Cerpen - Cinta yang Terpenjara Kata
Prolog
Senja di Depok menelan cahaya terakhir yang jatuh dari jendela. Udara kamar terasa tebal, dipenuhi debu halus yang menari di antara sisa cahaya redup. Rani duduk di lantai keramik, lutut terlipat rapat, membiarkan keheningan tahun-tahun silam menyelimutinya—seperti bayangan masa lalu yang enggan benar-benar pergi.
Di hadapannya, tergeletak sebuah kotak plastik bening—bekas wadah makanan yang kini menjelma menjadi peti harta karun masa lalu. Di dalamnya tercium aroma kertas tua yang lembap dan samar-samar kapur barus yang nyaris hilang. Dengan gerakan perlahan, seolah takut mengusik tidur kenangan, Rani membuka tutupnya.
Tampak puluhan surat tersusun rapi, diikat dengan pita beledu biru yang mulai pudar. Lembaran-lembaran itu menguning dimakan usia, namun masih menyimpan kehangatan yang tak berubah. Setiap lipatan kertas adalah sepotong waktu; setiap goresan tinta, bisikan jiwa yang menolak padam.
Jemarinya menyentuh amplop paling atas. Tulisan tangan itu—lugas, tegas, dan penuh ketenangan—segera dikenali oleh hatinya. Tulisan tangan Hanif. Sementara amplop di bawahnya memamerkan goresannya sendiri—lebih halus, lebih bergetar. Kotak plastik sederhana itu kini menjadi wadah bagi dua hati yang pernah saling menulis dan akhirnya dipersatukan.
Rani menarik napas panjang—antara isak dan helaan damai. Ia mulai membaca, dan seketika, dinding waktu runtuh. Dari lembaran-lembaran usang inilah, kisah cinta yang tumbuh di antara ruang tunggu dan kesabaran, yang terpenjara dalam batas kata, hidup kembali. Dan di setiap baris yang dibacanya, seolah Rani menggenggam tangan pembaca, mengajak mereka menelusuri kerinduan murni yang dibalut tinta dan kertas—yang selamanya hidup dalam satu sebutan: Adik.
Bagian I: Awal Surat-Menyurat (Tahun 1993)
1. Pertemuan Awal
Tahun 1993. Tanah Tegal masih lekat dengan aroma bawang merah yang baru dipanen dari sawah . Kehidupan bergerak lambat, seirama dengan ayunan langkah kaki di jalan desa yang berdebu. Di desa kecil inilah, Rani dan Hanif tumbuh.
Rani, gadis SMP yang baru naik ke kelas tiga—baru saja belajar memahami arti gugup dan makna menolehkan pandangan—pertama kali mengenal Hanif sebagai teman kakaknya. Hanif, yang saat itu baru lulus UMPTN, tengah bersiap meninggalkan desa menuju Depok: kota yang baginya bukan sekadar tujuan, melainkan tempat di mana cita-cita dan kerinduan mulai menempuh jalannya masing-masing.
Pertemuan itu terjadi di teras rumah. Hanif tengah berbincang dengan Kakak Rani tentang buku-buku filsafat, sementara matanya sesekali mencuri pandang ke arah Rani—gadis kecil yang sibuk menyiram bunga di sudut halaman. Seragam pramuka yang kebesaran membalut tubuhnya, rambutnya sebahu, bergerak pelan tertiup angin sore. Di balik kesederhanaan itu, ada getaran halus yang belum ia kenali—sesuatu yang kelak akan tumbuh menjadi rahasia di antara waktu.
Saat Hanif menanyakan nama, Rani merasa suaranya tercekat.
“Rani, lengkapnya sandanila Fatharani” jawabnya, suaranya hampir tak terdengar.
Hanif tersenyum—senyum yang tenang, seperti air telaga. “Nama yang indah. Aku Hanif, Hanif Abdurrahman. Semoga kita bisa jadi teman baik, Rani.”
Sejak perkenalan sederhana itu, percakapan mereka mengalir cepat—tidak seperti percakapan dengan teman kakaknya yang lain. Ada rasa nyaman, rasa ingin tahu yang dalam dari Hanif, dan rasa dikagumi yang aneh dari Rani. Rasa ketertarikan itu sudah ada di sana, seperti benih yang jatuh ke tanah yang subur, tak terlihat, namun siap menembus permukaan.
2. Sebutan Adik
Hari berganti. Hanif telah berada ke Depok, membawa serta cita-cita dan buku-buku tebalnya. Desa terasa kehilangan sepotong sinarnya. Rani kembali ke rutinitas sekolah, namun kini ada satu kebiasaan baru: menunggu pak pos.
Setelah tiga minggu kepergian Hanif, sebuah surat tiba. Amplop itu tebal, dikirim dari kota yang jauh, dan ditujukan langsung padanya. Jantung Rani berdegup keras saat melihat tulisan tangan yang ia kenali. Ia membawanya lari ke kamar, membukanya dengan hati-hati seolah amplop itu adalah kristal.
Hanif bercerita tentang hiruk pikuk Jakarta dan Depok, tentang pelajaran di kampus yang menantang, dan janji akan kembali saat liburan semester. Namun, di penutup surat, ada sebuah kalimat yang mengubah segalanya:
“Jaga diri baik-baik, ya, Adik Tersayang. Belajarlah yang rajin. Jangan lupa kirim kabar ke Mas Hanif di sini.”
'Adik Tersayang.'
Sapaan itu seperti jubah hangat yang membungkus jiwanya. Ia merasa spesial, seperti satu-satunya bintang kecil yang dilihat Hanif di tengah jutaan cahaya kota besar. Sebutan itu bukan hanya nama, tapi juga janji: janji perlindungan, janji perhatian, dan ikrar kasih yang terasa suci. Rani tak pernah merasa sesenang ini dipanggil 'adik'. Dalam hati kecilnya, ia tahu, sapaan itu telah menancapkan akar cinta, jauh sebelum ia berani menamai perasaannya sendiri.
3. Rani Menulis Surat Pertamanya
Malam itu, setelah membaca surat itu belasan kali, Rani memutuskan membalasnya. Meja belajarnya yang penuh coretan pensil kini dihiasi kertas bergaris dan pulpen baru.
Ia menulis dengan polos, jujur, penuh rindu sederhana dari seorang gadis desa. Ia bercerita tentang pohon mangganya yang berbuah lebat, tentang nilai matematikanya yang naik, dan tentang betapa ia merindukan kehadiran Hanif di teras rumahnya. Tidak ada kata-kata puitis yang rumit, hanya aliran emosi yang lugu:
“Mas Hanif, aku senang sekali Bapak Pos datang tadi. Sekolah di sini biasa saja tanpa Mas Hanif. Cepat pulang, ya. Aku doakan Mas Hanif sehat selalu.”
Jawaban Hanif tiba dua minggu kemudian. Balasannya terasa lebih tenang dan dalam. Ia memuji kepolosan surat Rani, tapi nadanya selalu menjaga jarak, membungkus kasih dalam kain filosofis.
“Adikku Rani, kau tahu, kerinduan itu adalah energi. Ia bukan kesedihan, melainkan bukti bahwa jiwa kita memiliki koneksi. Jangan biarkan rindu menjadi beban; biarkan ia menjadi bahan bakar untuk cita-citamu. Mas akan kembali saat waktunya tiba. Sementara ini, biarkan kata-kata ini menjadi jembatan bagi kita.”
Kalimat itu—filosofis, lembut, dan menjaga jarak—membuat Rani tersenyum, sekaligus bertanya-tanya. Mengapa Hanif selalu berbicara tentang 'energi' dan 'cita-cita', sementara Rani hanya ingin berbicara tentang hati? Ia ingin melangkah lebih dekat, tapi Hanif sudah memagarinya dengan sebutan 'adik' dan kalimat-kalimat bijaksana yang sulit ditembus.
Bagian II: Benih yang Tumbuh
1. Kerinduan yang Berbeda
Waktu berlalu seiring tumpukan surat yang meninggi. Rani bukan lagi gadis SMP kelas 3 yang lugu. Ia beranjak remaja, dan getaran di dadanya telah bermetamorfosis. Kerinduan itu kini memiliki warna baru: ia cemburu, ia menuntut, ia ingin kepemilikan. Bukan lagi kerinduan seorang adik yang haus perhatian, melainkan kerinduan seorang wanita muda yang merindukan kekasih.
Sapaan ‘Adik Tersayang’ yang dulu memberinya kebahagiaan, kini mulai terasa seperti sangkar yang terbuat dari emas murni. Ia terperangkap dalam batas aman yang diciptakan Hanif.
Setiap surat dari Hanif, yang selalu diakhiri dengan nasihat bijak dan doa, dibaca Rani berulang kali, mencari celah, mencari satu kata yang terlepas dari pengawasan Hanif, yang mengisyaratkan bahwa hati Hanif juga merasakan gelora yang sama. Namun nihil. Hanif begitu konsisten, begitu menjaga kemurnian hubungan kakak-adik di atas kertas.
Rani pun mulai ragu untuk menuliskan perasaannya dengan terang. Ia takut kejujuran itu akan merusak jembatan kata yang sudah susah payah mereka bangun. Ia hanya bisa menyelipkan kode, metafora, dan rasa yang tersirat. Ia mulai bertanya tentang makna sunyi, tentang batas antara kasih dan sayang, tentang mengapa bunga harus mekar sendirian.
2. Surat-Surat Rindu
Isi surat-surat Rani mulai berubah. Ia tak lagi bercerita tentang pohon mangga di halaman atau nilai-nilai sekolah yang membuatnya bangga. Kini ia menulis tentang senja yang terasa sepi, tentang lagu-lagu duet Dewi Yull dan Broery yang menggema lembut—terasa begitu dekat dengan rasa cinta yang belum sempat terucap. Ia menulis tentang hujan yang turun tanpa henti, seolah menjadi perpanjangan hatinya yang gundah. Surat-surat itu kini beraroma puitis—lebih dalam dari sekadar kabar. Seperti lembaran puisi yang dirobek diam-diam dari buku hariannya sendiri.
Dalam suratnya yang ke sekian, ia memberanikan diri.
“Mas Hanif, Aku membaca buku yang Mas kirim. Di sana ada kalimat: ‘Bukan jarak yang memisahkan, tapi keengganan untuk menamai.’ Aku jadi berpikir, apakah semua kerinduan harus berujung pada nama? Atau, apakah ada kerinduan yang saking besarnya, ia butuh nama baru, nama yang lebih kuat dari sekadar ‘adik’?”
Itu adalah kalimat tanya yang samar, namun bagi Rani, itu adalah pengakuan paling berani. Ia sedang menguji perasaannya, meminta Hanif untuk melangkahi pagar batas yang sudah dibangun. Ia menunggu balasan Hanif dengan napas tertahan, berharap Hanif akan membaca kode itu sebagai permintaan: Aku ingin menjadi Kekasihmu.
3. Hanif Menjaga Jarak
Hanif menerima surat Rani. Di tengah tumpukan buku tebal, tugas kuliah, dan kebisingan kota Depok, kata-kata Rani terasa seperti bisikan tajam dari Tegal. Hanif bukan tidak mengerti. Ia membaca setiap kode, setiap metafora tentang senja yang sepi, dan setiap pertanyaan tentang ‘nama baru’ itu. Hatinyalah yang pertama kali terusik.
Bagaimana mungkin ia tidak melihat? Rani tumbuh, dan rasa di antara mereka juga tumbuh.
Namun, Hanif tetap konsisten. Ia membalas surat Rani, tetap membuka dengan sapaan: Adik Tersayang, Rani. Ia memilih gaya seorang ‘filsuf muda’: tenang, penuh kendali diri, seolah kasih yang ia tawarkan haruslah murni, tanpa gejolak duniawi.
Ia menulis panjang lebar tentang filosofi Platonic Love, tentang keabadian kasih yang tidak terikat oleh label atau ego, tentang bagaimana sebutan ‘adik’ adalah kehormatan tertinggi—sebuah janji persahabatan jiwa yang melampaui waktu dan jarak.
“Adikku Rani yang cerdas, nama hanyalah kulit luar. Yang hakiki adalah isi. Bila kita menamai terlalu cepat, Mas takut kehilangan hal yang kita namai. Tapi kasih, yang murni, tidak perlu nama baru untuk menjadi abadi. Sebutan ‘adik’ ini adalah perlindungan, Rani. Ia adalah benteng agar badai keraguan tidak pernah bisa merobohkan kita. Biarkan bara ini tersimpan tenang, karena bara yang tenang akan membakar lebih lama.”
Kalimat itu, meskipun lembut, terasa dingin bagi Rani. Ia menyadari, Hanif sedang menahan perasaannya, atau menolak perasaannya, demi menjaga sebuah ‘benteng’ bernama adik. Rani tersenyum getir: ia menginginkan bara yang menyala-nyala, tapi Hanif hanya memberinya bara yang tenang.
Bagian III: Pertarungan Batin
1. Rani Gelisah
Setelah jawaban Hanif yang dingin dan filosofis itu, ketenangan Rani pecah. Sapaan ‘Adik Tersayang’ kini menjadi sumber kegelisahan siang dan malam. Setiap kali ia melihat tulisan itu, hatinya bergetar: separuh bahagia karena perhatian itu ada, separuh perih karena sebutan itu telah membatasinya. Ia merasa dihargai sekaligus diabaikan.
Rani mulai menulis dengan nada yang lebih gundah, menantang Hanif secara emosional, namun selalu diliputi rasa takut yang dalam. Ia takut Hanif akan menghentikan surat-menyurat jika ia menuntut terlalu banyak.
Ia menulis surat di mana ia membandingkan sebutan adik dengan sangkar yang terbuat dari kata-kata.
“Mas Hanif, Aku bukan lagi anak kecil yang membutuhkan benteng perlindungan. Aku ingin menjadi tanah yang berdiri sendiri, bukan hanya bayangan yang dilindungi. Bukankah lebih baik terbakar sebentar oleh api kejujuran daripada terperangkap dalam sebutan yang tidak setara dengan jiwa yang merindukan?”
Rani tahu, ini adalah pemberontakan pertamanya—sebuah usaha terakhir untuk menarik Hanif keluar dari menara gading filosofinya. Ia menunggu, tangannya dingin, jantungnya berdebar, menunggu tanggapan Hanif terhadap ancaman halus ini.
2. Hanif Menimbang
Di Depok, Hanif membaca surat itu di bawah lampu belajar yang remang-remang. Kalimat Rani kali ini menusuk langsung ke relung hatinya, menelanjangi pertahanannya. Ia menyadari sepenuhnya: Rani sudah dewasa. Gadis yang ia tinggalkan di Tegal kini menjadi wanita yang berani menantangnya dalam arena kata-kata.
Hanif sangat memahami bahwa Rani menginginkan pengakuan—sebuah nama yang setara dengan kedalaman perasaannya. Ia pun merasakan gelora itu. Rasa kasih yang ia tanam telah berbuah cinta, lebih dari sekadar perlindungan seorang kakak.
Namun, ketakutan Hanif jauh lebih besar daripada hasratnya. Ia takut merusak keindahan murni yang mereka miliki. Hubungan kakak-adik ini adalah satu-satunya yang ia yakini akan abadi. Jika ia menggantinya dengan kekasih, ia khawatir batasan fisik, jarak, dan statusnya sebagai mahasiswa yang belum siap secara finansial dan mental akan menghancurkan semuanya.
Di malam-malam sunyi di kosnya, Hanif menimbang. Mungkinkah ia menukar keabadian perlindungan dengan kemungkinan kebahagiaan yang fana? Ia memutuskan, ia harus tetap mempertahankan sebutan itu. Bukan karena ia tak mencintai, melainkan karena ia terlalu mencintai hingga takut kehilangan.
3. Surat-Surat Panjang
Sejak saat itu, surat-surat mereka menjadi semakin tebal, bukan lagi berisi kabar, melainkan pertarungan batin yang ditumpahkan di atas kertas. Mereka menjadi dua filsuf yang mendebatkan arti kasih, dengan Rani sebagai representasi Emosi dan Hasrat, dan Hanif sebagai representasi Logika dan Tanggung Jawab.
Rani mengirimkan puisi-puisi gundah, penuh tanda tanya, menanyakan mengapa Hanif harus begitu takut pada keindahan. Hanif membalas dengan renungan panjang, mengutip para pujangga dan filsuf, menjelaskan bahwa rasa itu sendirilah yang harus mereka jaga, bukan dihancurkan oleh ambisi untuk menamai.
Hubungan mereka kini menjadi pertempuran batin yang panjang, tenang, dan sunyi. Mereka tidak bertengkar, tapi mereka saling menguji kekuatan hati masing-masing lewat kata-kata yang begitu hati-hati dipilih. Tumpukan surat itu, yang menjadi saksi bisu pertarungan ini, adalah bukti bahwa cinta di antara mereka begitu besar hingga butuh begitu banyak kata untuk menahannya agar tidak meledak.
Mereka berdua tahu, surat berikutnya harus menjadi puncak dari konflik ini. Salah satunya harus menyerah—atau keduanya harus menemukan jalan tengah di antara adik dan kekasih.
Bagian IV: Ketegangan Memuncak
1. Surat Pembelaan Rani
Pada suatu pagi yang mendung, Rani mengambil keputusan. Cukup sudah. Ia tidak ingin lagi menjadi objek dalam debat filosofis dengan Hanif. Ia adalah hati yang berdarah, bukan teori yang diperdebatkan. Ia mengambil beberapa lembar kertas, dan kali ini, ia tidak menulis puisi. Ia menulis surat pembelaan, sebuah manifesto personal tentang haknya untuk mencintai dan dicintai dengan sebutan yang setara.
Surat itu adalah yang terpanjang yang pernah ia kirim. Ia menumpahkan segala yang terpendam, mulai dari senangnya dipanggil adik saat ia kecil, hingga sakitnya sebutan itu kini menyangkal perasaannya.
“Mas Hanif yang kuhormati dan kucintai,
Dulu, Aku memang senang sekali dipanggil Adik Tersayang. Sebutan itu adalah hadiah terindah. Ia membuat Aku merasa punya benteng, punya pelabuhan. Tapi benteng itu kini terasa sempit. Aku sudah tumbuh, Mas. Aku bukan lagi Rani yang takut pada hujan atau nilai pelajaran jelek. Aku adalah Rani yang takut pada satu hal: bahwa cintaku yang besar ini akan selamanya terbungkus dalam bingkai ‘adik’ yang suci, yang tidak boleh disentuh oleh hasrat seorang wanita.
Mas bilang, nama hanyalah kulit luar. Kalau begitu, izinkan aku memilih kulit luar yang setara dengan isi hatiku. Isi hati ini bukan lagi kasih seorang adik, Mas. Ini adalah cinta, yang menuntut pengakuan, yang ingin berdiri sejajar, bukan di bawah perlindungan. Aku tidak meminta Mas menghancurkan benteng itu, Aku hanya meminta Mas berjalan keluar bersamaku, di tanah lapang, tanpa sebutan 'adik' yang membatasi.”
Di bagian inilah akhirnya Rani tidak lagi menggunakan kode. Ia menuliskan kata 'cinta' dengan tegas, sebuah pengakuan yang tak terhindarkan. Setelah menutup dan mengirim amplop tebal itu, ia merasa kosong, tapi juga bebas. Ia telah melempar dadu takdir.
2. Jawaban Hanif
Dua minggu adalah waktu tunggu yang paling menyiksa dalam hidup Rani. Ketika amplop dari Depok tiba, amplop itu sama tebalnya. Rani membukanya dengan tangan gemetar.
Jawaban Hanif dimulai dengan keheningan dan pengakuan. Ia tidak lagi mengutip filsuf. Ia berbicara sebagai seorang pria yang hatinya telah tersentuh dan terdesak.
“Adikku Tersayang Rani,
Mas membaca setiap kata dalam suratmu. Mas mendengar tangisan dari setiap tinta yang kau tumpahkan. Kau benar. Benteng itu adalah buatan Mas, bukan buatanmu. Dan Mas tidak punya hak untuk membatasi pertumbuhan jiwamu.
Mas mengerti, Rani. Mas tahu ini adalah cinta. Mas tahu ini lebih dari sekadar kasih kakak-adik. Tapi Mas mohon, jangan minta Mas untuk mengganti sebutan itu. Biarkan Mas tetap memanggilmu ‘adik tersayang.’ Dengarkan Mas baik-baik: sebutan ini bukan penolakan terhadap cintamu. Justru sebaliknya. Dengan menjaga sebutan ini, Mas berusaha menjaga kehormatanmu, menjaga kesucian perasaan kita, dan melindungi masa depan kita.
Cinta itu rentan, Rani. Ia bisa lapuk oleh jarak, oleh ego, oleh kegagalan. Tapi sebutan ‘adik’ ini... ia adalah pengikat jiwa yang abadi. Ia menahan kita untuk tidak tergesa-gesa, untuk tidak menuntut yang tidak mungkin, selagi Mas di sini berjuang untuk masa depan. Mas memilih menjaga kasih ini lewat nama lama, karena dalam nama lama ini, terdapat janji yang jauh lebih besar dari sekadar ‘kekasih’ sementara. Ia adalah janji untuk selamanya, meski dalam bentuk yang tak terucapkan.”
Surat itu diakhiri dengan sebutan yang sama, Adik Tersayang, Rani. Hanif telah memberikan jawaban. Ia mengakui cintanya, tetapi menolak nama yang Rani inginkan.
3. Tangis Sunyi
Rani membaca ulang surat itu, sekali, dua kali, hingga tetesan air matanya membasahi tinta Hanif.
Ia menangis, tapi itu adalah tangis sunyi yang tertahan. Tangis karena ia akhirnya mendengar pengakuan cinta itu—bahwa Hanif tahu dan merasakan hal yang sama. Namun, ia juga menangis karena ia sadar, cinta mereka telah terjebak. Terjebak dalam kata yang sama: adik.
Hanif telah memilih. Ia memilih jalan kesabaran, jalan penahanan diri, jalan perlindungan, dengan mengorbankan pengakuan verbal. Rani menyadari, cinta mereka kini menjadi fenomena ganda: di hati mereka adalah kekasih yang saling mendamba, tetapi di mata dunia dan di atas kertas, mereka selamanya adalah adik yang terikat oleh kasih murni. Air mata itu adalah air mata kepasrahan, menerima bahwa perjuangannya untuk mengganti sebutan telah kalah, namun pertarungannya untuk diakui cintanya telah menang, meski pengakuan itu terbungkus dalam jubah seorang kakak.
Bagian V: Kesadaran & Penerimaan
1. Menerima Takdir Sebutan
Setelah badai tangisan sunyi berlalu, yang tersisa di hati Rani adalah kedamaian yang aneh. Ia kembali membaca surat-surat Hanif, namun kali ini, ia membaca bukan dengan mata seorang kekasih yang menuntut, melainkan dengan mata seorang yang tercerahkan. Ia melihat konsistensi Hanif bukan sebagai tembok, melainkan sebagai fondasi.
Rani menyadari bahwa sebutan adik bukan berarti cinta yang kecil, melainkan janji perlindungan yang paling abadi. Hanif telah memilih untuk tidak menempatkan hubungan mereka di bawah risiko hubungan romantis yang rentan dan dipengaruhi oleh situasi. Ia memilih untuk mengangkatnya ke tempat yang suci, yang tidak bisa disentuh oleh jarak, waktu, atau godaan dunia.
Di sisi lain, Hanif di Depok merasakan beban di dadanya terangkat. Ia tahu, jawaban terakhirnya adalah pertaruhan terbesar. Ketika tidak ada surat balasan yang menuntut atau menyalahkan, ia mengerti: Rani telah mencapai kesadaran yang sama. Hanif menemukan kekuatan baru dalam kesabarannya. Ia berpegangan pada keyakinan bahwa cinta sejati tidak selalu butuh nama baru untuk diakui, cukup butuh hati yang lapang untuk menerima. Mereka kini memiliki sebuah rahasia bersama—rahasia bahwa di balik sapaan adik terdapat jiwa kekasih yang saling menunggu.
2. Surat Pertarungan Terakhir
Rani mengambil pulpen untuk menulis surat pertarungan terakhirnya. Kertas ini tidak lagi berisi pertanyaan, tidak lagi berisi tuntutan. Ia kini menulis sebagai seorang wanita yang berdamai dengan takdir kata-kata mereka.
“Mas Hanifku,
Surat ini adalah surat terakhirku yang berbicara tentang ‘sebutan.’ Karena Aku sadar, Mas sudah memberikan Aku sebutan terbaik: sebutan di dalam doa Mas, sebutan di dalam perjuangan Mas di kota sana. Mas tidak menolak cintaku; Mas hanya melindunginya dengan sebutan yang paling aman.
Mulai hari ini, Aku akan berhenti menuntut label. Biarkan Aku menjadi ‘Adik Tersayang’ Mas, yang memiliki tugas merindukan, mendoakan, dan menjadi pelabuhan saat Mas lelah. Aku berjanji, setiap kali Mas menulis kata ‘adik’, Aku akan membacanya sebagai ‘kekasih’ yang sedang Mas jaga.
Teruslah berjuang, Mas. Sampai tiba waktunya Mas kembali membawa kemenangan. Dan di hari itu, kita tidak perlu menamai apa pun. Karena kita akan tahu, bahwa kasih kita telah melewati ujian terberat: ujian kesabaran tanpa sebutan.
Aku selalu menunggumu, Mas. Aku doakan Mas sehat selalu.”
Hanif membalasnya dengan selembar kertas. Hanya berisi doa, sebuah janji, dan tiga kata pembuka yang sama.
“Adikku Tersayang Rani,
Kau telah tumbuh menjadi matahari yang cahayanya menembus awan. Terima kasih atas kesabaran dan pengertianmu. Doamu adalah energi terhebat buat Mas. Sampai jumpa di hari yang dijanjikan. Jangan pernah berhenti menulis.
Hanif.”
Tak ada lagi pertarungan. Yang tersisa hanyalah penerimaan—bahwa cinta ini akan tetap hidup, abadi, meski hanya terbungkus dalam sebutan sederhana. Rani dan Hanif tetap saling menulis surat, menjaga jalinan yang mereka sebut hubungan kakak-adik, meski keduanya tahu, di balik setiap kata, ada rindu yang diam-diam bernafas.
Epilog
Rani menutup kotak plastik bening itu perlahan. Di dalamnya, surat-surat lama tersimpan rapi, diikat oleh pita beledu biru yang telah memudar—seperti warna waktu yang lembut. Ia mengelus permukaannya sejenak, seolah memberi salam kepada masa lalu yang kini beristirahat tenang.
Ia bangkit dari lantai dan melangkah menuju jendela. Malam telah jatuh sempurna. Di langit, bulan tampak bulat dan bersinar lembut, seakan menatapnya dari kejauhan. Rani tersenyum kecil. Di antara cahaya yang dingin itu, ia membayangkan Hanif di negeri seberang—di Jepang, sedang menunaikan tugasnya. Jarak tak lagi berarti apa-apa; hatinya telah menemukan cara baru untuk tetap dekat.
Tidak ada sedih, tidak ada penyesalan. Yang tersisa hanyalah kedamaian—sebuah ketenangan yang datang setelah perjalanan panjang penuh luka dan penantian.
Rani menatap bayangan dirinya di cermin. Di sana, ia melihat Hanif—bukan sebagai sosok yang jauh, melainkan sebagai bagian utuh dari dirinya: kakak yang dulu melindungi dan menjaganya, kekasih yang menumbuhkannya, suami yang kini melengkapinya.
Tangannya kemudian meraih sebuah ponsel tua di meja, benda yang dulu menjadi saksi percakapan jarak jauh mereka, saat surat tak lagi mampu menjembatani rindu. Layarnya retak, namun di dalamnya masih tersimpan satu SMS yang tak pernah ia hapus.
“Untuk Adikku kubawakan cinta dari hati yang dalam. Untuk permaisuriku kubawakan mahkota keindahan ini. Engkau adalah musim bunga yang keramahannya menyejukkan.”
Rani membaca ulang kalimat itu pelan, seperti membaca puisi dari masa yang hangat. Hatinya bergetar—betapa indahnya, ia dipanggil “adik” sekaligus “permaisuri.” Dua sebutan yang dulu terasa mustahil disatukan, kini menjadi bukti bahwa cinta mereka telah menempuh perjalanan spiritual yang panjang.
Ia tahu, kisah surat-surat itu telah mencapai akhirnya. Namun cinta yang lahir darinya tetap hidup, berdenyut di antara doa dan udara. Rani tersenyum—karena benteng bernama adik yang dulu ia lawan, kini telah menjadi rumah terindah bagi seluruh cintanya.
TAMAT
Depok, 8 November 2025
