Cerpen Romansa Sains - Gravitasi Cinta
Aku tidak pernah mengira bahwa suatu hari aku akan mengajarkan hukum gravitasi Newton sambil belajar tentang cinta. Sebagai dosen Fisika di sebuah politeknik di Lenteng Agung Jakarta Selatan, hidupku dulu berjalan lurus seperti garis waktu: kuliah, penelitian, mengajar, pulang. Tidak ada anomali, tidak ada tarikan aneh dari luar orbit. Hingga semester itu datang—dan di antara wajah-wajah baru di kelas Fisika Dasar, muncul satu nama yang mengubah keseimbanganku: Andini Rahma, gadis berjilbab rapi dengan wajah teduh.
Hari pertama perkuliahan, ia duduk di barisan depan, membuka buku catatan dengan rapi, dan menatap papan tulis dengan kesungguhan yang jarang kulihat. Di belakangnya, mahasiswa lain masih sibuk membuka smartphone, tapi Andini menatapku penuh perhatian setiap kali aku menulis simbol di papan tulis.
Saat itu aku sedang menjelaskan hukum gravitasi Newton.
F = G (m₁m₂) / r²
Biasanya aku menjelaskan dengan suara datar, tapi entah kenapa hari itu terasa berbeda. Mungkin karena tatapan matanya—jernih, tajam, tapi hangat—membuat aku ingin menambahkan sesuatu yang tak tertulis di buku.
“Gravitasi bukan hanya milik benda langit,” kataku sambil menatap kelas. “Kadang ia juga milik hati manusia. Semakin besar ‘massa rasa’ seseorang, semakin kuat daya tariknya.”
Tawa kecil terdengar dari barisan belakang. Tapi Andini tidak tertawa. Ia tersenyum samar, seperti seseorang yang baru saja menemukan makna baru dari hal yang sederhana.
Dan entah kenapa, sejak saat itu aku merasa bahwa rumus gravitasi Newton tak lagi sekadar rumus.
Hari-hari berikutnya, aku mulai mengenal Andini lebih jauh—dalam batas wajar, tentu saja. Ia sering datang ke ruang dosen, membawa laporan praktikum yang belum sempat kukoreksi. Tapi sering kali, pertanyaannya tidak lagi soal rumus.
“Pak, kenapa gravitasi nggak pernah nol?” tanyanya suatu sore.
Aku terdiam. Pertanyaan sederhana, tapi diucapkan dengan nada yang membuatku harus berpikir.
“Karena benda apa pun yang punya massa, sekecil apa pun, tetap menarik benda lain. Tidak ada yang benar-benar lepas dari pengaruh gravitasi.”
Andini menatapku pelan. “Berarti… kalau diibaratkan dengan rasa, manusia nggak pernah benar-benar lepas dari seseorang yang pernah dia sukai, ya, Pak?”
Aku tersenyum, menatap senja yang menyelinap lewat jendela ruang dosen. “Mungkin begitu, Din. Mungkin memang tidak pernah nol—hanya berkurang karena jarak.”
Ia tertawa kecil, tapi di balik tawa itu aku menangkap sesuatu: kedalaman yang tak bisa diterjemahkan dalam satuan atau vektor mana pun.
Semakin sering kami berdiskusi, semakin aku merasa seperti kehilangan gravitasi diriku sendiri. Ada gaya tarik yang halus tapi nyata. Aku tahu batas antara seorang dosen dan mahasiswi tidak boleh dilanggar—tapi di sisi lain, aku juga manusia. Ada rasa hangat yang tumbuh pelan, tidak meledak, hanya meresap perlahan seperti cahaya pagi yang menembus jendela laboratorium.
Kadang aku mencoba menolak. Aku menyibukkan diri dengan penelitian, menulis modul, menghadiri rapat akademik. Tapi setiap kali masuk kelas dan melihatnya duduk di barisan depan, aku merasa seperti partikel kecil yang kembali ditarik ke orbit semula.
Pernah suatu hari, hujan deras mengguyur Lenteng Agung. Setelah kelas selesai, aku masih di ruang dosen, sementara sebagian mahasiswa menunggu hujan reda di lorong kampus. Tiba-tiba Andini muncul di depan pintu sambil membawa dua gelas kopi dari kantin.
“Untuk Bapak,” katanya. “Kata ibu kantin, kopi ini bisa mengusir kantuk.”
Aku tertegun sejenak, lalu menerimanya. “Terima kasih, Din. Kamu nggak takut dimarahi orang kalau kedapatan ngobrol sama dosen sendirian begini?”
Ia tertawa pelan. “Saya cuma kasih kopi, bukan nyatakan cinta, Pak.”
Kata-katanya membuatku ikut tertawa, tapi juga sedikit goyah. Dalam kehangatan aroma kopi itu, aku tahu sesuatu sedang tumbuh—bukan di antara kami, tapi di dalam diriku sendiri.
Semester berganti. Andini semakin matang. Ia aktif di laboratorium instrumentasi, sering membantu adik tingkat, dan kadang menemaniku memeriksa alat praktikum. Tapi di sela-sela kesibukan itu, jarak kami perlahan berubah.
Bukan jarak fisik—melainkan jarak batin yang tumbuh dari kesadaran. Kami sama-sama tahu bahwa perasaan yang terlalu dekat bisa merusak orbit yang selama ini stabil.
Suatu sore, di ujung semester akhir, ia datang ke ruanganku membawa draft laporan tugas akhir. Aku sedang menulis rekomendasi nilai ketika ia duduk di seberang meja, menatapku lama.
“Pak,” katanya pelan, “kalau dua benda punya massa besar dan jaraknya dekat, gaya tariknya besar, kan?”
Aku mengangguk. “Ya, tapi kalau terlalu dekat, bisa menabrak. Dan tabrakan itu kadang menghancurkan keduanya.”
Ia menunduk, tersenyum. “Jadi, supaya nggak saling hancur, harus jaga jarak?”
“Harus,” jawabku. “Cinta pun begitu, Din. Kadang cara terbaik untuk menjaga sesuatu adalah tidak memilikinya.”
Hening sejenak. Di luar, angin sore menggoyang daun-daun di halaman kampus. Suara kereta dari arah Tanjung Barat terdengar sayup.
“Terima kasih, Pak,” katanya akhirnya. “Sudah ngajarin saya bukan cuma tentang gaya dan massa, tapi tentang rasa juga.”
Sore itu ia pamit dengan senyum tenang. Aku hanya bisa menatap punggungnya menjauh di lorong, lalu menghela napas panjang. Di hatiku, ada gaya yang perlahan berkurang, tapi tak pernah benar-benar hilang.
Tahun-tahun berlalu. Aku masih mengajar di Lenteng Agung, masih menjelaskan rumus yang sama kepada mahasiswa baru. Tapi setiap kali menulis F = G (m₁m₂) / r² di papan tulis, aku seperti melihat bayangan Andini di barisan depan—menatap, mencatat, dan tersenyum.
Suatu malam aku menerima pesan WhatsApp di smartphoneku.
Selamat malam, Pak. Saya Andini. Sekarang saya kerja di Bandung, di laboratorium instrumentasi. Tiba-tiba ingat kuliah Bapak. Rasanya, hukum gravitasi itu nyata juga, ya. Karena seberapa jauh pun jarak, ada hal-hal yang tetap menarik hati saya ke masa lalu.
Aku membaca pesan itu berulang kali, lalu menatap langit dari balkon kosanku di Kukusan Depok. Bintang-bintang di atas tampak redup, tapi tetap setia beredar di orbitnya. Seperti kenangan, mereka tak pernah padam, hanya meredup agar bisa diterima tanpa luka.
Aku menulis balasan singkat:
Gravitasi itu hukum alam, Din. Tapi cinta—itu hukum hati. Sama-sama menarik, tapi tak selalu harus dimiliki.
Tak lama kemudian ia membalas dengan emoji senyum dan satu kalimat pendek:
Terima kasih, Pak. Saya paham sekarang.
Malam itu aku membuka buku catatan lamaku. Di halaman yang dulu sering kugunakan untuk mencatat ide penelitian, kutulis satu kalimat baru:
“Cinta dan gravitasi sama-sama mengikat tanpa rantai, menahan tanpa memaksa, menjaga jarak tanpa kehilangan arah.”
Aku tersenyum. Mungkin itulah pelajaran terbesar dari karierku sebagai pengajar: bahwa ilmu dan perasaan tidak pernah benar-benar terpisah. Bahwa di balik setiap rumus yang kaku, ada makna yang lembut.
Dan bahwa di antara bintang, partikel, dan orbit, selalu ada satu gaya yang paling misterius dari semuanya—
gravitasi cinta.
Dan entah sejak malam itu, di antara simbol-simbol dan persamaan, aku mulai menulis sesuatu yang lain. Bukan laporan penelitian, bukan jurnal ilmiah—melainkan sebuah puisi.
Sebagai dosen Fisika, aku mungkin sedang melanggar simetri logika. Tapi barangkali, beginilah cara semesta mengajarkan makna di balik hukum gravitasi.
Gravitasi Cinta
Di ruang kelas yang hening,
aku menggambar garis dan gaya,
menjelaskan tarikan antara massa,
sementara hatiku perlahan kehilangan pusatnya.
Ada jarak yang kupelajari dari rumus,
tapi tidak pernah kutemukan rumus:
untuk menakar jarak antara aku dan senyummu.
Kau datang seperti bintang di langit pagi,
terlalu dekat untuk diabaikan,
terlalu jauh untuk digapai.
Maka biarlah aku menjadi orbit,
mengitarimu dalam diam,
tanpa menabrak, tanpa memiliki,
hanya menjaga jarak agar tetap ada.
Sebab cinta, seperti gravitasi,
tak selalu harus tampak—
cukup terasa,
cukup membuat dua hati
tetap saling tertarik,
meski tak pernah bersatu
Aku menatap layar smartphone cukup lama, ragu apakah pantas mengirimkan kata-kata yang tak lagi berbentuk rumus, melainkan rasa. Namun malam itu, logika terasa terlalu sempit untuk menampung apa yang bergemuruh di dada. Akhirnya kutulis pesan singkat buat Andini, lalu kutambahkan puisi yang baru saja kutulis di buku catatan.
Setelah kutekan tombol kirim, aku menatap layar beberapa detik—seolah menunggu gaya tarik tak kasat mata itu kembali bekerja dari jarak jauh.
Beberapa menit setelah kukirimkan puisi itu, smartphoneku bergetar pelan. Sebuah pesan masuk dari Andini. Aku membaca perlahan, kalimat demi kalimatnya—tenang, sopan, tapi mengandung sesuatu yang hanya bisa dimengerti oleh dua hati yang pernah saling memahami tanpa berucap.
Terima kasih banyak, Pak, atas puisinya.
Jujur, saya tidak pernah membayangkan seorang dosen Fisika bisa menulis sesuatu yang seindah dan sedalam ini.
Membacanya membuat saya berpikir… bahwa ternyata, ilmu dan rasa memang tidak pernah benar-benar terpisah.
Saya belajar banyak, bukan hanya tentang gaya dan massa, tapi juga tentang menjaga jarak tanpa kehilangan arah.
Semoga Bapak selalu diberi ketenangan dalam setiap orbit kehidupan
Kata-katanya mengalir lembut, penuh hormat namun juga jujur.
Ada jeda di antara kalimatnya yang terasa lebih dalam daripada teks apa pun—sebuah ruang sunyi tempat rasa dan batas saling bernegosiasi tanpa suara.
Aku tersenyum kecil, lalu meletakkan smartphone di meja. Di luar, angin malam di Kukusan masih berembus pelan, menebarkan aroma hujan yang tertahan di dedaunan.
Di langit, bintang-bintang berpendar samar, seolah sedang mengingatkan bahwa tak semua cahaya harus bersinar terang untuk tetap berarti.
Aku menatap cangkir kopi yang mulai dingin, lalu bergumam pelan,
“Mungkin begini cara semesta menjaga keseimbangan—membiarkan dua benda tetap saling menarik, tanpa pernah bertabrakan.”
Malam itu aku merasa damai.
Tidak ada lagi keraguan, tidak ada lagi penolakan. Hanya kesadaran bahwa sebagian perasaan memang tidak untuk dimiliki, melainkan untuk dipahami.
Aku menutup buku catatan di meja, menuliskan satu baris terakhir sebelum tidur:
Gravitasi mengikat benda-benda langit.
Cinta mengikat jiwa-jiwa yang belajar menjaga jarak.
Beberapa hari setelah percakapan singkat itu, aku kembali menjalani rutinitas seperti biasa: mengajar, meneliti, menulis catatan kecil di sela kesibukan. Namun suatu malam, ketika sedang memeriksa laporan praktikum mahasiswa, notifikasi email masuk membuatku berhenti sejenak.
Nama pengirimnya membuat dadaku bergetar pelan: Andini Rahma.
Subjeknya sederhana—“Gravitasi Cinta”.
Dalam pesannya, Andini menulis singkat:
“Pak, saya menulis sedikit refleksi setelah membaca puisi Bapak malam itu. Entah kenapa, saya merasa gravitasi tidak hanya milik benda langit, tapi juga milik perasaan. Izinkan saya berbagi tulisan ini. Mungkin Bapak bisa membacanya saat waktu senggang.”
Di bawah kalimat itu, ada satu tautan menuju blog pribadinya. Aku membuka tautan itu perlahan, dan di layar laptopku muncul sebuah artikel berjudul ‘Gravitasi Cinta’—tulisan yang bukan sekadar catatan ilmiah, melainkan perpaduan indah antara fisika dan perasaan, antara Newton dan nurani.
Gravitasi Cinta: Ketika Hukum Newton Menyentuh Hati
Oleh : Andini Rahma
Isaac Newton mungkin tak pernah membayangkan bahwa hukum gravitasi yang ia rumuskan pada abad ke-17 akan menjadi metafora indah bagi sesuatu yang jauh lebih lembut dari sekadar gaya tarik-menarik benda: cinta. Namun, jika kita mau merenung sedikit lebih dalam, ternyata rumus sederhana itu—
F = G (m₁m₂) / r²
tak hanya menjelaskan bagaimana planet mengitari matahari, tapi juga bagaimana hati manusia saling tertarik.
Di dunia fisika, massa adalah ukuran seberapa besar materi yang dimiliki suatu benda. Semakin besar massanya, semakin kuat pula gaya tarik gravitasinya. Demikian pula dalam dunia batin: semakin dalam dan tulus rasa yang dimiliki seseorang, semakin besar daya tariknya terhadap jiwa lain. Ada orang yang kehadirannya sederhana, tak mencolok, namun “massanya” begitu besar dalam ruang hati—ia menarik dengan ketulusan, dengan kelembutan yang tak bisa dijelaskan oleh logika, hanya bisa dirasakan.
Lalu ada jarak (r), yang dalam fisika menentukan seberapa kuat gaya tarik itu bekerja. Semakin jauh dua benda, semakin kecil gaya tariknya karena berbanding terbalik dengan kuadrat jarak. Dalam dunia cinta pun demikian: semakin jauh dua hati, baik secara fisik maupun emosional, semakin lemah resonansi perasaan itu. Bukan karena cinta memudar, tapi karena sinyal rasa tak lagi mudah sampai. Namun, seperti halnya planet yang tetap beredar pada orbitnya, cinta sejati memiliki keseimbangan tersendiri—ia tidak mendekat hingga saling menabrak, dan tidak menjauh hingga kehilangan orbitnya.
Konstanta gravitasi (G) dalam rumus Newton adalah lambang keteraturan semesta, faktor yang menjaga semua gaya tarik tetap konsisten. Dalam cinta, “G” bisa dimaknai sebagai nilai universal—sebuah energi spiritual yang membuat rasa memiliki arah dan keseimbangan. Ia bisa berupa iman, keikhlasan, atau komitmen moral yang mengikat dua jiwa agar tetap berputar dalam lintasan kasih sayang, bukan sekadar hasrat.
Dengan demikian, hukum gravitasi cinta dapat kita tulis ulang menjadi:
C = K (rasa₁ × rasa₂) / jarak²
di mana C adalah kekuatan cinta, rasa₁ dan rasa₂ adalah kedalaman batin masing-masing insan, dan jarak adalah sejauh apa mereka menjaga kedekatan hati dan keintiman jiwa. Sementara K adalah konstanta kesetiaan—nilai yang menentukan apakah cinta itu hanya sesaat, atau abadi.
Jika kita amati kehidupan sehari-hari, rumus itu sering kali tampak dalam bentuk sederhana. Ada dua orang yang lama saling berdekatan namun tak saling jatuh cinta, mungkin karena “massa rasanya” kecil—hati mereka belum cukup berat untuk saling menarik. Ada pula yang baru saling menatap sekali, tapi langsung merasakan gaya yang luar biasa—mungkin karena keduanya menyimpan energi cinta yang besar, dan jarak batin mereka sangat kecil.
Namun seperti benda langit yang bergerak dalam keseimbangan antara gaya tarik dan gaya gerak, cinta pun memerlukan kestabilan orbit. Jika satu pihak terlalu dominan, gaya tarik itu bisa membuat yang lain kehilangan dirinya. Dalam fisika, benda kecil yang terlalu dekat ke planet besar bisa tertarik jatuh dan hancur. Dalam cinta, hal serupa terjadi ketika salah satu kehilangan ruang pribadinya, larut sepenuhnya dalam orbit orang lain tanpa kesadaran diri. Maka cinta yang sehat adalah yang menjaga jarak ideal—cukup dekat untuk saling menghangatkan, namun cukup jauh untuk saling menghormati.
Newton pernah berkata bahwa setiap aksi memiliki reaksi yang sama besar dan berlawanan arah. Dalam cinta, prinsip ini menjelma dalam bentuk timbal balik perasaan. Tak ada cinta yang benar-benar satu arah; jika salah satu memberi tanpa menerima, energi itu akan habis dan sistem menjadi tidak stabil. Maka cinta yang abadi adalah cinta yang menemukan keseimbangan antara memberi dan menerima, antara menarik dan ditarik.
Akhirnya, kita menyadari bahwa hukum semesta dan hukum cinta ternyata berpijak pada prinsip yang sama: segala sesuatu saling menarik karena adanya energi yang menghubungkan. Planet, bintang, bahkan dua hati manusia, semuanya tunduk pada hukum universal itu. Mungkin di sanalah letak kebesaran Sang Pencipta—bahwa antara fisika dan perasaan, antara benda dan makna, tak ada batas yang benar-benar memisahkan. Alam dan cinta sama-sama diciptakan untuk berputar, mencari keseimbangan, dan saling menjaga agar tak saling menghancurkan.
Dan jika suatu saat kamu bertanya mengapa kamu begitu tertarik pada seseorang tanpa alasan logis, mungkin jawabannya sederhana:
karena hatimu sedang mengalami gaya gravitasi— gravitasi cinta.
Bandung, September 2018
Aku menatap layar laptop cukup lama setelah selesai membaca artikel itu. Ada kehangatan yang aneh—bukan seperti nostalgia, tapi seperti rasa yang kembali menemukan bentuknya dalam bahasa yang baru.
Tulisan Andini bukan sekadar refleksi ilmiah; ia seperti gema dari percakapan lama yang belum pernah benar-benar selesai.
Entah kenapa, malam itu aku merasa perlu menulis sesuatu kembali untuknya.
Bukan untuk membalas, bukan pula untuk membuka apa pun—hanya sebagai ucapan terima kasih, dari seorang guru yang diam-diam belajar tentang rasa dari muridnya sendiri.
Lalu, dengan napas yang terasa lebih tenang, aku mulai mengetik perlahan di layar:
Aku sudah membaca tulisanmu, Din. Perlahan, dari awal sampai akhir—tanpa tergesa. Setiap kalimatnya seperti membawa kembali ruang kelas yang dulu pernah kita bagi: papan tulis, aroma kopi sore hari, dan cara matamu menatap rumus seolah di sana ada makna yang lebih dari sekadar angka.
Tulisanmu indah sekali. Hangat, jujur, dan dalam. Kau berhasil menjelaskan sesuatu yang selama ini sulit kukatakan dengan kata-kata: bahwa gravitasi bukan hanya persoalan gaya tarik benda, tapi juga tentang bagaimana hati manusia saling menjaga jarak tanpa kehilangan arah.
Saat membacanya, aku merasa seperti sedang bercermin—melihat kembali bagian diriku yang dulu hanya berani berbicara lewat simbol dan persamaan.
Terima kasih, Din. Bukan hanya karena tulisannya, tapi karena cara halusmu membuat ilmu terasa hidup… dan rasa menjadi lebih ilmiah.
Semoga orbitmu di Bandung selalu tenang, dan semoga semesta selalu menjagamu agar tetap bersinar, tanpa kehilangan keseimbanganmu sendiri.
Setelah mengirimkan pesanku malam itu, aku mematikan layar laptop dan membiarkan gelap memenuhi kamar. Di luar, hujan sudah reda, menyisakan aroma tanah basah yang menenangkan.
Entah apa yang akan terjadi setelah ini—apakah pesan itu akan dibalas, atau dibiarkan mengendap seperti partikel debu di udara—aku tidak lagi memikirkannya. Karena di titik ini, aku mengerti:
bahwa tidak semua gaya tarik perlu dijawab dengan kedekatan, dan tidak semua jarak berarti kehilangan.
Sebagian rasa memang diciptakan untuk tetap mengitari ruangnya sendiri—diam, setia, dan cukup dengan keberadaannya.
Aku menatap langit yang mulai terang di ufuk timur, lalu tersenyum pelan. Sebab akhirnya aku tahu, bahwa setiap cinta memiliki gravitasi masing-masing, dan tugasku hanyalah menjaga agar orbit itu tetap seimbang— tanpa menabrak, tanpa lepas, namun tetap berputar di dalam semesta yang bernama kenangan.
Depok, 25 Oktober 2025
TAMAT
