampu meja belajar yang menyala redup. Aku membuka buku harian yang sudah agak usang di sudut laci, kertas-kertasnya mulai menguning di tepi. Pulpen kugenggam erat, tanganku sempat bergetar. Lalu perlahan kutuliskan:
Jakarta, Kamis 2 September 2004
Hari ini aku melihat beliau bersama keluarganya. Istrinya berjilbab, begitu anggun, dan anaknya lucu sekali. Mereka terlihat bahagia. Sungguh pemandangan yang seharusnya biasa saja, tapi bagiku terasa seperti hantaman yang tak sanggup kutahan.
Aku tersenyum sepanjang acara, berpura-pura sibuk, padahal di dalam hati aku menangis. Di toilet aku sempat pecah—air mataku jatuh juga, meski cepat-cepat kusingkirkan. Aku tidak ingin ada yang tahu betapa rapuhnya aku saat ini.
Kenapa harus beliau? Kenapa hati ini justru memilih seseorang yang tidak mungkin kucapai? Bukankah aku tahu dari awal, ia sudah terikat? Tapi semakin aku mencoba menjauh, semakin kuat pula tarikannya. Senyumnya, suaranya, cara ia menulis di papan tulis, bahkan cara ia menyebut namaku—semuanya terekam begitu dalam.
Ya Allah… apakah ini yang disebut ujian hati? Aku ingin berhenti, ingin memadamkan rasa ini, tapi aku tidak mampu. Aku hanya bisa menyimpannya sendiri, menutup rapat-rapat, dan menuliskannya di sini—di buku yang tak pernah menilai dan tak pernah menghakimi.
Mungkin kelak aku akan menertawakan diriku sendiri saat membaca ini. Tapi malam ini, aku hanya ingin jujur. Aku mencintainya… meski aku tahu, cintaku harus rela menjadi bayangan yang tak pernah tersentuh.
Aku menutup buku itu dengan pelan, mengelus sampulnya seolah sedang menyentuh luka yang ingin kusembunyikan. Lampu kupadamkan, lalu aku rebah di ranjang. Namun mataku sulit terpejam, karena wajahnya masih begitu jelas menari-nari dalam ingatan.
Tugas Akhir
Ini adalah tahun ketiga—masa di mana mahasiswa D3 sepertiku harus bersiap menapaki tahap yang paling menentukan: mengajukan dan mulai mengerjakan tugas akhir. Siang itu, dengan keberanian yang terkumpul dari sisa-sisa keyakinan, aku melangkah ke ruang dosen.
Di hadapanku berdiri sebuah pintu kayu berlapis kaca buram. Dari baliknya samar-samar terdengar suara kertas dibalik, mungkin juga ketukan pena di atas meja. Aku mengangkat tangan, mengetuk pelan. Denting ketukan itu terasa lebih keras dari detak jantungku sendiri. Jemariku sempat bergetar, seakan ragu apakah aku benar-benar siap masuk ke dunia bimbingan yang akan menuntunku… atau justru menyeretku pada pergulatan batin yang lebih dalam.
“Selamat siang, Pak…” suaraku terdengar pelan.
Beliau mengangkat kepala dari balik tumpukan berkas. Senyumnya selalu menenangkan, tapi juga menyiksa hatiku.
Batinku: Ya Allah… senyum itu. Andai saja aku boleh memilikinya. Tapi senyum itu milik orang lain, bukan aku. Haruskah aku menyerah sekarang? Tidak, aku hanya ingin dekat. Hanya ingin berada di sisinya… walau sebentar.
“Ada apa, Anggi?” tanyanya ramah.
Aku menarik napas dalam, lalu memberanikan diri.
“Pak, saya ingin… Bapak jadi pembimbing tugas akhir saya.”
Sejenak ia terdiam. Matanya menelusuri wajahku, membuat jantungku berdetak semakin cepat.
“Judulmu apa?”
“Miniatur konveyor menggunakan Pneumatik dan PLC, Pak.”
Beliau tersenyum samar.
“Lumayan berat. Kamu siap?”
Batinku: Andai Bapak tahu… yang berat bukan tugas akhir ini. Yang berat adalah menahan rasa ini setiap kali memandangmu. Tapi, ya… aku akan bilang siap, karena itu satu-satunya jalan agar aku tetap bisa dekat denganmu.
“Saya siap, Pak,” jawabku mantap.
Hari-hari berikutnya kuhabiskan di laboratorium. Mesin, kabel, dan modul PLC berserakan. Namun sesungguhnya, yang paling kucari adalah kehadiran beliau. Setiap kali beliau melangkah masuk, suara pintu berderit menjadi musik paling indah di telingaku.
Aku selalu punya alasan untuk bertanya.
“Pak, ini kabelnya benar sudah saya sambungkan?”
“Pak, program ladder logic saya masih error, bisa dibantu?”
Dan setiap kali beliau mendekat, menunduk, menjelaskan dengan sabar, aku merasa waktu berhenti.
Batinku: Dekat sekali. Harumnya tercium samar. Aku ingin waktu berhenti di sini saja. Tapi… mengapa hati ini sakit sekaligus bahagia?
Suatu sore, hujan deras mengguyur Lenteng Agung. Petir menyambar, angin membuat jendela lab bergetar. Beliau masih menemaniku memeriksa hasil rangkaian konveyor.
“Wah, hujan besar sekali… sebaiknya kita tunggu reda dulu,” ucapnya.
Aku hanya mengangguk, menatap jendela berembun. Hujan deras seperti mengunci kami berdua di ruang itu.
Batinku: Ya Allah, aku berdua dengannya… di ruang ini, ditemani suara hujan. Apakah ini jawaban dari doa-doaku? Atau jebakan untuk menguji hatiku?
Waktu bergulir hingga adzan Maghrib lewat. Ia menoleh padaku, “Kita salat dulu, ya.” Suaranya tenang, seolah menuntunku keluar dari gamang. Kami berjalan ke mushala kecil di sudut kampus, mushala sederhana dengan sajadah yang agak lembap oleh udara hujan.
Tak ada orang lain di sana. Hanya kami berdua. Beliau berdiri di depan, mengangkat takbir dengan khusyuk. Aku mengikutinya, menjadi makmum.
Setiap bacaan yang meluncur dari lisannya terasa merambat masuk ke dadaku. Saat ia
melantunkan ihdinash shirathal mustaqim, aku merasakan getaran yang berbeda.
Batinku: Ya Allah… Engkau menjadikannya imam di salatku malam ini. Tapi mengapa hatiku berharap lebih? Apakah aku juga diam-diam menginginkannya menjadi imam dalam hidupku?
Ketika sujud, air mataku jatuh tanpa bisa kutahan. Aku tahu, sujudku hanya untuk-Mu, ya Allah… tapi di celah-celah doa, ada bisikan yang tak sanggup kuhapus: bisikan tentang seorang imam yang tak pernah bisa kumiliki.
Setelah salat Maghrib, beliau menawarkan untuk mengantarku ke stasiun Lenteng Agung. Aku ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk.
Kami masuk ke dalam mobilnya. Aroma lembut dari interior mobil bercampur dengan suara hujan yang menabuh atap. Jalanan basah berkilau, memantulkan lampu-lampu jalan. Aku duduk diam, menatap butiran air yang berlari di kaca jendela.
Batinku: Ya Allah… aku duduk di sini, di sisinya. Ruang sempit ini terasa seperti dunia kecil yang hanya milik kami berdua. Tolong hentikan waktu, biarkan aku bersamanya lebih lama.
Beliau memecah hening, “Capek, Gi? Seharian di lab pasti melelahkan.”
Aku tersenyum tipis, menahan getar suara. “Iya, Pak… tapi rasanya semua terbayar.”
Beliau melirik sebentar, lalu kembali fokus ke jalan. “Kamu anak yang gigih. Saya bangga.”
Kata-kata itu bagai panah menancap di dadaku. Aku ingin menangis. Aku ingin berkata: Bapak bangga sebagai dosen, tapi aku ingin Bapak bangga sebagai… sesuatu yang lebih.
Beberapa menit kemudian, beliau menyalakan lampu sein dan menepi. “Kita mampir dulu, ya. Saya belum sempat makan, kalau telat biasanya sakit mag saya bisa kambuh.”
Aku mengangguk cepat, meski jantungku makin kencang. Kami masuk ke sebuah warung padang . Aroma rendang, gulai, dan sambal menyambut hangat tubuh kami yang basah dingin karena hujan.
Beliau memesan nasi rendang dan teh hangat. Aku mengikuti, meski sebenarnya tak begitu lapar. Kami duduk berhadap-hadapan di meja kayu kecil. Suara hujan di luar berpadu dengan denting sendok dan piring.
Aku mencuri-curi pandang saat beliau mengaduk teh. Jari-jarinya panjang, gerakannya tenang. Sesekali ia menatapku sambil tersenyum ramah, sekadar basa-basi menanyakan kabar kuliah.
Batinku: Oh, seandainya saja ia tahu… di balik tatapanku yang pura-pura biasa ini, ada ribuan doa yang kusimpan. Baginya, ini hanya makan malam singkat sebelum mengantar mahasiswinya pulang. Tapi bagiku, ini seperti jamuan rahasia yang takkan pernah terulang—sebuah makan malam pertama dan terakhir, yang hanya akan hidup dalam kenanganku.
Beliau meneguk teh hangatnya pelan. “Alhamdulillah, enak juga makan di warung begini. Kadang sederhana itu lebih nikmat, ya?”
Aku mengangguk, menunduk, takut kalau mataku terlalu jujur menatapnya.
Batinku: Ya Allah… tolong kunci hatiku. Aku tahu ini hanya makan biasa. Tapi mengapa terasa seperti janji yang tak terucap?
Kami kembali masuk ke mobil setelah makan. Udara malam masih basah oleh hujan, aroma tanah yang tergenang ikut terbawa angin saat pintu ditutup. Aku duduk di kursi depan di sampingnya, merapatkan jaket. Beliau menyalakan mesin, suara mobil berpadu dengan sisa hujan yang menetes dari pepohonan.
Lampu jalan berkilau di genangan aspal, mobil melaju pelan menembus suasana sepi.
Mobil akhirnya masuk ke area parkir stasiun Lenteng Agung. Hujan masih deras. Aku ragu turun. “Pak… bisa… temani saya sampai peron? Malam begini saya agak takut.”
Beliau mengangguk tanpa banyak kata, lalu membuka bagasi kecil di jok belakang. Dari sana ia mengeluarkan sebuah payung hitam. Dengan gerakan sederhana, plop payung terbuka.
“Kita jalan sama-sama.”
Aku keluar dari mobil. Beliau menutup pintu mobil, lalu berdiri di sampingku, memegang gagang payung. Aku sedikit mendekat agar tak basah, pundak kami nyaris bersentuhan. Hanya satu payung kecil memayungi dua insan yang seharusnya terpisah dunia.
Batinku: Ya Allah… aku berjalan di sisinya, berdua, ditemani hujan malam. Inikah hadiah kecil-Mu untukku sebelum semuanya berakhir?
Langkah kami pelan, melewati genangan air, menuju pintu peron. Suara deras hujan seperti musik pengiring. Aku mencuri pandang ke wajahnya yang temaram diterangi lampu jalan. Hatiku seakan meledak oleh kebahagiaan yang bercampur luka.
Sesampainya di depan pintu peron, beliau menutup payung, menoleh padaku.
“Hati-hati ya, Gi. Saya… khawatir.”
Aku menggigit bibir, menahan isak. Kata khawatir itu terasa seperti pengakuan terindah, meski kutahu itu hanya perhatian seorang guru pada muridnya.
“Terima kasih, Pak…” jawabku lirih.
Aku melangkah masuk, menoleh sekali lagi. Beliau masih berdiri di sana, memegang payung, menatap ke arahku sampai aku hilang di balik pintu peron.
Batinku: Malam ini… aku akan menyimpannya selamanya. Malam ini aku pernah berjalan di bawah satu payung bersamanya, seolah dunia hanya milik kami.
Gerbong KRL malam itu terasa lengang. Kursi panjang berwarna hijau pucat hanya terisi beberapa penumpang yang sibuk dengan dunia masing-masing. Aku duduk dekat jendela, menatap kaca yang basah oleh sisa hujan. Di luar, lampu-lampu jalan berlari mundur seiring laju kereta, memantul di genangan air seperti kilatan ingatan.
Batinku: Ya Allah… baru saja aku berjalan bersamanya, di bawah satu payung. Rasanya pundakku masih hangat oleh jarak yang begitu dekat. Suaranya, ucapannya, tatapan terakhirnya di pintu peron—semua masih berputar di kepalaku.
Tanganku menggenggam erat map biru berisi catatan. Tapi yang terasa menekan justru dadaku sendiri. Antara bahagia dan sakit, antara syukur dan takut.
Batinku: Andai kereta ini tak pernah berhenti, biarkan aku larut dalam mimpi tentangnya. Tapi aku tahu, setiap stasiun adalah tanda bahwa aku harus kembali pada kenyataan. Ia punya rumah, punya keluarga yang menunggunya. Sedangkan aku… hanya mahasiswi yang kebetulan menumpang sepayung dengannya.
Suara roda besi bergesekan di rel, ritmis seperti denyut jantungku yang belum juga tenang. Aku menunduk, menggigit bibir, menahan air mata agar tak jatuh di hadapan orang asing.
Batinku: Malam ini, aku merasa hidup sekaligus hancur. Bahagia sekaligus berdosa. Seandainya saja aku bisa berhenti mencintainya… tapi aku tak tahu bagaimana.
Kereta akhirnya melambat, roda besi berdecit ketika mendekati stasiun. Aku berdiri dengan langkah ragu, menuruni tangga peron yang basah oleh sisa hujan. Udara malam masih dingin, gerimis tipis jatuh di wajahku.
Batinku: Seandainya perjalanan ini tak berakhir, aku ingin terus berada dalam bayangan momen tadi. Tapi kini aku harus berjalan sendiri. Tanpa payung, tanpa sosok yang menemaniku di samping.
Aku melewati jalan kecil menuju kos. Genangan air memantulkan lampu-lampu jalan, seperti pecahan kaca berkilau di kegelapan. Langkahku terasa berat, seakan setiap jejak menolak menjauh dari kenangan yang baru saja kutinggalkan.
Batinku: Di bawah payung hitam tadi, aku merasa aman. Sekarang, di bawah langit yang basah ini, aku merasa kosong. Sungguh kosong.
Sesampainya di kos, aku segera menyalakan lampu kamar. Sunyi menyelimuti ruangan, hanya suara gerimis tipis di luar jendela yang menjadi teman. Tubuhku letih, namun hatiku justru terlalu penuh untuk bisa segera terlelap. Ada sesuatu yang mendesak keluar, yang tak bisa kusimpan sendiri.
Setelah menunaikan salat Isya, aku merasa harus menuliskannya. Perlahan kubuka laci meja belajar, mengeluarkan buku harian dengan sampul bunga yang sudah mulai lusuh dimakan waktu. Pulpen kugenggam erat, seakan hanya dengan menorehkan tinta aku bisa sedikit lega. Lalu, dengan jantung yang masih berdegup kencang, kutuliskan:
Jakarta, Senin 6 Februari 2006
Hari ini aku merasa seperti hidup di dalam mimpi. Hujan sore ini menjebakku bersamanya. Di dalam lab, hanya ada suara petir dan denting hujan yang memukul kaca. Ia di sana, tetap tenang, sementara aku gemetar menahan perasaan yang tak boleh tumbuh.
Kami salat Maghrib berdua. Ia berdiri sebagai imam, aku di belakangnya sebagai makmum. Suaranya melantunkan ayat, tapi hatiku yang rapuh membacanya sebagai janji. Aku menangis dalam sujudku—karena di hadapan-Mu, ya Allah, aku berdoa dengan bibirku, tapi dengan hatiku aku memohon sesuatu yang tak semestinya: aku ingin ia menjadi imam di hidupku, bukan hanya di malam hujan ini.
Di mobil, ruang sempit itu seperti menahan seluruh rahasia. Aku duduk di sampingnya, mendengar hujan menabuh atap. Ketika ia berkata bangga padaku, aku ingin menangis sejadi-jadinya. Bangga sebagai dosen—ya, aku tahu. Tapi hatiku menjerit: andai saja bangga itu lebih dari sekadar akademik.
Kami singgah di warung padang. Ia makan perlahan, meneguk teh hangat, dan sesekali tersenyum ramah. Baginya hanya sekadar makan malam, bagiku itu seperti jamuan terakhir sebelum takdir memisahkan. Aku mencatat setiap detik: cara ia mengaduk teh, cara matanya menatap ringan, cara ia tertawa kecil pada hal-hal remeh. Semua terasa abadi dalam hatiku, meski aku tahu hanya sekali ini.
Aku masih bisa merasakan detak jantungku saat duduk di dalam mobilnya, saat pundakku hampir menyentuh bahunya di bawah payung hitam itu. Seakan-akan hujan malam ini diciptakan hanya untukku—untuk memberi sedikit waktu bersamanya.
Tapi aku juga tahu, semua ini hanya titipan kecil. Hanya kebetulan. Hanya sekilas. Ia akan pulang ke rumahnya, kepada istri yang menunggunya, kepada anak kecil yang pasti memanggil “Ayah” dengan penuh cinta.
Ya Allah… apa yang harus kulakukan dengan rasa ini? Aku tahu aku salah jika terus berharap. Tapi kenapa Engkau biarkan hatiku jatuh sedalam ini? Kenapa aku tak bisa memalingkan pandanganku?
Aku ingin berhenti. Aku ingin melepaskan. Tapi malam ini, aku terlalu bahagia. Terlalu hancur. Terlalu penuh oleh rasa yang tak semestinya.
Andai suatu saat aku bisa melupakannya, aku ingin tetap menyimpan malam ini sebagai kenangan terindah—malam ketika aku menjadi makmumnya, berjalan bersamanya, makan berdua dengannya, di bawah satu payung kecil yang melindungi kami dari derasnya hujan.
Jam setengah empat pagi aku terbangun seperti biasanya. Hujan semalam masih tersisa di jendela kosku, menetes pelan seolah mengingatkanku pada malam yang baru saja berlalu. Aku berwudu dengan tangan gemetar, lalu menghamparkan sajadah.
Dalam sujud salat taubat aku memohon ampun kepada Allah, aku sadar atas kesalahanku dan dalam sujud tahajud, aku berdoa dengan suara hati yang hampir tak sanggup kutahan:
“Ya Allah, jika rasa ini salah, hapuslah. Jika ini hanya ujian, kuatkan aku. Tapi jangan biarkan aku membencinya, karena Engkau yang menaruhnya di hatiku.”
Air mataku jatuh di sajadah, membasahi kain tipis itu. Aku malu pada-Mu, ya Allah, karena di balik doa-doa tentang masa depan, diam-diam aku masih membawa wajahnya, suaranya, senyumnya yang menemaniku semalam.
Setelah aku berdoa panjang, tilawah Alqur'an dan lalu bersujud lagi dalam salat Subuh yang hening, aku duduk lama di depan meja belajarku. Buku harian ini kembali kubuka, pena kugenggam seakan ia satu-satunya tempat aku bisa bersandar. Aku sadar, aku tak seharusnya terikat pada rasa ini. Namun bagaimana mungkin aku melupakan sesuatu yang justru terasa begitu hidup, begitu nyata di dalam dada?
Aku hanya ingin menyimpan malam itu sebagai titipan kecil: salat bersamanya, duduk di mobilnya, makan di warung sederhana, dan berjalan di bawah payung hitam. Semua itu akan kujadikan kenangan, bukan harapan. Karena aku tahu, ia punya hidup yang bukan milikku.
Aku menyiapkan diri untuk kuliah seperti biasa. Tapi ketika berdiri di depan cermin, ada sesuatu yang berbeda. Wajahku tampak lebih cerah, mataku berbinar, meski ada lingkar hitam akibat kurang tidur. Seolah hatiku ingin menjerit bahagia, tapi juga tak berani terlalu lantang.
Di meja belajar, buku harian itu masih terbuka pada halaman semalam. Tanganku gatal ingin menulis lagi:
Pagi ini aku bangun dengan kenangan yang terlalu indah. Aku tahu aku tak boleh berharap banyak, tapi entah kenapa aku ingin hari itu terulang. Aku ingin hujan turun lagi, aku ingin berjalan bersamanya lagi, meski hanya sebentar.
Aku menutup buku itu cepat-cepat, takut tenggelam lebih dalam. Aku harus pergi kuliah, harus kembali jadi Anggi yang biasa—mahasiswi yang tak boleh kelihatan terlalu berbeda. Tapi di dalam hati, aku tahu, ada sesuatu yang sudah berubah.
Setiap langkah kecil yang kutempuh menuju kampus terasa ringan, meski juga menakutkan. Ringan karena aku masih membawa bahagia semalam, menakutkan karena aku tahu bahagia itu bukan milikku selamanya.
Langkahku memasuki kampus terasa berbeda pagi itu. Gedung-gedung yang biasanya tampak biasa saja, tiba-tiba seperti punya cahaya lain. Bahkan pohon trembesi di halaman depan, yang daunnya masih basah sisa hujan semalam, terlihat indah di mataku.
Aku masuk ke kelas lebih awal dari biasanya. Suasana masih sepi, hanya beberapa teman yang sudah datang. Aku duduk di bangku baris ketiga—tempat favoritku, cukup dekat untuk melihat jelas papan tulis, tapi tidak terlalu mencolok.
Detak jantungku semakin kencang ketika pintu kelas terbuka. Beliau masuk, dengan langkah yang sama tenang, menenteng map dan spidol. Pak Ari.
Aku buru-buru menunduk, berpura-pura membuka buku catatan. Namun, perasaanku meledak-ledak. Setiap gerakannya seolah terpantul ulang dalam kepalaku—cara beliau menulis di papan dan suara rendahnya saat menjelaskan.
Aku tahu aku tidak boleh menunjukkan apa pun, tapi wajahku terasa memanas. Aku berusaha mencatat cepat, seakan-akan sedang serius mengikuti materi. Padahal, dalam benakku hanya ada satu kalimat:
“Semalam aku bersamamu… berjalan di bawah satu payung, dan aku ingin menyimpannya selamanya.”
Di tengah kelas, beliau sempat menatap ke arah bangku baris ketiga. Sekilas saja. Tapi cukup untuk membuatku panik. Aku menunduk lagi, pura-pura mencatat, meski ujung penaku hampir menusuk kertas karena tanganku bergetar.
Suara teman di sebelahku menyadarkan, “Anggi, kenapa catatannya banyak banget? Rajin sekali hari ini.”
Aku hanya tersenyum canggung, menutup catatan sebentar. Mereka tak tahu, coretanku penuh kata-kata yang bukan rumus, melainkan doa dan perasaan yang kusamarkan di balik angka dan garis.
Kelas usai lebih cepat dari yang kuduga. Suasana ramai—teman-teman mengemasi buku, beberapa bercanda keras, sebagian lagi buru-buru keluar. Aku sengaja melambatkan gerakanku, pura-pura sibuk merapikan catatan, padahal sebenarnya aku menunggu satu hal: momen ketika beliau keluar dari kelas.
Pak Ari menutup spidolnya, lalu menyimpan map ke dalam tas kulit cokelat yang selalu ia bawa. Sejenak ia menatap papan tulis, seperti memastikan tak ada yang tertinggal, lalu berbalik menuju pintu.
Aku pura-pura tidak memperhatikan, tapi dari ekor mataku, setiap gerakannya terekam jelas. Rasanya dadaku berdebar tidak karuan.
Begitu ia keluar, aku buru-buru mengemasi barang, lalu berjalan pelan menyusuri koridor. Aku ingin sekadar melihat punggungnya yang menjauh, mungkin menyimpan lagi bayangan untuk bahan renungan malam nanti.
Namun langkahku terhenti.
Di ujung koridor, dekat tangga, kulihat seorang perempuan berdiri menunggu. Berjilbab sederhana, wajahnya teduh, dengan senyum kecil yang muncul begitu Pak Ari mendekat. Di sampingnya, ada seorang bocah kecil—aku mengenalnya, anaknya—yang langsung berlari kecil memeluk kaki ayahnya.
Beliau tertawa kecil, meraih tubuh mungil itu, lalu menunduk menyapa istrinya dengan lembut. Ada kehangatan yang begitu nyata di sana, dan aku bisa merasakannya bahkan dari kejauhan.
Tanganku yang tadi menggenggam buku catatan mulai bergetar. Senyum kecil yang coba kutahan terasa getir. Aku menunduk, melangkah mundur perlahan, takut kalau ada yang melihat air mataku yang tiba-tiba menggenang.
Ya Allah… mengapa aku harus jatuh hati pada sosok yang jelas bukan milikku?
Aku berbalik, berjalan cepat ke arah taman belakang kampus. Di sana, aku duduk di bangku kayu di bawah pohon, membuka catatan, dan menuliskan satu kalimat pendek yang tak bisa kutahan:
"Mencintaimu dalam diam, mungkin itulah takdirku."
Wisuda
Hari itu akhirnya datang. Hari yang sejak lama kutunggu, sekaligus hari yang paling kutakuti: wisuda.
Gedung besar Politeknik dipenuhi toga hitam, senyum keluarga, dan bunga ucapan yang menumpuk di pintu masuk. Semua tampak meriah, namun hatiku terasa kosong.
Batinku:
“Seharusnya aku bahagia. Bukankah ini puncak perjuangan kuliahku? Tapi mengapa yang kurasakan justru resah? Mungkin karena aku tahu… setelah ini, aku tak punya lagi alasan untuk bertemu dengannya setiap hari.”
Aku duduk di kursi barisan tengah. Di panggung, beliau terlihat sibuk bersama para dosen lain, mengenakan toga dan samir kehormatan. Aku menunduk, takut mataku tak sengaja bertemu dengan matanya.
Saat namaku dipanggil, aku melangkah naik ke panggung dengan kaki gemetar. Kutundukkan kepala, menerima map biru berlambang Politeknik. Dan di detik itu, aku melihatnya. Beliau tersenyum—senyum yang sama, menenangkan sekaligus menghancurkan.
Batinku:
“Ya Allah… senyum terakhir ini, biarkanlah aku menyimpannya selamanya di hatiku. Jangan biarkan aku lupa, meski harus sakit sepanjang hidup.”
Acara berakhir. Aku keluar gedung bersama teman-teman. Keluarga sibuk mengambil foto, bunga saling berpindah tangan, suasana begitu riuh.
Dan di tengah keramaian itu, aku melihat beliau. Tidak sendirian—bersama seorang perempuan berjilbab yang lembut parasnya, dan seorang anak kecil laki-laki berusia sekitar tiga tahun yang berlari kecil sambil memegang tangan ibunya.
Darahku seakan berhenti mengalir. Aku terpaku.
Itulah mereka. Keluarganya. Nyata, bukan hanya bayangan di kepalaku.
Pak Ari sempat melirik ke arahku, lalu menghampiri.
“Anggi, kenalkan… ini istri saya, dan ini anak saya.”
Aku berusaha tersenyum, meski hatiku seakan remuk.
“Senang bertemu dengan Ibu,” ucapku pelan sambil menunduk sopan.
Istrinya tersenyum ramah, menyalamiku dengan hangat. Anak kecil itu hanya bersembunyi di balik gamis ibunya, sesekali menatapku malu.
Batinku:
“Ya Allah… bagaimana bisa aku menahan ini? Perasaan ini, yang seharusnya tidak ada… Kini aku harus menatap wajah wanita yang sah memilikinya. Aku harus menatap anak yang memanggilnya ayah. Dan aku… aku hanyalah mahasiswinya.”
Aku menarik napas panjang, menahan air mata yang hampir pecah.
Dengan seluruh tenaga yang kumiliki, aku menampilkan senyum terbaikku. Senyum palsu, yang kukira akan melindungiku dari rasa malu.
“Selamat ya, Anggi,” kata Pak Ari lagi, kali ini lebih pelan, seolah mengerti.
Aku mengangguk. “Terima kasih, Pak…”
Tak ada lagi yang bisa kuucapkan. Hanya itu.
Siang itu, aku duduk sendiri di bawah pohon flamboyan dekat gedung kampus. Toga sudah kulepas, hanya menyisakan kebaya biru muda. Di tanganku, map biru itu terasa dingin.
Hujan rintik-rintik turun, seolah langit turut menumpahkan perasaanku.
Aku tak kuasa lagi menahannya. Air mata jatuh satu per satu, membasahi kebaya biru dan menitik di atas map biru yang kupeluk erat di pangkuan.
Batinku:
“Inilah akhirnya. Perjalananku bersamanya sampai di sini. Setelah ini, aku hanyalah alumni. Ia tetap dosen, tetap suami dari istrinya, tetap ayah dari anaknya. Aku… hanya Anggi. Seorang mahasiswi yang pernah jatuh cinta pada dosennya.”
Keluargaku datang menghampiri, mengajakku pulang. Cepat-cepat kuusap sisa air mata, lalu bangkit dengan langkah pelan, meninggalkan kampus yang penuh kenangan.
Sesampainya di gerbang, aku menoleh sekali lagi. Dari kejauhan, samar kulihat beliau berdiri bersama keluarganya.
Tak ada kesempatan untuk mendekat, tak ada alasan untuk menyapa lagi.
Batinku:
“Selamat tinggal, Pak. Terima kasih sudah pernah hadir dalam hidupku. Meski cinta ini tak pernah terucap, ia nyata. Ia hidup di dadaku, dan akan kubawa entah sampai kapan.”
Aku menarik napas panjang, lalu melangkah ke masa depan. Dengan hati yang penuh luka, namun juga penuh kenangan.
Malam setelah Wisuda
Di kamar kos, aku duduk lama di kursi belajar. Keluargaku yang tadi siang menemaniku di acara wisuda sudah kembali pulang ke kampung sore tadi, meninggalkan ruang ini dalam kesunyian. Malam terasa begitu hening, hanya suara jam dinding yang berdetak pelan—seolah mengingatkanku bahwa waktu terus berjalan, meski hatiku masih tertahan di satu momen tadi siang. Hari ini terlalu sarat makna untuk kuendapkan begitu saja. Dada ini sesak, seperti ada sesuatu yang harus segera kutumpahkan di atas kertas.
Aku menarik napas panjang, lalu membuka laci meja. Buku harian dengan sampul bunga yang mulai kusam kutarik keluar. Pulpen kugenggam erat, dan di halaman kosong itu kutulis:
Jakarta, Sabtu 26 Agustus 2006
Hari ini seharusnya menjadi hari paling membahagiakan dalam hidupku. Aku resmi menyelesaikan kuliah, mengenakan toga, berjalan di panggung, menerima map biru itu dengan senyum. Semua orang di sekelilingku penuh tawa, bunga, foto, dan pelukan.
Tapi entah mengapa, hatiku justru sesak.
Bukan karena aku tidak bangga. Bukan. Tapi karena hari ini aku juga harus merelakan.
Aku melihatnya—Pak Ari—dengan toga dosen, berdiri gagah di panggung. Senyumnya tetap sama. Senyum yang dulu meneguhkan hatiku saat aku hampir menyerah, senyum yang membuatku kuat mengerjakan tugas akhir yang hampir menenggelamkanku. Dan di wisuda ini, senyum itu hadir lagi… tapi sekaligus mengiris.
Setelah acara, aku berjumpa dengannya. Dan untuk pertama kalinya… beliau memperkenalkan aku pada istrinya. Seorang wanita yang begitu ramah. Dan anak kecil yang begitu manis.
Saat aku tersenyum dan mengulurkan tangan, aku merasa seperti boneka yang dipaksa tertawa padahal hatinya retak.
Di dalam dada, rasanya seperti ada gelas kaca yang pecah berkeping-keping. Tapi aku harus tegar. Aku harus terlihat anggun.
Ya Allah… betapa sakitnya melihat kenyataan bahwa orang yang begitu kucintai, begitu kuhormati, tak pernah ditakdirkan untuk menjadi milikku. Ia milik keluarganya. Dan aku hanya seorang mahasiswinya.
Hari ini mungkin terakhir kalinya aku bertemu dengannya. Dan aku tahu, setelah ini, mungkin aku tak punya lagi alasan untuk sering bertemu dengannya. Hubungan dosen-mahasiswa sudah selesai. Yang tersisa hanyalah kenangan.
Aku menulis ini sambil menangis. Bukan tangis menyesal, tapi tangis merelakan. Aku tidak ingin membenci cinta ini, karena dari cintaku padanya, aku belajar banyak: tentang ketulusan, kesabaran, dan bagaimana menjaga sesuatu hanya dalam diam.
Malam ini aku berjanji pada diriku sendiri: aku akan tetap melangkah maju. Aku akan menyimpan rasa ini sebagai rahasia terdalam hatiku. Tidak ada yang tahu, tidak boleh ada yang tahu.
Selamat tinggal, Pak Ari.
Terima kasih sudah pernah menjadi bagian dari perjalananku.
Aku akan selalu mendoakanmu, bersama istrimu, bersama anakmu.
Epilog
Hari ini aku menutup satu bab dalam hidupku. Toga sudah kusimpan, ijazah sudah kugenggam, dan semua yang pernah kualami di kampus tinggal menjadi kenangan. Namun ada satu hal yang tak bisa kutinggalkan di belakang: perasaan itu.
Aku tahu, kisah ini tak pernah benar-benar dimulai, apalagi berakhir. Ia hanya hadir—singkat, sederhana, lalu menetap diam di ruang hatiku. Seperti wangi bunga yang tertinggal di udara meski kelopaknya telah gugur, cintaku padanya tetap ada, meski tak pernah menjadi nyata.
Aku tidak ingin lagi melawan rasa ini. Biarlah ia menjadi rahasia yang kusimpan, bukan untuk dilupakan, melainkan untuk dipeluk dengan tenang. Karena aku percaya, setiap cinta, meski tak tersampaikan, tetap suci pada tempatnya.
Maka aku menutup buku harian ini bukan dengan perpisahan, melainkan dengan doa. Semoga ia berbahagia dalam rumah tangganya, bersama anak dan istrinya. Dan semoga aku pun menemukan jalanku sendiri, dengan hati yang sudah belajar mencintai dalam diam.
Cinta ini mungkin tak pernah sampai, tetapi ia telah menjadikanku manusia yang lebih peka, lebih lembut, lebih berani menerima luka. Itu sudah cukup.
Selamat tinggal, kenangan. Selamat tinggal, cintaku yang tak pernah kusebutkan namanya. Aku melangkah ke masa depan—sendiri, tetapi tidak kosong. Karena aku tahu, di suatu tempat dalam diriku, cinta ini akan tetap hidup, tenang, melankolis, dan abadi.
TAMAT
Depok, 13 September 2025
