Cerpen Romansa Sains - Gravitasi Cinta

 



Aku tidak pernah mengira bahwa suatu hari aku akan mengajarkan hukum gravitasi Newton sambil belajar tentang cinta. Sebagai dosen Fisika di sebuah politeknik di Lenteng Agung Jakarta Selatan, hidupku dulu berjalan lurus seperti garis waktu: kuliah, penelitian, mengajar, pulang. Tidak ada anomali, tidak ada tarikan aneh dari luar orbit. Hingga semester itu datang—dan di antara wajah-wajah baru di kelas Fisika Dasar, muncul satu nama yang mengubah keseimbanganku: Andini Rahma, gadis berjilbab rapi dengan wajah teduh.

Hari pertama perkuliahan, ia duduk di barisan depan, membuka buku catatan dengan rapi, dan menatap papan tulis dengan kesungguhan yang jarang kulihat. Di belakangnya, mahasiswa lain masih sibuk membuka smartphone, tapi Andini menatapku penuh perhatian setiap kali aku menulis simbol di papan tulis.
Saat itu aku sedang menjelaskan hukum gravitasi Newton.

F = G (m₁m₂) / r²

Biasanya aku menjelaskan dengan suara datar, tapi entah kenapa hari itu terasa berbeda. Mungkin karena tatapan matanya—jernih, tajam, tapi hangat—membuat aku ingin menambahkan sesuatu yang tak tertulis di buku.

“Gravitasi bukan hanya milik benda langit,” kataku sambil menatap kelas. “Kadang ia juga milik hati manusia. Semakin besar ‘massa rasa’ seseorang, semakin kuat daya tariknya.”

Tawa kecil terdengar dari barisan belakang. Tapi Andini tidak tertawa. Ia tersenyum samar, seperti seseorang yang baru saja menemukan makna baru dari hal yang sederhana.

Dan entah kenapa, sejak saat itu aku merasa bahwa rumus gravitasi Newton tak lagi sekadar rumus.

Hari-hari berikutnya, aku mulai mengenal Andini lebih jauh—dalam batas wajar, tentu saja. Ia sering datang ke ruang dosen, membawa laporan praktikum yang belum sempat kukoreksi. Tapi sering kali, pertanyaannya tidak lagi soal rumus.

“Pak, kenapa gravitasi nggak pernah nol?” tanyanya suatu sore.

Aku terdiam. Pertanyaan sederhana, tapi diucapkan dengan nada yang membuatku harus berpikir.
“Karena benda apa pun yang punya massa, sekecil apa pun, tetap menarik benda lain. Tidak ada yang benar-benar lepas dari pengaruh gravitasi.”

Andini menatapku pelan. “Berarti… kalau diibaratkan dengan rasa, manusia nggak pernah benar-benar lepas dari seseorang yang pernah dia sukai, ya, Pak?”

Aku tersenyum, menatap senja yang menyelinap lewat jendela ruang dosen. “Mungkin begitu, Din. Mungkin memang tidak pernah nol—hanya berkurang karena jarak.”

Ia tertawa kecil, tapi di balik tawa itu aku menangkap sesuatu: kedalaman yang tak bisa diterjemahkan dalam satuan atau vektor mana pun.

Semakin sering kami berdiskusi, semakin aku merasa seperti kehilangan gravitasi diriku sendiri. Ada gaya tarik yang halus tapi nyata. Aku tahu batas antara seorang dosen dan mahasiswi tidak boleh dilanggar—tapi di sisi lain, aku juga manusia. Ada rasa hangat yang tumbuh pelan, tidak meledak, hanya meresap perlahan seperti cahaya pagi yang menembus jendela laboratorium.

Kadang aku mencoba menolak. Aku menyibukkan diri dengan penelitian, menulis modul, menghadiri rapat akademik. Tapi setiap kali masuk kelas dan melihatnya duduk di barisan depan, aku merasa seperti partikel kecil yang kembali ditarik ke orbit semula.

Pernah suatu hari, hujan deras mengguyur Lenteng Agung. Setelah kelas selesai, aku masih di ruang dosen, sementara sebagian mahasiswa menunggu hujan reda di lorong kampus. Tiba-tiba Andini muncul di depan pintu sambil membawa dua gelas kopi dari kantin.

“Untuk Bapak,” katanya. “Kata ibu kantin, kopi ini bisa mengusir kantuk.”

Aku tertegun sejenak, lalu menerimanya. “Terima kasih, Din. Kamu nggak takut dimarahi orang kalau kedapatan ngobrol sama dosen sendirian begini?”

Ia tertawa pelan. “Saya cuma kasih kopi, bukan nyatakan cinta, Pak.”

Kata-katanya membuatku ikut tertawa, tapi juga sedikit goyah. Dalam kehangatan aroma kopi itu, aku tahu sesuatu sedang tumbuh—bukan di antara kami, tapi di dalam diriku sendiri.


Semester berganti. Andini semakin matang. Ia aktif di laboratorium instrumentasi, sering membantu adik tingkat, dan kadang menemaniku memeriksa alat praktikum. Tapi di sela-sela kesibukan itu, jarak kami perlahan berubah.
Bukan jarak fisik—melainkan jarak batin yang tumbuh dari kesadaran. Kami sama-sama tahu bahwa perasaan yang terlalu dekat bisa merusak orbit yang selama ini stabil.

Suatu sore, di ujung semester akhir, ia datang ke ruanganku membawa draft laporan tugas akhir. Aku sedang menulis rekomendasi nilai ketika ia duduk di seberang meja, menatapku lama.
“Pak,” katanya pelan, “kalau dua benda punya massa besar dan jaraknya dekat, gaya tariknya besar, kan?”

Aku mengangguk. “Ya, tapi kalau terlalu dekat, bisa menabrak. Dan tabrakan itu kadang menghancurkan keduanya.”

Ia menunduk, tersenyum. “Jadi, supaya nggak saling hancur, harus jaga jarak?”

“Harus,” jawabku. “Cinta pun begitu, Din. Kadang cara terbaik untuk menjaga sesuatu adalah tidak memilikinya.”

Hening sejenak. Di luar, angin sore menggoyang daun-daun di halaman kampus. Suara kereta dari arah Tanjung Barat terdengar sayup.

“Terima kasih, Pak,” katanya akhirnya. “Sudah ngajarin saya bukan cuma tentang gaya dan massa, tapi tentang rasa juga.”

Sore itu ia pamit dengan senyum tenang. Aku hanya bisa menatap punggungnya menjauh di lorong, lalu menghela napas panjang. Di hatiku, ada gaya yang perlahan berkurang, tapi tak pernah benar-benar hilang.


Tahun-tahun berlalu. Aku masih mengajar di Lenteng Agung, masih menjelaskan rumus yang sama kepada mahasiswa baru. Tapi setiap kali menulis F = G (m₁m₂) / r² di papan tulis, aku seperti melihat bayangan Andini di barisan depan—menatap, mencatat, dan tersenyum.

Suatu malam aku menerima pesan WhatsApp di  smartphoneku.

Selamat malam, Pak. Saya Andini. Sekarang saya kerja di Bandung, di laboratorium instrumentasi. Tiba-tiba ingat kuliah Bapak. Rasanya, hukum gravitasi itu nyata juga, ya. Karena seberapa jauh pun jarak, ada hal-hal yang tetap menarik hati saya ke masa lalu.

Aku membaca pesan itu berulang kali, lalu menatap langit dari balkon  kosanku di Kukusan Depok.  Bintang-bintang di atas tampak redup, tapi tetap setia beredar di orbitnya. Seperti kenangan, mereka tak pernah padam, hanya meredup agar bisa diterima tanpa luka.

Aku menulis balasan singkat:

Gravitasi itu hukum alam, Din. Tapi cinta—itu hukum hati. Sama-sama menarik, tapi tak selalu harus dimiliki.

Tak lama kemudian ia membalas dengan emoji senyum dan satu kalimat pendek:

Terima kasih, Pak. Saya paham sekarang.

Malam itu aku membuka buku catatan lamaku. Di halaman yang dulu sering kugunakan untuk mencatat ide penelitian, kutulis satu kalimat baru:

“Cinta dan gravitasi sama-sama mengikat tanpa rantai, menahan tanpa memaksa, menjaga jarak tanpa kehilangan arah.”

Aku tersenyum. Mungkin itulah pelajaran terbesar dari karierku sebagai pengajar: bahwa ilmu dan perasaan tidak pernah benar-benar terpisah. Bahwa di balik setiap rumus yang kaku, ada makna yang lembut.

Dan bahwa di antara bintang, partikel, dan orbit, selalu ada satu gaya yang paling misterius dari semuanya—
gravitasi cinta.

Dan entah sejak malam itu, di antara simbol-simbol dan persamaan, aku mulai menulis sesuatu yang lain. Bukan laporan penelitian, bukan jurnal ilmiah—melainkan sebuah puisi.
Sebagai dosen Fisika, aku mungkin sedang melanggar simetri logika. Tapi barangkali, beginilah cara semesta mengajarkan makna di balik hukum gravitasi.



Gravitasi Cinta

Di ruang kelas yang hening,
aku menggambar garis dan gaya,
menjelaskan tarikan antara massa,
sementara hatiku perlahan kehilangan pusatnya.

Ada jarak yang kupelajari dari rumus,
tapi tidak pernah kutemukan rumus:
untuk menakar jarak antara aku dan senyummu.

Kau datang seperti bintang di langit pagi,
terlalu dekat untuk diabaikan,
terlalu jauh untuk digapai.

Maka biarlah aku menjadi orbit,
mengitarimu dalam diam,
tanpa menabrak, tanpa memiliki,
hanya menjaga jarak agar tetap ada.

Sebab cinta, seperti gravitasi,
tak selalu harus tampak—
cukup terasa,
cukup membuat dua hati
tetap saling tertarik,
meski tak pernah bersatu



Aku menatap layar smartphone cukup lama, ragu apakah pantas mengirimkan kata-kata yang tak lagi berbentuk rumus, melainkan rasa. Namun malam itu, logika terasa terlalu sempit untuk menampung apa yang bergemuruh di dada. Akhirnya kutulis pesan singkat buat Andini, lalu kutambahkan puisi yang baru saja kutulis di buku catatan.

Setelah kutekan tombol kirim, aku menatap layar beberapa detik—seolah menunggu gaya tarik tak kasat mata itu kembali bekerja dari jarak jauh.

Beberapa menit setelah kukirimkan puisi itu, smartphoneku bergetar pelan. Sebuah pesan masuk dari Andini. Aku membaca perlahan, kalimat demi kalimatnya—tenang, sopan, tapi mengandung sesuatu yang hanya bisa dimengerti oleh dua hati yang pernah saling memahami tanpa berucap.

Terima kasih banyak, Pak, atas puisinya.

Jujur, saya tidak pernah membayangkan seorang dosen Fisika bisa menulis sesuatu yang seindah dan sedalam ini.

Membacanya membuat saya berpikir… bahwa ternyata, ilmu dan rasa memang tidak pernah benar-benar terpisah.

Saya belajar banyak, bukan hanya tentang gaya dan massa, tapi juga tentang menjaga jarak tanpa kehilangan arah.

Semoga Bapak selalu diberi ketenangan dalam setiap orbit kehidupan

Kata-katanya mengalir lembut, penuh hormat namun juga jujur.
Ada jeda di antara kalimatnya yang terasa lebih dalam daripada teks apa pun—sebuah ruang sunyi tempat rasa dan batas saling bernegosiasi tanpa suara.

Aku tersenyum kecil, lalu meletakkan smartphone di meja. Di luar, angin malam di Kukusan masih berembus pelan, menebarkan aroma hujan yang tertahan di dedaunan.
Di langit, bintang-bintang berpendar samar, seolah sedang mengingatkan bahwa tak semua cahaya harus bersinar terang untuk tetap berarti.

Aku menatap cangkir kopi yang mulai dingin, lalu bergumam pelan,
“Mungkin begini cara semesta menjaga keseimbangan—membiarkan dua benda tetap saling menarik, tanpa pernah bertabrakan.”

Malam itu aku merasa damai.
Tidak ada lagi keraguan, tidak ada lagi penolakan. Hanya kesadaran bahwa sebagian perasaan memang tidak untuk dimiliki, melainkan untuk dipahami.

Aku menutup buku catatan di meja, menuliskan satu baris terakhir sebelum tidur:

Gravitasi mengikat benda-benda langit.
Cinta mengikat jiwa-jiwa yang belajar menjaga jarak.

Beberapa hari setelah percakapan singkat itu, aku kembali menjalani rutinitas seperti biasa: mengajar, meneliti, menulis catatan kecil di sela kesibukan. Namun suatu malam, ketika sedang memeriksa laporan praktikum mahasiswa, notifikasi email masuk membuatku berhenti sejenak.

Nama pengirimnya membuat dadaku bergetar pelan: Andini Rahma.

Subjeknya sederhana—“Gravitasi Cinta”.

Dalam pesannya, Andini menulis singkat:

“Pak, saya menulis sedikit refleksi setelah membaca puisi Bapak malam itu. Entah kenapa, saya merasa gravitasi tidak hanya milik benda langit, tapi juga milik perasaan. Izinkan saya berbagi tulisan ini. Mungkin Bapak bisa membacanya saat waktu senggang.”

Di bawah kalimat itu, ada satu tautan menuju blog pribadinya. Aku membuka tautan itu perlahan, dan di layar laptopku muncul sebuah artikel berjudul ‘Gravitasi Cinta’—tulisan yang bukan sekadar catatan ilmiah, melainkan perpaduan indah antara fisika dan perasaan, antara Newton dan nurani.



Gravitasi Cinta: Ketika Hukum Newton Menyentuh Hati

Oleh : Andini Rahma

Isaac Newton mungkin tak pernah membayangkan bahwa hukum gravitasi yang ia rumuskan pada abad ke-17 akan menjadi metafora indah bagi sesuatu yang jauh lebih lembut dari sekadar gaya tarik-menarik benda: cinta. Namun, jika kita mau merenung sedikit lebih dalam, ternyata rumus sederhana itu—

F = G (m₁m₂) / r²
tak hanya menjelaskan bagaimana planet mengitari matahari, tapi juga bagaimana hati manusia saling tertarik.

Di dunia fisika, massa adalah ukuran seberapa besar materi yang dimiliki suatu benda. Semakin besar massanya, semakin kuat pula gaya tarik gravitasinya. Demikian pula dalam dunia batin: semakin dalam dan tulus rasa yang dimiliki seseorang, semakin besar daya tariknya terhadap jiwa lain. Ada orang yang kehadirannya sederhana, tak mencolok, namun “massanya” begitu besar dalam ruang hati—ia menarik dengan ketulusan, dengan kelembutan yang tak bisa dijelaskan oleh logika, hanya bisa dirasakan.

Lalu ada jarak (r), yang dalam fisika menentukan seberapa kuat gaya tarik itu bekerja. Semakin jauh dua benda, semakin kecil gaya tariknya karena berbanding terbalik dengan kuadrat jarak. Dalam dunia cinta pun demikian: semakin jauh dua hati, baik secara fisik maupun emosional, semakin lemah resonansi perasaan itu. Bukan karena cinta memudar, tapi karena sinyal rasa tak lagi mudah sampai. Namun, seperti halnya planet yang tetap beredar pada orbitnya, cinta sejati memiliki keseimbangan tersendiri—ia tidak mendekat hingga saling menabrak, dan tidak menjauh hingga kehilangan orbitnya.

Konstanta gravitasi (G) dalam rumus Newton adalah lambang keteraturan semesta, faktor yang menjaga semua gaya tarik tetap konsisten. Dalam cinta, “G” bisa dimaknai sebagai nilai universal—sebuah energi spiritual yang membuat rasa memiliki arah dan keseimbangan. Ia bisa berupa iman, keikhlasan, atau komitmen moral yang mengikat dua jiwa agar tetap berputar dalam lintasan kasih sayang, bukan sekadar hasrat.

Dengan demikian, hukum gravitasi cinta dapat kita tulis ulang menjadi:

C = K (rasa₁ × rasa₂) / jarak²
di mana C adalah kekuatan cinta, rasa₁ dan rasa₂ adalah kedalaman batin masing-masing insan, dan jarak adalah sejauh apa mereka menjaga kedekatan hati dan keintiman jiwa. Sementara K adalah konstanta kesetiaan—nilai yang menentukan apakah cinta itu hanya sesaat, atau abadi.

Jika kita amati kehidupan sehari-hari, rumus itu sering kali tampak dalam bentuk sederhana. Ada dua orang yang lama saling berdekatan namun tak saling jatuh cinta, mungkin karena “massa rasanya” kecil—hati mereka belum cukup berat untuk saling menarik. Ada pula yang baru saling menatap sekali, tapi langsung merasakan gaya yang luar biasa—mungkin karena keduanya menyimpan energi cinta yang besar, dan jarak batin mereka sangat kecil.

Namun seperti benda langit yang bergerak dalam keseimbangan antara gaya tarik dan gaya gerak, cinta pun memerlukan kestabilan orbit. Jika satu pihak terlalu dominan, gaya tarik itu bisa membuat yang lain kehilangan dirinya. Dalam fisika, benda kecil yang terlalu dekat ke planet besar bisa tertarik jatuh dan hancur. Dalam cinta, hal serupa terjadi ketika salah satu kehilangan ruang pribadinya, larut sepenuhnya dalam orbit orang lain tanpa kesadaran diri. Maka cinta yang sehat adalah yang menjaga jarak ideal—cukup dekat untuk saling menghangatkan, namun cukup jauh untuk saling menghormati.

Newton pernah berkata bahwa setiap aksi memiliki reaksi yang sama besar dan berlawanan arah. Dalam cinta, prinsip ini menjelma dalam bentuk timbal balik perasaan. Tak ada cinta yang benar-benar satu arah; jika salah satu memberi tanpa menerima, energi itu akan habis dan sistem menjadi tidak stabil. Maka cinta yang abadi adalah cinta yang menemukan keseimbangan antara memberi dan menerima, antara menarik dan ditarik.

Akhirnya, kita menyadari bahwa hukum semesta dan hukum cinta ternyata berpijak pada prinsip yang sama: segala sesuatu saling menarik karena adanya energi yang menghubungkan. Planet, bintang, bahkan dua hati manusia, semuanya tunduk pada hukum universal itu. Mungkin di sanalah letak kebesaran Sang Pencipta—bahwa antara fisika dan perasaan, antara benda dan makna, tak ada batas yang benar-benar memisahkan. Alam dan cinta sama-sama diciptakan untuk berputar, mencari keseimbangan, dan saling menjaga agar tak saling menghancurkan.

Dan jika suatu saat kamu bertanya mengapa kamu begitu tertarik pada seseorang tanpa alasan logis, mungkin jawabannya sederhana:
karena hatimu sedang mengalami gaya gravitasi— 
gravitasi cinta.

Bandung, September 2018



Aku menatap layar laptop cukup lama setelah selesai membaca artikel itu. Ada kehangatan yang aneh—bukan seperti nostalgia, tapi seperti rasa yang kembali menemukan bentuknya dalam bahasa yang baru.

Tulisan Andini bukan sekadar refleksi ilmiah; ia seperti gema dari percakapan lama yang belum pernah benar-benar selesai.

Entah kenapa, malam itu aku merasa perlu menulis sesuatu kembali untuknya.
Bukan untuk membalas, bukan pula untuk membuka apa pun—hanya sebagai ucapan terima kasih, dari seorang guru yang diam-diam belajar tentang rasa dari muridnya sendiri.

Lalu, dengan napas yang terasa lebih tenang, aku mulai mengetik perlahan di layar:

Aku sudah membaca tulisanmu, Din. Perlahan, dari awal sampai akhir—tanpa tergesa. Setiap kalimatnya seperti membawa kembali ruang kelas yang dulu pernah kita bagi: papan tulis, aroma kopi sore hari, dan cara matamu menatap rumus seolah di sana ada makna yang lebih dari sekadar angka.

Tulisanmu indah sekali. Hangat, jujur, dan dalam. Kau berhasil menjelaskan sesuatu yang selama ini sulit kukatakan dengan kata-kata: bahwa gravitasi bukan hanya persoalan gaya tarik benda, tapi juga tentang bagaimana hati manusia saling menjaga jarak tanpa kehilangan arah.

Saat membacanya, aku merasa seperti sedang bercermin—melihat kembali bagian diriku yang dulu hanya berani berbicara lewat simbol dan persamaan.
Terima kasih, Din. Bukan hanya karena tulisannya, tapi karena cara halusmu membuat ilmu terasa hidup… dan rasa menjadi lebih ilmiah.

Semoga orbitmu di Bandung selalu tenang, dan semoga semesta selalu menjagamu agar tetap bersinar, tanpa kehilangan keseimbanganmu sendiri.

Setelah mengirimkan pesanku malam itu, aku mematikan layar laptop dan membiarkan gelap memenuhi kamar. Di luar, hujan sudah reda, menyisakan aroma tanah basah yang menenangkan.

Entah apa yang akan terjadi setelah ini—apakah pesan itu akan dibalas, atau dibiarkan mengendap seperti partikel debu di udara—aku tidak lagi memikirkannya. Karena di titik ini, aku mengerti:
bahwa tidak semua gaya tarik perlu dijawab dengan kedekatan, dan tidak semua jarak berarti kehilangan.

Sebagian rasa memang diciptakan untuk tetap mengitari ruangnya sendiri—diam, setia, dan cukup dengan keberadaannya.

Aku menatap langit yang mulai terang di ufuk timur, lalu tersenyum pelan. Sebab akhirnya aku tahu, bahwa setiap cinta memiliki gravitasi masing-masing, dan tugasku hanyalah menjaga agar orbit itu tetap seimbang— tanpa menabrak, tanpa lepas, namun tetap berputar di dalam semesta yang bernama kenangan.

Depok, 25 Oktober 2025

TAMAT



✨ Tentang Penulis ✨

Setiap cerita lahir dari harapan, doa, dan cinta yang tersembunyi.
Siapakah sosok di balik kisah-kisah ini? Temukan jawabannya...

CERPEN KARYA ANAFIS '93

Buku kumpulan cerpen ini menghadirkan delapan kisah yang merentang dari cinta masa remaja, persahabatan, pengorbanan, hingga perenungan spiritual. Masing-masing cerita bukan sekadar fiksi, tetapi berangkat dari pengalaman batin yang diolah menjadi narasi penuh makna

Seorang dosen Fisika menemukan makna cinta melalui mahasiswinya, saat hukum gravitasi berubah menjadi metafora tentang rasa yang saling menarik namun tak bisa dimiliki. Cinta di antara mereka tidak pernah terucap, hanya hadir dalam bentuk pengertian, penghormatan, dan kenangan yang tak lekang oleh waktu.

Dalam perjalanannya sebagai gadis sederhana yang jatuh cinta pada rekan kerja barunya, Adipta harus belajar menerima kenyataan pahit bahwa debar yang ia simpan tak pernah berbalas, hingga akhirnya ia menemukan bahwa cinta sejati bukan selalu tentang memiliki, melainkan tentang kerelaan untuk mencintai dalam diam dan merelakannya lewat doa.

Cerita ini mengisahkan cinta tragis antara Baridin, pemuda miskin Jagapura Lor Kabupaten Cirebon, dan Suratminah, putri juragan kaya, yang berakhir nestapa oleh jurang derajat, hinaan, dan takdir.

Cerpen Remaja ini mengisahkan tentang cinta pertama yang lahir di bawah nyala api unggun, terjaga dalam diam, dan abadi dalam kenangan.

Cerpen ini menyiratkan perjalanan tobat dan kesadaran spiritual yang dalam, serta pencarian akan rekonsiliasi dengan diri sendiri — sebagai langkah awal untuk menata hidup yang lebih baik.

Kisah tragis tentang Dirman dan Surti, dua sejoli yang cintanya kandas oleh kepercayaan weton hingga berakhir di dua pusara berdampingan, menjadi pelajaran bahwa hidup dan mati hanyalah di tangan Allah, bukan ramalan.

Di balik senyum dan jilbabnya yang teduh, Anggraeni menyembunyikan cinta sunyi pada dosennya—cinta yang tak pernah berani ia ucapkan, hanya bisa ia rawat dalam doa dan diam, tumbuh sebagai rahasia manis sekaligus luka halus yang terus ia tanggung sendirian

Kasih dalam Sebutan Adik adalah kisah epistolari tentang hubungan yang bermula dari panggilan kakak-adik antara Ati dan Azis, namun perlahan berkembang menjadi cinta yang indah sekaligus rumit, terjalin lewat surat, kerinduan, dan pertanyaan tentang batas kasih sayang.

Kisah ini mengurai pertemuan seorang trainee Indonesia dan Haruka di Osaka, yang masih dibayangi hubungan pahitnya dengan Tio—seorang trainee lain dari Indonesia yang pernah ia cintai—hingga lewat surat-surat dan kenangan masa lalu mereka akhirnya menyadari bahwa cinta kadang harus melewati luka dan perpisahan sebelum berlabuh pada pintu maaf.

Melepasmu Dua Kali adalah kisah tentang dua sahabat SMA yang pernah berbagi kenangan indah bersama, lalu dipertemukan kembali setelah sepuluh tahun dalam reuni, namun akhirnya harus berani mencintai tanpa memiliki dan ikhlas melepas demi kebaikan.

Sahabat Terbaik mengisahkan dua sahabat kecil yang dipertemukan kembali oleh surat yang salah paham, lalu tumbuh menjadi cinta yang tak pernah terucap, dan akhirnya hanya bisa disimpan sebagai doa, kenangan, serta pengakuan tulus dalam diam.

Kisah ini menuturkan pertemuan tak terduga antara Hiro dan Michiyo yang tumbuh menjadi persahabatan hangat, lalu cinta yang akhirnya diakui namun harus dilepaskan, meninggalkan jejak indah tentang pertemuan, perpisahan, dan keikhlasan melepaskan.

Kisah ini mengurai perjalanan seorang kakak yang berpegang pada wasiat ibunya untuk menjaga adiknya, hingga di tengah perjuangan hidup dan pertemuan dengan cinta yang tak bisa dimiliki, ia belajar bahwa pengorbanan, tanggung jawab, dan kasih tanpa pamrih justru meninggalkan jejak paling dalam.

Pada reli Pramuka hujan Februari 1991, seorang remaja menemukan kehangatan tak bernama cinta dengan seorang siswi, yang kelak ia pahami sebagai pelajaran jiwa bahwa tidak semua pertemuan harus dimiliki, cukup dikenang sebagai doa sunyi di dalam hati.

Kisah ini adalah perjalanan dari genggaman uang lima ribu rupiah yang penuh keyakinan hingga menjadi undangan suci ke Baitullah, bukti bahwa doa, niat tulus, dan cinta dalam rumah tangga mampu membuka pintu langit. Ini adalah catatan perjalanan Ibadah Haji tahun 2024

Kisah ini menceritakan pertemuan sederhana seorang siswa SMA dengan adik temannya bernama Hapsi, yang berawal dari sapaan kecil di pagi banjir dan tumbuh menjadi ikatan manis kakak-adik penuh rahasia serta kehangatan yang tak pernah mereka sebut cinta.

Kisah ini menggambarkan hubungan samar antara seorang lelaki misterius dan Non, gadis kecil yang tumbuh dengan puisi-puisinya, di mana setiap kehadiran dan sepucuk amplop berisi kata-kata menjadi tanda kasih sayang tersembunyi yang menuntunnya menuju kedewasaan.

Kakak Berjilbab mengisahkan seorang mahasiswa baru Fisika UI pada tahun 1993 mengalami dua perjumpaan singkat namun membekas dengan kakak senior berjilbab, meninggalkan kenangan manis yang tak pernah terlupa meski namanya tak pernah benar-benar diingat.

Seorang kenshusei Indonesia di Yokohama tahun 1999 menemukan hiburan sekaligus “takdir aneh” lewat kaset-kaset Tan Sri P. Ramlee yang selalu muncul di momen tak terduga, hingga membuat sahabat sebelah kamarnya yakin dunia ini diam-diam diatur oleh Ramlee.

Sebuah kisah tentang suami-istri yang, di tengah lautan jamaah haji di Makkah, menemukan makna cinta terdalam melalui thawaf, sa’i, dan potongan rambut kecil yang menjelma menjadi janji suci pengabdian bersama menuju Allah.

Seorang trainee Indonesia di Osaka menemukan keteduhan di balik senyum resepsionis bernama Nagabayashi, yang dengan sapaan sederhana, surat-surat dari tanah air, dan satu foto perpisahan, meninggalkan kenangan manis yang tak terlupakan di tengah hari-hari keras perantauan.

Seorang dosen yang terbiasa dengan rutinitas Sabtunya di kampus dan warung Padang tiba-tiba mengalami pertemuan singkat dengan seorang mahasiswi kampus sebelah yang meninggalkan senyum hangat—dan sepiring ayam bakar tak terbayar—membuatnya bertanya apakah itu sekadar kebetulan atau isyarat kecil dari semesta.

Di tengah panas lembab musim panas Osaka 1999, seorang trainee menemukan seberkas kebahagiaan sederhana dari sapaan kasir kantin yang setiap hari menyebut “nana juu en desu”, hingga julukan “Mba Nana” pun lahir dan menjadi kenangan manis yang tak ternilai.

Keyakinan sederhana seorang istri yang menggenggam uang lima ribu rupiah di tahun 2008 menjadi awal perjalanan suci pasangan ini hingga akhirnya Allah mengundang mereka ke Baitullah.

Menjadi sekretaris RW bukan hanya soal tanda tangan dan arsip, tapi juga membuka pintu pada kisah-kisah tak kasat mata—seperti pertemuan istriku dengan sosok anak kecil yang seharusnya sudah tiada.

Sekelompok siswa SMAN 1 Tegal pada tahun 1991 membuktikan bahwa gamelan dan band bisa berpadu harmonis di panggung lomba musik Semarang, meninggalkan kenangan tak terlupakan tentang mimpi yang pernah hidup dengan gemuruh sorak penonton.

A man who secretly replaces someone else in a woman’s heart struggles between truth and silence, torn by the borrowed love that warms him even though he knows the light was never meant for him.

Perjalanan haji yang penuh haru dimulai dengan pelepasan sederhana di rumah dan kampus UIII, ketika doa, tangis, dan pelukan terakhir dari anak tercinta menjadi bekal hati menuju tanah suci.

Seorang pemuda yang terjebak hujan tanpa sengaja dipertemukan dengan keponakan yang lama hilang, lalu menguak kisah kelam keluarganya hingga membawanya pada janji untuk bertobat dan kembali ke jalan yang benar.

Seorang kakak yang sibuk kerja akhirnya memilih menulis cerpen penuh nasehat sebagai hadiah ulang tahun sederhana namun bermakna untuk sahabatnya, setelah melalui kehebohan bersama adiknya yang usil namun penuh perhatian.

Kisah Kisdanu dan Hapsari adalah perjalanan panjang dua sejoli dari desa, yang berawal dari hubungan kakak-adik penuh kasih sayang hingga akhirnya menemukan cinta sejati dan dipersatukan dalam pernikahan, setelah melewati ujian jarak, keraguan, dan kesetiaan.

Seorang trainee Indonesia di Osaka menemukan kehangatan tak terduga ketika lensa kameranya menjadi jembatan sederhana antara dirinya dan tawa siswi SMP di seberang gedung, menghadirkan sejenak pertemuan dua dunia yang berbeda.

Postingan Populer

Cerpen - Sajak Sunyi di Bawah Langit Februari

Cerpen - Sapaan Yang Hanyut Terbawa Banjir

Cerpen - Cinta yang Terselip di Antara Rumus-rumus Fisika

Haji Bersama Kekasih: Perjalanan Iman dan Cinta di Tanah Suci

Cerpen - Di Bawah Tokyo Tower, Malam Berbisik (東京タワーの下、夜が囁く)

Puisi - SEJAK KAU MENANGIS

Puisi - Di Ujung Masa

Puisi - DI STASIUN INI AKU MENANTI