Romansa Epistolari - Kasih dalam Sebutan Adik
Prolog
Aku hanyalah seorang
gadis kecil yang dulu menulis dengan lugu, membungkus rindu dengan candaan,
menyembunyikan cinta di balik sebutan “adik”. Dari setiap surat yang
kukirimkan, aku sedang belajar memahami diriku sendiri—belajar mengenal arti
kehilangan, kesetiaan, dan keberanian untuk mencinta.
Di balik tinta yang
kerap terburu-buru, ada jantung yang berdegup cemas menunggu balasan. Di balik
kata manja dan polos, ada doa panjang agar ia tidak pergi. Dan di balik semua
keraguan, ada satu hal yang tak pernah berubah: aku ingin tetap dekat
dengannya, bagaimanapun bentuk hubungan itu akhirnya.
Inilah kisahku bersama
Mas Azis—sebuah perjalanan hati yang bermula dari surat, berputar-putar dalam
rindu, luka, dan ketakutan, namun selalu menemukan jalan pulang: kasih seorang
kakak, yang hangatnya tidak pernah benar-benar padam.
Bagian 1
Tegal, 14 Oktober 1993
Aku masih ingat betul,
sore itu aku baru pulang sekolah, masih mengenakan seragam SMP dengan pita
rambut yang mulai longgar. Di meja ruang tamu, ada sepucuk surat untukku dengan
alamat yang ditulis tangan rapi.
Aku membukanya dengan
jantung berdebar. Di dalamnya ada dua lembar kertas surat dari Mas Azis,
kakak dari kampung sebelah yang baru beberapa bulan kuliah di Fisika UI Depok.
Entah bagaimana, aku merasa istimewa menerima surat itu. Tulisan tangannya
berbeda sekali dengan tulisanku yang masih bulat-bulat dan sering miring ke
kanan. Tapi justru karena itulah, aku merasa seperti sedang diajak bicara oleh
seseorang yang jauh lebih dewasa dariku.
Suratnya penuh dengan
nasihat: jangan malas belajar, jangan lupa salat, selalu baca doa sebelum
mengerjakan sesuatu. Aku tahu, Mas Azis menuliskannya dengan sungguh-sungguh.
Tapi entah kenapa, aku malah sering tersenyum saat membacanya. Rasanya seperti
punya kakak sendiri—kakak yang perhatian, kakak yang peduli, kakak yang bisa
kubanggakan.
Aku lalu menuliskan
balasan dengan gaya khas anak SMP: penuh coretan, penuh gurauan. Sesekali aku
bercerita tentang pelajaran Matematika yang membuatku pusing, atau tentang
teman sebangku yang suka mengganggu. Kadang aku sisipkan candaan soal “pacar
ganteng” atau “bonus PT Obat Nyamuk Cap Kingkong”, hanya agar suasananya tidak
kaku. Tapi di balik semua itu, ada kalimat yang kutulis pelan-pelan, dengan
hati yang berdebar:
“Dik Ati kangen…”
Aku tahu kalimat itu
sederhana. Tapi bagiku, itu adalah cara paling jujur untuk menyampaikan sesuatu
yang tak berani kusebut dengan kata lain.
Dan ternyata Mas Azis
mengerti. Ia tidak menegurku, tidak juga mengabaikan. Ia malah membalas dengan
sapaan lembut seperti “Ati manis” atau “adik cantik”. Membaca itu membuat
wajahku memanas, tapi hatiku diam-diam bahagia.
Pernah suatu kali ia
bercerita tentang pengalaman nyaris dirampok di bus kota. Saat membaca itu, aku
langsung terperanjat. Rasanya seperti ingin berada di sana, melindunginya,
meski aku tahu itu mustahil. Jadi yang bisa kulakukan hanya menuliskan kalimat
sederhana dalam balasan suratku:
“Hati-hati ya, Mas…
Kalau Mas kenapa-kenapa, siapa nanti yang nasehatin Ati?”
Aku tak tahu apakah ia
tersenyum saat membacanya. Tapi aku tahu, kalimat itu lahir dari rasa peduli
yang tulus.
Sejak itu, hubungan kami
mulai menemukan namanya sendiri: kakak-adik. Aman, wajar, tidak
mencurigakan. Tapi dalam hatiku yang masih polos, aku tahu ada sesuatu yang
berbeda. Ada getar yang tidak bisa kusebut apa namanya.
Mungkin begitulah cara
Allah mempertemukan hati. Dari selembar demi selembar surat, aku dan Mas Azis
sedang menulis sesuatu yang lebih dari sekadar kisah kakak dan adik.
Bagian 2
Tegal, 18 Februari 1994
Ingatanku melayang saat menulis surat itu. Entah kenapa, tiba-tiba
saja aku ingin mengakhiri dengan kalimat yang berbeda dari biasanya. Biasanya
aku hanya menulis: “Wassalamu’alaikum, dari adikmu Ati” atau
sekadar “Salam manis.” Tapi kali itu, tanpa banyak pikir,
tanganku menuliskan kata-kata yang membuat wajahku panas sendiri:
“Salam kangen and rindu.”
Aku sendiri geli membaca ulang tulisanku. Campur-campur bahasa,
sok gaya, seperti anak SMP yang sedang belajar romantis. Tapi anehnya, aku
tidak menghapusnya. Ada bagian dari diriku yang memang menginginkan agar ia
tahu: bahwa aku kangen, aku rindu.
Sore itu aku memasukkan surat ke dalam amplop coklat muda, lalu
menempelkan perangko dengan hati-hati. Setelahnya, aku duduk lama di kursi
rotan depan rumah, menatap jalan kampung yang basah setelah hujan. Deg-degan.
Bagaimana kalau Mas Azis tersinggung? Bagaimana kalau dia merasa aku
berlebihan?
Tapi ada juga rasa hangat yang diam-diam tumbuh di dada. Aku
membayangkan Mas Azis membaca surat itu di kosnya di Depok. Membayangkan ia
tersenyum, atau mungkin mengernyit bingung, lalu menaruh surat itu di laci meja
belajarnya.
Malamnya, aku merenung sambil menatap langit-langit kamar. Usia
kami memang jauh—aku masih kelas 3 SMP, dia sudah mahasiswa tingkat pertama.
Tapi mengapa aku berani menulis kata “rindu”? Apakah karena aku benar-benar
merasakannya? Atau hanya karena ingin dimanja seperti adik pada kakaknya?
Entahlah. Yang jelas, aku tahu sejak hari itu, surat-surat kami
tidak lagi sama. Aku sudah menaruh sebuah kata yang bisa jadi terlalu berani,
tapi juga terlalu jujur.
Dan aku tahu, setelah ini, aku hanya bisa menunggu—menunggu apakah
Mas Azis akan membalas dengan nada yang sama, atau tetap menjagaku dengan
jawaban bijak khasnya.
Apapun itu, aku yakin satu hal: dalam setiap amplop yang kukirim,
selalu ada sepotong hatiku yang ikut terbang ke Depok.
Bagian 3
Tegal, 18 April 1994
Hari-hari menjelang ujian rasanya bikin pusing. Buku-buku
pelajaran menumpuk di meja, tapi aku sering malah bengong, memikirkan hal lain.
Dan salah satu yang paling sering kurindukan adalah… surat dari Mas Azis.
Surat pertamaku dulu kubuat penuh canda. Aku sengaja banyak
berceloteh, supaya Mas Azis tidak bosan membaca. Sebenarnya itu caraku
bilang: “Mas, jangan berhenti ya, teruslah menulis untukku.” Kadang
aku takut… bagaimana kalau suatu hari Mas Azis tidak membalas lagi? Bagaimana
kalau benang halus yang menghubungkan kami tiba-tiba putus?
Karena itu aku sering minta macam-macam: Mas Azis harus balas
dengan pantun, dengan puisi, dengan cerita sehari-hari. Sebenarnya aku tahu Mas
Azis sibuk kuliah, tapi aku manja. Aku cuma ingin Mas Azis selalu punya alasan
untuk menulis balik untukku.
Waktu itu, di akhir surat, aku nekat kembali menuliskan:
“Salam kangen and rindu.”
Aku sendiri malu saat menuliskannya, tapi juga deg-degan bahagia.
Aku tahu, kata “rindu” itu bukan sekadar formalitas. Itu benar-benar suara
hatiku. Aku ingin Mas Azis tahu, aku kangen. Aku rindu.
Suratku berikutnya kutulis sambil sedikit ngambek karena ujian
sudah dekat. Aku mengeluh malas belajar, minta doa biar lulus, bahkan minta
hadiah kalau lulus SMP. Aku tahu terdengar manja, tapi begitulah aku. Di balik
gurauan itu sebenarnya aku ingin Mas Azis pulang.
Aku menulis kalimat: “Mas, pulangnya kapan?”
Lalu kutambah lagi: “Kalau Ati liburan ke Jakarta, Mas ke Jakartanya
Ati ya.”
Aku pura-pura menulis santai, tapi dalam hati aku serius. Aku
ingin Mas Azis ada di dekatku.
Ada satu kalimat yang kutulis dengan perasaan campur aduk:
“Ati harus membalas dengan apa untuk semua kebaikan Mas? Padahal
Mas bukan kakak kandungku, tapi kenapa Ati selalu merepotkan Mas?”
Aku berhenti lama di situ. Sungguh, aku takut membuat Mas Azis
terbebani. Tapi aku juga ingin jujur, bahwa Mas Azis sudah jadi bagian penting
dalam hidupku.
Dan seperti biasa, aku menutup surat dengan gaya genit khas anak
SMP: minta ongkos, minta hadiah, lalu cepat-cepat menambahkan “eh, bohongan
kok.” Aku tahu Mas Azis pasti senyum membaca itu. Tapi sebenarnya aku
serius—aku memang ingin selalu diperhatikan.
Di bagian akhir, aku menuliskan dengan huruf besar-besar:
“Salam kangen. Salam sayang. CEPAT BALAS YAH MAS.”
Aku bisa membayangkan Mas Azis membaca itu di kos Depok sana. Dan
aku menunggu… menunggu balasannya dengan hati berdebar, seakan surat darinya
adalah nyawa kecil yang membuatku hidup lebih semangat.
Kadang aku berpikir, mungkin surat-suratku terlihat
kekanak-kanakan. Tapi sebenarnya, lewat setiap kalimat manja itu, aku sedang
belajar menaruh hati. Aku belum berani menyebutnya apa, tapi aku tahu rasanya:
takut kehilangan, ingin selalu dekat, ingin selalu diperhatikan.
Bagian 4
Tegal, 19 Agustus 1994
Surat itu kutulis singkat saja. Tidak seperti biasanya yang penuh
celoteh atau curhat panjang. Tapi justru karena singkat, rasanya semua kalimat
jadi lebih berarti. Saat itu Mas Azis sedang liburan semester di desa.
Sore itu aku menuliskannya di buku kecil bergaris, dengan tinta
biru yang hampir habis. Besok aku harus berangkat mengikuti perkemahan tiga
hari—kegiatan wajib dari SMK Negeri yang baru saja kumasuki. Entah mengapa,
tiba-tiba saja hatiku berharap Mas Azis bisa ada di sana. Bukan benar-benar hadir,
tentu saja, tapi sekadar meninggalkan “jejak” yang bisa menemaniku sepanjang
hari-hari itu.
Maka kutulis dengan nada bercanda, tapi sebenarnya sangat serius:
“Mas, kalau bisa datanglah nengok Ati di bumi perkemahan. Kalau
tidak, titipkan saja jaket UI lewat Mas Agus. Kalau Mas tidak kasih, berarti
Mas tidak sayang sama adiknya sendiri. NB: cepat ya, jaket Ati tipis, tidak
hangat. SELAMAT TINGGAL MAS SELAMA 3 HARI, jangan menangis! GOOD BYE.”
Aku senyum-senyum sendiri setelah menuliskannya. Seolah aku sedang
menggodanya: “Berani nggak, Mas? Rela nggak, Mas?”
Padahal aku tahu, jaket itu bukan jaket biasa. Itu jaket
kebanggaan Mas Azis, jaket angkatan Fisika '93 yang sering ia ceritakan dengan
bangga. Aku bisa membayangkan ia jarang sekali mau melepasnya. Tapi aku sengaja
menulis permintaan itu, seperti ingin tahu sejauh mana Mas Azis peduli padaku.
Kalau benar-benar ia titipkan, itu artinya… aku berarti baginya.
Bukan hanya adik yang manja, tapi seseorang yang pantas ia lepaskan sesuatu
yang berharga.
Aku tahu, Mas Azis mungkin membaca kalimat “SELAMAT TINGGAL MAS
SELAMA 3 HARI, jangan menangis!” dengan senyum heran. Tapi aku serius
menuliskannya. Tiga hari memang sebentar, tapi aku ingin Mas Azis merasakan
kalau aku pergi jauh. Aku ingin ia menunggu, aku ingin ia merindukanku.
Malam sebelum berangkat, aku menatap surat itu lagi sebelum
kuselipkan ke dalam amplop. Deg-degan rasanya. Antara takut Mas Azis hanya
tertawa dan menganggap aku kekanak-kanakan, atau justru ia membaca lebih dalam
maksudku.
Yang jelas, bagiku surat ini bukan sekadar permintaan jaket. Ini
semacam kode kecil, isyarat yang kubisikkan lewat tulisan:
“Mas, Ati ingin ada bagian dari dirimu menemaniku. Ati ingin
tetap merasa dekat, meski kita terpisah.”
Dan aku tahu, kalau Mas Azis benar-benar menitipkan jaket itu… aku
tidak hanya akan merasa hangat di bumi perkemahan. Aku akan merasa disayangi.
Hari itu, udara bumi perkemahan benar-benar berbeda. Angin dari
arah waduk Cacaban membawa hawa dingin yang menusuk kulit, apalagi jaketku
tipis dan tak cukup menghangatkan tubuh. Aku sudah menulis surat kecil untuk
Mas Azis, setengah bercanda setengah memaksa, meminta jaketnya—jaket Fisika ’93
yang selalu ia banggakan. Jujur saja, dalam hatiku aku tak yakin ia akan
datang. Paling-paling jaket itu dititipkan saja lewat Agus, seperti yang
kutulis.
Tapi sore itu, dari kejauhan aku melihat sosok yang begitu kukenal
berjalan mendekat. Jaket coklat tua itu menempel di tubuhnya. Degup jantungku
langsung kacau, aku hampir tak percaya: Mas Azis datang beneran…
Aku berlari kecil menghampirinya, berusaha menyembunyikan wajah
yang panas karena malu sekaligus bahagia.
“Mas… datang beneran?” suaraku terdengar gemetar, meski kucoba
menutupinya dengan tawa.
Ia tersenyum, lalu melepas jaket itu dari tubuhnya. “Katanya
butuh cepat, kan? Masa Mas tega biarin Dik Ati kedinginan.”
Tanganku otomatis menyambut jaket itu. Begitu menyentuh kainnya,
aku merasa seolah sedang memegang sesuatu yang lebih berharga daripada sekadar
pakaian. Wangi kain itu masih menyimpan hangat tubuhnya. Aku mendongak, menatap
matanya, dan dengan nada menggoda aku berkata, “Mas… ini berarti Mas
sayang sama adiknya, ya?”
Ia terdiam sebentar. Senyum tipisnya muncul, tapi aku tahu sorot
matanya lebih jujur daripada kata-katanya. “Iya, Dik Ati… sayang
banget.”
Dadaku langsung bergetar mendengarnya. Ada sesuatu yang sulit
kujelaskan, semacam rasa hangat yang menjalari seluruh tubuh, bercampur malu
yang membuatku cepat-cepat menunduk. Aku buru-buru menyembunyikan jaket itu di
balik tubuhku, takut wajahku yang merah terbaca jelas olehnya.
“Mas… jangan lama-lama di sini, nanti yang lain pada lihat. Ati malu …” bisikku
hampir tak terdengar.
Ia mengangguk, lalu perlahan berbalik meninggalkan area
perkemahan. Tapi sebelum benar-benar jauh, aku sempat mengenakan jaket itu.
Rasanya… seperti ada dirinya yang melingkupiku, menjaga agar aku tak
kedinginan. Dari jauh aku melambaikan tangan sambil tersenyum, meski dalam hati
ingin berteriak lebih keras: Terima kasih, Mas… karena datang untukku.
Dan malam itu, ketika aku duduk di depan tenda bersama
teman-teman, tubuhku hangat oleh jaketnya. Tapi jauh lebih hangat lagi hatiku,
karena aku tahu, separuh dari dirinya kini menempel padaku—dan mungkin, separuh
dari diriku juga sudah tertinggal padanya.
Bagian 5
Tegal, 18 September 1994
Setelah membaca surat itu, aku duduk merenung. Ada getar di dada
yang sulit kujelaskan—antara senang karena Mas Azis begitu perhatian, dan
gelisah karena aku merasa harus “mengadu” perasaan ini tanpa terlihat terlalu
manja.
Aku menarik napas panjang, menata kata-kata di kepala sebelum
menuliskannya. Setiap kalimat yang hendak kutulis seperti ujian bagi hatiku
sendiri. Harus hati-hati, tapi juga jujur. Aku ingin ia tahu bahwa aku peduli,
bahwa aku merasa spesial baginya, tapi tanpa membuatnya terbebani.
“Mas… iya, Ati rindu,” batinku sebelum menulis. Aku menulisnya dengan hati-hati,
mencoba menyisipkan rasa itu di sela humor dan gurauan khasku.
Saat menulis tentang buku-buku Islami yang pernah diberikannya,
tanganku sedikit gemetar. Aku menekankan bahwa aku menyimpan semuanya dengan
baik, membaca ulang saat senggang, dan tidak mencampuradukkannya dengan
kegiatan lain. Bagi aku, itu bukan hanya soal buku, tapi soal memperlakukan
sesuatu yang berharga dengan rasa hormat—dan rasa hormat itu kuberikan untuk
Mas Azis.
Ketika menuliskan pertanyaan tentang surat yang dikirimnya untuk
orang lain, aku sengaja menambahkan nada sedikit merajuk. “Mas… kalau
hanya untuk orang lain, kenapa Ati nggak dapet surat itu juga, huh?” tulisku,
sambil menyisipkan senyum nakal di sudut kata-kataku. Aku ingin ia tahu bahwa
aku ingin menjadi prioritasnya, bukan sekadar adik di antara banyak orang.
Momen paling berat adalah ketika menuliskan tentang ulang tahunku.
Aku menulis dengan hati-hati: bukan sekadar meminta hadiah, tapi menandai
harapan kecil agar ia peduli. Sambil tersenyum, aku menulis: “Mas Azis…
boleh nggak kasih Ati sesuatu yang hanya Ati yang punya? Bukan soal benda, tapi
soal perhatian Mas yang cuma buat Ati.”
Selesai menulis, aku menatap amplop yang sudah siap dikirim. Aku
menaruh prangko dengan hati-hati, lalu menutup amplop sambil berbisik dalam
hati:
“Semoga Mas Azis mengerti… semoga Mas tahu aku ingin lebih dari sekadar adik
biasa.”
Malam itu aku tidur dengan hati campur aduk. Ada rasa senang
karena suratku akan dibaca, tapi juga cemas, menunggu balasan yang mungkin akan
mengungkapkan seberapa jauh perhatiannya padaku. Dalam diam, aku menatap
langit-langit kamar dan berdoa: semoga Mas Azis tetap menganggapku penting,
semoga kami tetap dekat, meski jarak dan usia kadang terasa seperti batas yang
tak bisa kulewati.
Bagian 6
Tegal, 12 November 1994
Malam itu, aku memegang surat untuk Mas Azis—atau lebih
tepatnya, membaca surat yang ditulis oleh diriku sendiri untuknya sebelum
aku kirimkan, tapi rasanya seperti menatap cermin hati yang menunggu balasan.
Kertas bergaris itu masih harum tinta biru yang sama, tapi setiap kata yang
kubaca membuat dadaku berdebar.
“Lam… Rindu selalu untuk Mas Azis…”
Aku mengulang kalimat itu dalam hati, sambil tersenyum tipis. Ada hangat yang
menjalar dari ujung jari ke dada. Aku menulisnya dengan sepenuh hati, seakan
ingin memastikan ia tahu bahwa rinduku bukan sekadar basa-basi. Tapi ada
kegelisahan yang menyelimutinya—aku takut, cemas, apakah Mas Azis benar-benar
merasakannya juga.
Halaman demi halaman aku menulis curahan hati. Aku mengungkap
kecurigaanku soal surat yang mungkin tidak sampai, rasa takut bahwa perhatianku
tidak cukup penting untuknya, atau bahwa ia tidak serius menanggapi semua ini. “Mas
Azis, pokoknya Ati tetap tidak percaya…,” begitu kutuliskan pada surat
untuknya.
Tapi lebih dari itu, aku menuntut kepastian. Aku tak mau lagi
bermain teka-teki. “Mas rasanya Mas Azis itu menganggap Ati sebagai
adik. Tapi bagi Ati, Mas Azis memperlakukan Ati lebih dari adik. Ati ingin
semua itu Mas jawab.” Kalimat itu membuat hatiku bergetar saat
menulisnya. Aku tahu, aku sedang membuka diri sepenuhnya—tanpa cadar, tanpa
ragu.
Di sela keresahanku, tetap kuselipkan gurauan khas remaja. Tentang
ulang tahunnya, tentang cerbung yang ditulisnya namun tak kunjung selesai,
hingga keherananku sendiri: bagaimana mungkin seorang mahasiswa fisika begitu
pandai menulis puisi dan cerpen? Bahkan hal remeh-temeh seperti cucian dua bak
pun bisa ia jadikan bahan lelucon. Semua itu kutulis sambil tersenyum, berharap
Mas Azis menangkap nada hatiku. Bahwa meski aku bisa marah, cemburu, atau
kecewa, semuanya selalu kubalut dengan rasa sayang yang tulus
Dan di ujung surat, tanpa sadar aku menuliskan kata-kata yang
paling berat untuk dikirim:
“Mas Azis, maafkan Ati yah bila nanti dan seterusnya Ati tidak akan memberi
kabar…”
Aku menatap tulisan itu lama. Rasanya seperti menaruh hatiku di
ambang jurang, menunggu apakah ia akan menangkapnya atau membiarkannya jatuh ke
dasar jurang.
Namun di sela kekhawatiran itu, aku tetap menutup surat dengan doa
dan ucapan selamat ulang tahun. Aku ingin ia tahu: meski hatiku mungkin terluka
atau cemas, rinduku tetap lebih besar dari semua itu.
Saat amplop itu tertutup, aku menarik napas panjang. Malam di
Tegal sunyi, hanya terdengar suara jangkrik dan angin yang berdesir di luar
jendela. Aku tahu, setelah surat ini dikirim, segala sesuatunya akan terasa
berbeda. Aku tak lagi sekadar adik yang manja, tapi gadis yang mulai menuntut
kepastian—dan hatiku siap menunggu, walau takut jika Mas Azis terus
menyembunyikan perasaannya di balik kata “adik.”
Bagian 7
Tegal, 6 Desember 1994
Aku menatap lembaran surat Mas Azis yang baru saja kubuka. Lampu
di pojok ruangan menebar cahaya hangat, memantul di tinta biru yang masih
segar. Hati kecilku berdebar—senang karena akhirnya bisa membaca kata-katanya,
tapi juga cemas karena aku tahu ada rahasia yang masih ia sembunyikan.
Aku mulai menulis balasan untuknya.
“Lam… rindu selalu untuk Mas Azis…”
Kalimat itu berulang-ulang kubisikkan dalam hati sebelum akhirnya
kutulis di atas kertas. Ada hangat yang menjalar dari ujung jari hingga ke
dada, namun selalu dibarengi kecemasan halus yang tak pernah benar-benar
hilang. Mas Azis memang selalu bijak, pandai menjaga jarak, dan kerap
bersembunyi di balik kata-kata filosofis. Ucapannya samar, seakan sengaja
membuatku menunggu: “Belum waktunya kamu tahu, Dik Ati,” atau “Suatu
saat nanti jejakmu akan menjawabnya.” Kadang ia menambahkan, “Kamu
masih anak-anak. Kalau sudah dewasa, kau akan mengerti.”
Namun yang paling sering membuatku gelisah adalah ketika ia
berkata pelan, “Tanyakanlah pada dirimu sendiri.” Kalimat itu
terasa seperti cermin yang dipaksakan di hadapanku—memantulkan pertanyaan yang
justru semakin menyesakkan, bukannya memberi jawaban. Rasanya seperti aku
dibiarkan berdiri sendirian di tengah jalan berkabut, mencari arah tanpa
penunjuk. Aku ingin sekali mendengar kejujuran darinya, satu kalimat sederhana
yang bisa menenangkan hati. Tapi yang kuterima hanyalah bayangan samar yang
membuatku semakin ragu: apakah ia menyayangiku hanya sebagai adik, atau
sebenarnya ada sesuatu yang lebih dalam yang ia sembunyikan?
Aku teringat saat pengumuman aku diterima di SMK Negeri. Alih-alih
ucapan selamat biasa, Mas Azis menghadiahi aku sebuah puisi. Itulah jawabannya
atas pertanyaanku yang tak pernah berhenti: “Sebenarnya Mas itu siapa?
Apa peran Mas dalam hidupku?”
Salah satu baitnya berbunyi:
Non,
Sering kau bertanya tentang diriku
Siapa aku ?
Percayalah Non
Belum saatnya kau tahu
Jejak-jejakmu kelak akan menjawabnya
Kau akan tahu siapa aku
Puisi itu indah, tapi sekaligus membuatku semakin bingung. Ia
menulis bahwa beberapa waktu berhenti menulis bukan karena malas, melainkan
karena tak sempat. Namun aku bisa merasakan sesuatu di balik
kalimat-kalimatnya—ada keraguan, ada pertanyaan yang tak pernah ia biarkan
jujur terucap.
“Ati ingin percaya,” tulisku dengan hati-hati. Namun jemariku tak berhenti di
situ. Aku menambahkan, “Tapi kenapa sikap Mas terasa begitu berlebihan
dalam memperlakukanku sebagai seorang adik?” Lalu tanpa sadar aku
melanjutkan lagi, “Sepertinya jarang ada kakak yang memberikan
perhatian sedalam itu, yang menyayangi adiknya dengan cara seperti Mas
menyayangiku.”
Aku tersenyum getir membayangkan ia membaca kalimat itu.
Perasaanku padanya tidak bisa kuatur semudah menata buku di rak. Tapi bagaimana
aku bisa jujur, sementara aku masih remaja, masih dianggap anak-anak, dan ia
sudah mahasiswa yang terlihat begitu dewasa dan bijaksana?
Di sela-sela surat, kuceritakan hal-hal kecil: tentang lipatan
kertasnya yang kini berbeda, tentang gaya tulisannya yang sedikit berubah namun
bisa kusadari. Aku ingin ia tahu, aku memperhatikan—bahwa sekecil apa pun jejak
yang ia tinggalkan selalu tertangkap di mataku. Dan justru dari situ aku merasa
bersalah; seakan ketidaksengajaan kecil bisa terbaca sebagai sesuatu yang lebih
besar.
Yang paling membuatku terdiam adalah kalimat yang akhirnya
kuakhiri sendiri:
“Kalau Mas masih menyuruh Ati bertanya pada diri sendiri, lebih baik surat
ini yang terakhir.”
Aku tahu, itu bukan ancaman. Itu jeritan kegelisahan. Aku ingin ia
benar-benar mengerti bahwa yang kuharapkan hanyalah kejujuran. Aku ingin tahu,
di sudut hati yang mana ia menyimpan diriku. Apakah aku hanya sekadar adik
dalam sebutannya, ataukah ada maksud lain di balik permainan kata “adik” yang
selama ini selalu ia ucapkan.
Namun di akhir surat, kuselipkan canda khas: “Salam
nano-nano.” Aku bisa membayangkan Mas Azis tersenyum tipis saat
membacanya, mencoba menafsirkan kata itu—manis, asam, asin—seperti isi hatiku
sendiri. Dan entah kenapa, aku yakin hatinya pun sama rumitnya.
Aku menatap surat itu lama sekali sebelum melipatnya. Hati kecilku
tahu, aku sudah berada di persimpangan: apakah terus bersembunyi di balik
kata-kata manis yang aman, atau mulai jujur tentang rasa yang semakin sulit
kutahan.
Di malam sunyi Tegal itu, kutulis bisikan hatiku di buku harian,
sebelum kuselipkan surat Mas Azis di dalamnya.
“Walaupun aku takut ditertawakan Mas karena dianggap masih
anak-anak, aku tahu sebentar lagi aku tak bisa lagi bersembunyi. Cepat atau
lambat, aku harus memilih: tetap menjadi adik manja yang hanya berani menulis
surat, atau memberanikan diri menaruh hati—meski risikonya bisa mengubah
segalanya.”
Bagian 8
Tegal, 5 Februari 1995
Hujan sore baru reda saat aku menutup buku harian. Di tangan masih
terasa amplop berwarna biru muda yang kubuka beberapa saat lalu. Tulisan tangan
Mas Azis membuat dadaku berdebar, tapi berbeda dari biasanya.
Aku menulis balasannya dengan hati-hati, menumpahkan segala rasa
gelisahku di atas kertas:
“Mas Azis, kenapa Mas selalu merahasiakan siapa diri Mas sebenarnya? Maksud
Mas dengan kata-kata ‘jaga diri baik-baik’ itu apa? Apa yang Mas harapkan dari
Ati? Apakah Mas siap menghadapi kekecewaanku kalau Ati salah mengerti?”
Kata-kata itu seperti cambuk bagi diriku sendiri. Selama ini aku
terlalu cepat percaya pada kata-kata lembutnya, terlalu mudah tersenyum pada
gurauan atau nasihatnya. Tapi kini, aku menuntut kejujuran, menuntut kepastian.
Aku menatap lembaran itu lama, mencoba menenangkan rasa gelisah yang tiba-tiba
membuncah di dada.
Aku sadar, selama ini Mas Azis selalu menjaga jarak. Bahasa
filosofisnya, nasihatnya, semua terasa seperti tembok pelindung. Tapi bagiku,
itu menimbulkan kabut: aku mulai mempertanyakan perasaanku sendiri, rindu yang
kubawa setiap malam, dan harapan yang menumpuk semakin berat.
Di ujung surat, aku menyelipkan doa, dan menutupnya dengan sapaan
yang tetap khas:
“Salam nano-nano, Mas Azis.”
Aku bisa membayangkan wajahnya tersenyum tipis saat membaca kata
itu, mungkin mengerti campuran rasa yang ingin kuceritakan: rindu, takut, dan
keinginan untuk dekat yang tak bisa kusembunyikan lagi.
Aku menaruh surat itu di bawah bantal, menatap jendela kamar yang
basah oleh hujan. Suara tetesan air dari atap terdengar samar, tapi di dalam
hati aku merasakan getar yang jelas: aku berada di persimpangan lagi. Aku ingin
kejujuran, tapi aku takut: apakah Mas Azis siap menerima hati yang kini tak
lagi polos, yang menuntut kepastian, dan yang mulai menuntut untuk dicintai?
Malam itu, aku menutup mata, membiarkan rindu bercampur gelisah,
sambil berbisik pelan pada buku harian yang menemaniku:
“Cepat atau lambat, Mas Azis harus tahu… aku bukan lagi gadis kecil yang
menulis surat untuk hiburan. Hatiku mulai menuntut jawaban, dan aku siap
menunggu.”
Bagian 9
Tegal, 28 April 1995
Amplop berwarna hijau dengan stiker kecil berbentuk hati menempel
di sudutnya. Begitu kubuka, harum kertas wangi itu seakan membawa kembali sosok
Mas Azis dalam bayangan yang selalu hangat—walau jarak memisahkan kami,
kehadirannya terasa nyata di setiap kata balasan yang ingin kutulis.
Tulisan tanganku mengalir seperti rengekan yang berulang:
“Mas Azis, maafin Ati ya… lama banget baru nulis surat lagi. Mas
marah nggak? Mas kecewa nggak? Jangan dong, Mas… nanti Ati sedih banget. Mas
jangan benci Ati ya…”
Setiap kalimat penuh pertanyaan yang sebenarnya aku sendiri sudah
tahu jawabannya. Seolah aku sedang menguji, mencari jaminan bahwa Mas Azis tetap
ada di hatiku, tak pernah berubah.
Lalu aku menulis cerita ringan: tentang ujian praktek memasak yang
hasilnya menggembirakan, tentang persiapan ujian kenaikan kelas yang akan
digelar tanggal 2 Juni. Lagi-lagi aku meminta doa restu, seakan restunya adalah
energi yang menuntun langkahku.
Tak lupa, kusempatkan rayuan kecil:
“Mas, Ati tuh pinter masak loh sekarang… nanti kalau Mas datang,
mau Ati bikinin apa? Tapi Mas jangan pelit ya… suratnya jangan cuma selembar.
Ati kangen, Mas… kangen banget.”
Di sela kalimat itu muncul rasa cemburu yang kutulis dengan manja:
“Mas… Mas Azis udah lupa sama Ati ya? Atau Mas Azis udah punya
pacar? Jangan bohong deh, Mas… jawab dong. Yah Mas, jangan diam aja…”
Kemudian aku menambahkan permintaan khas seorang adik yang ingin
selalu diperhatikan:
“Mas, ajarin Ati lagi dong kimia… kasih soal, nanti Ati coba
kerjain, terus Mas Azis koreksi ya. Ati kan pengen pinter, biar bisa bikin Mas
bangga…”
Ada pula sebaris kalimat tentang panggilanku dalam cerpen yang
dikirimnya, di mana aku digambarkan sebagai adik manja yang oleh anak kakak
tertuaku dipanggil Bibi.
"Mas, panggilanku bukan Bibi, ya. Semua keponakanku
selalu memanggilku Lik.”
Surat itu kututup dengan coretan yang penuh rayuan:
“Pokoknya, Mas harus janji… jangan pernah lupain Ati. Nanti Ati
nangis loh. Hehe…Ati sayang banget sama Mas Azis.”
Membacanya, aku hanya bisa tersenyum getir. Begitulah aku: dua
minggu lalu menuntut kejujuran dengan ultimatum keras, kini kembali dengan
suara renyah gadis yang takut kehilangan. Seperti ombak yang datang dan pergi,
begitu pula hatiku—keras, lalu melunak.
Namun satu hal tak berubah: kerinduanku pada Mas Azis selalu
nyata, dan entah bagaimana, hatiku pun selalu luluh.
Bagian 10
Tegal, 28 Desember 1995
Kurang lebih tiga bulan lamanya, aku dan Mas Azis tidak saling
berkabar, sejak Mas Azis kembali ke Depok setelah libur semester. Waktu itu,
jarak bukan sekadar soal tempat, melainkan juga hati yang mulai diuji oleh
perubahan suasana. Surat-surat yang dulu datang beruntun kini terasa jarang.
Jika dulu hampir tiap minggu aku bisa tersenyum menulis padanya, kini hanya ada
sepi yang menekan dada.
Dan akhirnya, di suatu sore, sebuah ide muncul, dan aku menulis
lagi, mencoba menyampaikan semua yang tertahan. Amplop itu kuberi warna baru,
agar Mas Azis tahu ada sesuatu yang berbeda. Dari baris-baris awal, aku
menumpahkan keresahan yang tak biasa, gelombang emosi yang selama ini
kubendung: rindu, kecewa, takut, sekaligus berharap.
“Kurang lebih tiga bulan kita enggak saling kabar, Mas Azis… Ati
kangen always… Cepat balas yah, jangan lebih dari tiga hari.”
Kutulis kalimat itu berulang kali dalam hati sebelum menaruhnya di
amplop. Ada desakan, ada tuntutan, tapi terutama ada kerinduan yang menekan,
sampai aku merasa perlu memberi tenggat waktu. Aku takut Mas Azis pergi jauh
dari hatiku tanpa aku sadar.
Di surat itu, aku menumpahkan perasaan bersalah: takut dianggap
cerewet, takut menyakiti hati, takut ia sudah berubah. Tetapi di sisi lain, aku
tak bisa menahan cemburu kecil, bahkan sempat menyinggung soal “pacar Mas
Azis”. Kutulis dengan hati-hati, agar nada itu tetap lugu, tapi tetap
terdengar:
“Walaupun Mas Azis sudah punya kekasih, jangan lupakan Ati…”
Kalimat itu sederhana, tapi jelas tersimpan kecemasan mendalam.
Aku ingin menegaskan posisiku—bahwa aku ingin tetap istimewa di hatinya, meski
dunia kami terus berubah.
Aku menatap amplop itu lama sebelum menutupnya. Di satu sisi, aku
merasa bersalah karena mungkin terlalu larut dengan urusan sekolah, organisasi,
dan kegiatan lain, sehingga lalai menulis lebih sering. Di sisi lain, aku
terharu—ternyata kerinduanku pada Mas Azis begitu besar, meski harus kubungkus
dalam kata “adik”.
Surat itu menjadi penanda: hubungan kami bukan lagi sekadar
surat-surat manis penuh canda atau pantun. Ada badai kecil di dalamnya—cemburu,
keraguan, bahkan ancaman diam-diam untuk mundur. Namun justru dari sanalah aku
sadar, benih rasa yang kutumbuhkan tidak rapuh. Ia bertahan meski dihantam
jarak, waktu, dan emosi yang meletup-letup.
Seperti akar pohon yang makin kuat menghujam tanah saat hujan
deras, begitu pula hatiku. Meski terkadang terasa dingin, deras, dan
menyulitkan, justru dari situlah rasa ini menemukan kekokohannya.
Aku menaruh pena, menatap amplop yang siap dikirim. Dalam hati,
aku berbisik: suatu hari nanti, aku harus menegaskan—bahwa untukku, Mas Azis
bukan sekadar kakak pena. Ia adalah bagian dari diriku sendiri, dan aku tak
ingin kehilangan kehangatan itu.
Bagian 11
Tegal, 1 April 1996
Amplop itu tipis, tulisanku sendiri terasa terburu-buru, tapi aku
tahu setiap goresan pena ini menampung gelombang perasaanku sendiri—antara
rindu, cemas, dan sedikit takut. Begitu kubuka, baris-baris pertama terasa
menohok hatiku:
“Perlu Mas Azis ketahui, surat Mas datangnya terlambat. Ati
tunggu-tunggu, sampai akhirnya bosan juga nunggu. Jangan kaya gitu lagi ya,
Mas. Kalau bisa, cepat dibales… jangan lebih dari tiga hari.”
Aku tersenyum getir. Aku sedang manja—antara rindu, resah, dan
sedikit ngambek. Tapi dari nada itu aku sadar: aku hanya takut Mas Azis
melupakanku, takut hubunganku dengannya memudar karena jarak dan kesibukan.
Lalu aku menulis dengan nada serius, tapi tetap bercampur jenaka:
“Mungkin Mas Azis benci sama Ati… Insya Allah tidak akan Ati
ulangi lagi. Belah dadaku deh, biar Mas Azis tahu, Ati enggak pernah main-main.
Semua ini asli dari hati Ati. Kaya kue aza enak… tapi ini serius, Mas.”
Aku bisa membayangkan bagaimana aku menulis itu, antara malu,
ingin meyakinkan, tapi tak kuasa menahan gaya bahasaku yang polos dan lugu.
Ada satu kalimat yang paling menancap:
“Kenapa sih Mas Azis mau menganggap Ati sebagai adik Mas?”
Aku terhenti lama saat menulis bagian itu. Di balik kata-kata yang
tampak polos, aku sadar sebenarnya sedang menantangnya—menguji apakah ia akan
tetap bersembunyi di balik peran “kakak” dengan jawaban filosofisnya yang
biasa, ataukah kali ini berani jujur bahwa hatinya menyimpan sesuatu yang lebih
dari sekadar kasih seorang kakak.
Surat itu kututup dengan pengakuan sederhana, tapi jujur dan
menggetarkan:
“Insya Allah Ati akan menuruti nasehat Mas Azis… Ati sayang sama
Mas Azis, kangen asli dari hati.”
Aku menatap tinta di kertas itu lama sekali. Inilah titik transisi
hubungan kami: dari sekadar surat manja kakak–adik yang penuh canda, menuju
ungkapan rasa yang belum berani kubuka sepenuhnya. Aku bersembunyi di balik
kata “adik”, tapi sesungguhnya aku sedang menunggu jawaban dari hatinya—apakah
Mas Azis masih menganggapku istimewa, ataukah perlahan menjauh.
Dan aku sadar, mulai saat itu, aku tak bisa lagi berpura-pura.
Rasa yang selama ini kubendung pun mendesak, menuntut untuk diakui.
Bagian 12
Tegal, 14 September 1996
Kalau beberapa bulan lalu aku masih menulis dengan nada polos,
manja, penuh protes ringan dan rindu yang gampang meledak, sekarang aku
menuliskan sesuatu yang lebih dewasa, lebih reflektif.
Nada manja tetap ada—“Mas koq nuduh Ati cuek…”—tapi kali
ini aku juga mulai menyinggung hal-hal yang lebih serius. Misalnya, bagaimana
orang lain memandang hubungan kami. Dari setiap goresan pena, aku ingin
menyampaikan satu hal: aku tidak ingin hanya dianggap “adik biasa”. Tapi di
sisi lain, aku tetap menjaga peran itu, karena sadar batas antara aku dan Mas
Azis harus tetap ada, meski hati berkata lain.
Aku menulis tentang keseharianku—Study Tour, PSG, sampai rasa
takut harus tinggal hanya berdua dengan Aam, sepupuku. Semua itu kutulis seolah
cerita biasa, tapi bagi hati kecilku, itu adalah kode. Aku ingin Mas Azis tahu
bahwa aku butuh sosok pelindung, dan di hatiku, sosok itu hanya dia.
Masih ada keluhan tentang kecepatan balas suratnya. Hal kecil yang
bagi orang lain mungkin sepele, bagi aku adalah sesuatu yang besar. Surat-surat
itulah urat nadi hubungan kami. Lewat surat, aku bisa memastikan perasaanku tak
bertepuk sebelah tangan. Lewat surat, aku bisa menutup jarak yang memisahkan
kami.
Di sela-sela itu, aku tetap menanamkan keseimbangan emosi: ada
tersinggung, ada bangga, ada rindu, ada candaan. Aku berusaha menunjukkan
perhatian dan kasih sayang, tapi tetap dalam lingkar “adik” yang aman. Meski
begitu, dari pilihan kata-kata yang lebih halus—“Terima kasih Mas telah
memilihku sebagai sumber inspirasi. Apakah Mas tidak salah memilih Ati sebagai
sumber ispirasi?”—aku tahu aku sedang memberi petunjuk: aku ingin diakui
lebih dari sekadar adik, meski belum berani mengatakannya langsung.
Malam itu, setelah menutup surat yang sudah kupenuhi campuran
perasaan ini, aku menatap tinta biru yang mengering. Ada rasa berat dan ringan
bersamaan: berat karena aku menunggu balasan yang bisa mengubah segalanya,
ringan karena setidaknya, aku telah menaruh hatiku di atas kertas, meski
tersembunyi di balik kata-kata polos dan manja.
Bagian 13
Tegal, 14 Oktober 1996
Surat itu terbang dengan bunyi ketikan yang khas. Tidak lagi
huruf-huruf goyah dari tulisan tanganku, melainkan deretan huruf rapi dari
mesin tik manual. Aku menegaskan di akhir kalimat: “Ini benar-benar
ketikan Ati, Mas. Jangan diketawain ya…” Kalimat itu sederhana, tapi
bagiku menyimpan makna besar: aku sedang menunjukkan diriku yang mulai tumbuh,
belajar mandiri, dan ingin diakui.
Aku tersenyum sendiri membayangkan Mas Azis membaca suratku.
Bayangan aku duduk di meja, mengetik dengan penuh keseriusan, melintas di
pikirannya. Jari-jari yang masih kaku, sering salah menekan tombol, justru
membuat ketulusanku terasa lebih nyata. Aku tak sekadar menulis surat, aku
menghadiahkan bagian dari proses tumbuhku untuknya.
Ada rasa syukur di setiap baris. Aku bahagia Mas Azis masih
mengingat ulang tahunku, bahkan sempat memberiku hadiah. Bagiku itu seperti
harta karun. Tapi di balik itu, aku merasa punya “hutang budi emosional.”
Seolah segala perhatian kecilnya harus kubalas dengan sesuatu yang besar.
Padahal, aku tahu—senyum Mas Azis saja sudah cukup menjadi hadiah terbaik
bagiku.
Aku menuliskan juga tentang masa depan: PSG di Hotel Pemalang. Aku
akan kos, belajar hidup jauh dari rumah. Dalam kalimat-kalimatku, tercampur
rasa percaya diri dan kegugupan. “Doakan Ati ya Mas supaya kerasan…” Kalimat
itu seakan membuatku ingin ia segera membalas, memberi rasa aman dan
dukungan: “Kamu pasti bisa, Ati. Aku percaya.”
Dan yang paling membuatku tertegun adalah ketika menuliskan sebuah
permintaan—atau mungkin lebih tepatnya harapan—yang sejak awal kusadari sulit
terwujud. Karena Mas Azis sedang sibuk kuliah di Depok. Namun tetap saja
kutulis, “Mas Azis, alangkah bahagianya Ati jika saat PSG nanti Mas
sempat menjengukku di Pemalang.”
Dan di penutup surat, aku menyelipkan gurauan kecil: “Sudah
sore belum papung… nanti baunya sampai ke Depok.” Lugu, jenaka, khas
diriku—seperti sengaja untuk membuatnya tersenyum di sela kerinduan.
Bagian 14
Tegal, 3 November 1996
Surat itu siap aku tulis—bukan dari tinta atau kertas, melainkan
dari getar jiwaku sendiri, seorang gadis yang sedang tumbuh, menaruh segala
harap dan resah pada satu orang: Mas Azis.
Kalimat pembuka membuatku tersenyum getir sekaligus tertegun:
“Lam manis selalu buat Mas Azis seorang.”
Bukan sekadar sapaan. Itu penegasan. Ada kata “seorang” di sana, seolah aku
ingin mengikatnya dalam lingkar yang tak berbagi dengan siapa pun.
Aku menulis setiap baris perlahan. Ada rasa kangen, ada keinginan
kuat untuk tetap dekat, bahkan ada pengakuan kecil yang membuatku sadar betapa
besar perjuangan batinku. Aku menulis bagaimana surat Mas Azis sempat direbut
bapakku. Bayanganku membayangkan wajahku saat itu—panik, cemas, tapi juga gigih
berusaha mendapatkannya kembali. Bagi orang lain mungkin hanya selembar kertas,
tapi bagiku itu adalah nadi, bukti bahwa ia hadir dalam hidupku.
Lalu, ada kalimat yang membuatku menahan napas lama:
“Mas Azis, salahkah Ati bila saling surat-menyurat dengan Mas Azis…?”
Pertanyaan sederhana, tapi sesungguhnya berat. Aku tidak sedang
bertanya soal surat. Aku sedang mempertanyakan takdir—apakah benar salahnya
ikatan yang tumbuh di antara kami. Di satu sisi, aku ingin segera menenangkan
hatiku sendiri: tidak, ini tidak salah, selama niat kami tulus. Tapi di sisi
lain, aku sadar dunia luar bisa menilai berbeda. Norma, orang tua, masyarakat
desa—semuanya bisa menjadi penghalang.
Di tengah keraguanku, aku menulis dengan jujur:
“Semakin sayang aza Mas Azis pada Ati.”
Kalimat itu polos, bahkan lucu dengan ejaan khas remaja. Tapi di situlah
kejujuran hatiku terlihat jelas. Aku tidak bisa menyembunyikan apa yang tumbuh
di dalam diri.
Aku menutup surat itu dengan dada berdebar. Bahagia, haru,
cemas—semua bercampur. Sampai kapan hubungan ini bisa tetap berjalan di jalur
rahasia? Sampai kapan aku bisa menyebut semua ini hanya sebatas “adik-kakak”.
Sore itu, aku hanya bisa memeluk kertas itu erat-erat. Surat itu
menjadi rahasia kami berdua. Rahasia yang indah, tapi juga rawan pecah.
Bagian 15
Pemalang, 27 November 1996
Malam itu kamar kosku begitu sunyi. Aku sedang melaksanakan PSG di
Hotel Pemalang. Hanya suara kipas tua yang berdecit pelan menemani
kesendirianku. Di meja kecil tergeletak amplop berwarna coklat muda.
Tulisan tanganku sendiri membuat dadaku berdebar: surat untuk Mas Azis yang
belum sempat kukirimkan dari kosku di Pemalang.
Perlahan kubuka kembali dan mulai kubaca ulang sebelum aku
kirimkan, baris demi baris seakan menyalurkan rindu dan keresahan yang
menumpuk:
“Mas Azis, di kamar kos yang sempit ini Ati sering merasa tidak
betah. Makanannya tidak enak, suasananya lain. Kadang bingung mau makan apa.
Semua terasa hambar tanpa kehangatan rumah.”
Aku berhenti sejenak, menghela napas. Betapa rindu dan takut
kehilangan itu bercampur dalam hatiku.
“Mas Azis, Ati sebenarnya ingin bercerita banyak. Ada masalah yang
cukup berat, tapi tangan ini tidak sanggup menuliskannya. Ati ingin
menyimpannya sampai Mas Azis pulang, supaya bisa Ati ceritakan langsung. Tapi
tolong ya Mas, kalau nanti Ati bercerita, itu jadi rahasia kita berdua.”
Mataku menatap kertas itu lama. Aku membaca dengan hati-hati,
setiap kata mengalir dari perasaan yang tulus, sekaligus takut salah tafsir.
“Entah kenapa, belakangan ini Ati merasa Mas Azis tidak
memperhatikan Ati seperti dulu. Padahal Ati masih memperhatikan Mas Azis… masih
menunggu tulisan Mas Azis dengan perasaan seperti dulu. Kadang hati Ati cemas,
jangan-jangan Ati sudah tidak lagi penting di mata Mas Azis. Supaya Mas Azis
tahu, di tengah rasa sepi ini Ati berusaha tetap menjaga diri. Setiap malam Ati
ikut salat berjamaah bersama teman-teman. Ati ingin Mas Azis percaya bahwa
meski jauh dari rumah, Ati tidak melupakan kewajiban. Tapi tetap saja, doa Ati
selalu ada satu: semoga Mas Azis tetap mengingat Ati.”
Aku membaca sambil menahan napas panjang. Rasa rindu dan bersalah
bercampur, karena aku sadar terlalu banyak waktu terbuang, tanpa menuliskan
kata yang seharusnya membuat Mas Azis tahu betapa pentingnya ia bagiku.
“Mas Azis… Ati kangen sekali dengan cerpen-cerpen Mas Azis. Tolong
kirimkan lagi ya. Rasanya kalau membaca tulisan Mas Azis, Ati bisa merasakan
kehadiran Mas Azis di samping Ati."
Aku menutup surat itu perlahan, menahan tangan yang gemetar. Surat
ini bukan sekadar kata-kata—ini jeritan hati seorang gadis yang rindu, yang
takut kehilangan, dan yang ingin Mas Azis merasakan kedekatan kami meski
terpisah jarak.
Aku menatap lampu redup di atas kepala, dan dalam sunyi malam
Pemalang, aku berbisik pada buku harianku:
“Mas Azis… semoga surat ini bisa membuat Mas memahami isi hatiku. Ini bukan
sekadar surat, tapi panggilan rindu yang tulus dari hati kecilku.”
Bagian 16
Tegal, 3 Maret 1997
Aku menatap amplop lusuh dengan tangan bergetar. Begitu kubuka,
kata-kataku sendiri tertulis, tapi seolah menampar hatiku ketika kubaca ulang,
karena kusadari rasa sakit yang ditimbulkan oleh Mas Azis.
“Mas… Ati merasa hati ini dalam terluka. Ati sakit, Mas. Bukan
hanya hatiku yang sakit, tapi rasa sakit ini lebih dari sekadar luka kecil.”
Nada marah yang kuberi pada surat ini terasa jelas. Ini bukan lagi
surat manja, bukan pula curahan rindu polos—ini luapan luka. Aku menulis sambil
meneteskan sedikit emosi, ingin Mas Azis merasakan seberapa dalam perasaanku
ketika ia bilang bahwa aku hanya peduli dia saat aku butuh bantuan.
“Ati ini manusia yang punya perasaan sayang, cinta, rindu, kangen…
bukan boneka, bukan hiburan, bukan objek permainan. Jangan pernah menganggap
sepele perasaan Ati!”
Aku ulangi kata-kata itu, menegaskan pertahananku. Aku ingin Mas
Azis memahami: rasa sakit ini muncul bukan karena aku ingin menuntut atau
mempersulit, tapi karena kata-katanya membuat hati ini goyah. Ada amarah, tapi
juga kepedulian yang terselip—Aku masih peduli, tetap ingin diakui.
“Mas, hak Mas mungkin besar… tapi hak Mas bukan berarti bisa
menyakiti adik yang mempercayai Mas sepenuh hati. Hak Mas bukan berarti boleh
memutuskan hubungan kita begitu saja. Jangan kira hati Ati ini main-main!”
Saat aku menulisnya sambil menahan napas, membayangkan bagaimana
ia membaca kata-kataku, merasakan beratnya luapan hati ini. Lima tahun hubungan
kami—mulai dari surat-suratan polos 1993, manja, kerinduan, hingga kini—terasa
rapuh karena salah paham dan kata-kata yang tak tersampaikan. Tapi aku tahu:
Mas Azis tetap peduli.
Aku menutup surat itu perlahan, menatap kertas di tangan, dan
menambahkan: aku ingin hubungan ini tetap terjaga. Luka ini adalah panggilan
untuk diperhatikan, diakui, dan dipahami. Aku ingin Mas Azis tahu bahwa meski
aku marah, aku tetap merindukannya—dan tidak ingin hubungan kami renggang.
Malam itu, kamarku sunyi. Hanya aku, amplopku sendiri, dan
bayangan panjang kata-kata yang bergema. Aku tahu: jika aku tidak menulis
dengan hati-hati, kesalahpahaman ini bisa merenggangkan ikatan yang sudah lama
kami rajut. Aku menegaskan dalam surat itu, meski marah, aku tidak akan
melepaskan Mas Azis. Ia tetap menjadi sosok yang amat berarti dalam hidupku.
Bagian 17
Tegal, 23 Maret 1997
Balasan surat Mas Azis akhirnya kuterima. Di dalamnya, Mas Azis
meminta maaf atas perkataannya, dan aku bisa merasakan ketulusan dari setiap
kata yang ia tulis. Ia juga menegaskan bahwa ia tidak akan pernah memutuskan
hubungan kakak-adik ini. Aku memang bahagia mendengarnya, tetapi hatiku masih
menyimpan luka. Karena itu, dengan jujur aku memohon agar ia tidak lagi
mengucapkan perkataan seperti itu di kemudian hari.
Aku menatap kertas kosong di meja belajar, tangan bergetar saat
menulis. Kata-kata yang kutulis sendiri menampar hati:
“Surat ini Ati buat khusus untuk seseorang yang telah membuat hati
ini sempat terluka.”
Kalimat itu keluar dari hatiku sendiri, campuran antara sakit dan
niat berdamai. Aku menulis dengan hati-hati, ingin menyampaikan luka yang
kurasakan sekaligus memberi kesempatan lagi.
“Hati ini begitu sakit, karena kata-kata Mas Azis itu begitu
terlalu…”
Aku tahu kata-kata itu jelas menggambarkan kekecewaan yang
kurasakan. Tapi di sela rasa marah dan sedih, aku mencoba memberi ruang untuk
memaafkan, meski bersyarat:
“Kalau Ati sudah tidak menghargai Mas Azis waktu peristiwa itu
terjadi, Ati tidak akan lagi mau bicara…”
Di balik kata-kata itu, aku ingin Mas Azis tahu betapa pentingnya
posisinya bagiku. Kekecewaan itu ada, tapi karena kedekatan kami, aku menuntut
pengakuan dan perhatian. Aku menambahkan ancaman halus:
“Ati nggak mau dikecewakan dan nggak mau mengecewakan lagi.”
Aku menulis ini bukan untuk menakut-nakuti, tapi agar Mas Azis
mengerti: hubungan kami bisa retak jika kesalahan lama terulang. Aku menuntut
bukti nyata, bahwa hati kami tetap dijaga.
Namun di akhir surat, aku menutup dengan pengakuan lembut:
“Insya Allah Ati akan tetap menjadi adik Mas Azis yang terbaik…”
Meski marah, kecewa, dan terluka, aku tetap memilih memaafkan. Aku
ingin mempertahankan ikatan yang telah kami rajut bertahun-tahun. Surat ini
bagiku adalah penutup bab lama—sebelum aku pindah ke Jakarta, sebelum fase
hidup baru dimulai.
Aku menatap amplop itu lama-lama. Di tengah kesunyian kamar, aku
merasakan satu hal: rasa dan kedekatan kami bukan sekadar manja dan rindu, tapi
pengertian, kesetiaan, dan keberanian untuk tetap memaafkan.
Bagian 18
Jakarta, 5 Juli 1998
Sudah hampir satu tahun aku berada di Jakarta. Bulan Agustus tahun
lalu aku resmi menjadi mahasiswi di Akademi Pariwisata di Jakarta. Kesibukan
bertambah: kuliah, tugas, praktik di hotel, dan menyesuaikan diri dengan
lingkungan baru. Mas Azis tetap menjadi penopang, hampir tiap minggu aku
menemuinya untuk meminta bimbingan atau sekadar curhat soal kuliah dan tugas.
Namun di titik ini, aku mulai menyadari ada perubahan dalam hatiku
sendiri. Dulu aku selalu resah mencari jawaban dari kata-kata Mas Azis, ingin
memastikan tempatku di hatinya. Tapi kini, ketika ia hadir lebih dekat, aku
justru menemukan kenyamanan dalam peran yang selama ini kupertanyakan: sebagai
adik. Kehangatan perhatian dan kasih sayangnya sudah cukup membuatku tenang.
Aku merenung dan membayangkan, seandainya hubungan ini diberi
label cinta, apakah aku siap? Apakah aku sanggup membalas sepenuhnya kehangatan
cinta itu untuk Mas Azis? Entahlah. Aku takut. Aku belum siap. Dan untuk
sementara, biarlah aku tetap di sisinya sebagai “adik” yang ia sayangi.
Dan ternyata, ketakutanku benar-benar menjadi nyata.
Mas Azis menggeser batas di antara kami, dari sekadar kasih sayang kakak-adik
menjadi sebuah pengakuan cinta yang sesungguhnya—sementara aku belum siap
menerimanya. Aku mengangguk, bukan karena hatiku sudah teguh, melainkan karena
bayangan kehilangan dirinya jauh lebih menakutkan daripada risiko melangkah ke
dunia yang belum kupahami. Bagiku, yang terpenting hanyalah tetap berada dalam
lingkar perhatiannya, tetap merasakan kasihnya yang hangat dan aman, meski
harus menanggung resiko cinta yang mungkin kelak melukai kami berdua.
Malam itu aku tak bisa tidur. Kata-kata Mas Azis berulang-ulang
terngiang di kepalaku, menyusup ke dada dan mengusik seluruh tenangku. “Aku
ingin kau lebih dari sekadar adik…”
Jantungku berdegup seolah hendak pecah. Selama ini aku hanya
menebak-nebak, menggantungkan harapan pada tanda-tanda samar, tapi kini ia
sendiri yang mengucapkannya. Aku seharusnya bahagia, seharusnya merasa diakui,
tapi entah mengapa yang kurasakan justru sebaliknya: takut.
Takut kalau aku tak sanggup membalas dengan cinta yang sama
hangatnya. Takut kalau semua ini hanyalah permainan perasaan sesaat. Takut
kalau aku melangkah, lalu menyesal dan kehilangan dia untuk selamanya.
Dalam hati aku membatin:
“Mas, kalau benar aku bukan lagi sekadar adik di matamu… apa aku
siap menjadi kekasihmu? Aku ingin, tapi aku belum mampu. Aku takut, Mas. Aku
takut kehilanganmu kalau aku salah memilih.”
Air mataku menetes. Rasanya seakan aku berdiri di persimpangan
jalan: satu jalur menjanjikan keindahan cinta, satu jalur mempertahankan
kenyamanan sebagai adik. Dan aku tahu, jalan mana pun yang kupilih, aku akan
kehilangan sesuatu.
Hari-hari setelah pengakuan itu menjadi masa yang paling berat
dalam hidupku. Seolah Mas Azis mulai menuntut lebih: ingin sering bertemu,
ingin aku hadir sebagai seorang kekasih sungguhan. Sedangkan aku… masih
bersembunyi di balik alasan kuliah, praktik, bahkan sakit. Semua itu bukan
dusta, tapi juga bukan sepenuhnya jujur.
Puncaknya adalah peristiwa di Bogor. Tatapannya yang kecewa, saat
aku diam di hadapannya, menembus jauh ke dalam hati. Ia menunggu senyum, salam,
atau sekadar sapaan hangat dariku—namun aku justru membeku. Dalam sekejap, aku
seolah melihat cermin: seorang gadis yang masih terikat dalam peran “adik”,
bukan kekasih.
Malam itu, dengan hati yang kalut, aku menulis surat panjang.
Isinya penuh penjelasan, pembelaan, dan rasa bersalah. Namun di ujungnya,
terselip kalimat putus asa yang menusuk bahkan bagi diriku sendiri: Bahwa
mungkin ini adalah akhir dari hubungan kami yang telah kami rajut
bertahun-tahun.
"Ini mungkin akhir dari segala-galanya. Tapi meski Mas marah,
jangan berubah sikap terhadap keluargaku."
Setelah menuliskan surat buat Mas Azis aku mengambil buku harianku
dan meluapkan perasaanku di sana. Aku menulis dengan tangan gemetar.
Surat yang baru saja kulipat itu seperti pedang bermata dua: aku
menulis untuk bertahan, tapi justru terasa seperti bunuh diri perlahan.
Kata-kata itu bukan sekadar penjelasan, melainkan benteng yang kubangun
terburu-buru, agar Mas Azis tidak semakin jauh menuduh. Tapi setelahnya, justru
aku sendiri terkurung di balik dinding itu.
Mengapa aku selalu merasa bersalah?
Mengapa di hadapanmu, aku menjadi begitu kecil, begitu takut kehilangan?
Padahal aku ingin kuat, ingin tegar, ingin menjadi gadis dewasa yang bisa
berdiri sejajar di sampingmu. Tapi nyatanya, setiap kali kau bicara dengan nada
kecewa, aku runtuh.
Mas…
Aku tahu, kau mendambakan balasan cinta yang sepadan dengan cintamu. Kau ingin
aku berani melangkah keluar dari bayang-bayang sebutan adik—sebutan yang
dulu justru aku sendiri yang berharap agar berganti menjadi
sebutan kekasih. Namun kini, ketika saatnya tiba untuk sungguh-sungguh
meninggalkannya, aku justru tak sanggup. Ada dinding tak kasatmata yang selalu
mengguncangku setiap kali kucoba menembusnya. Dan di balik gemetar itu,
bersemayam satu ketakutan: bila sebutan adik itu lenyap, aku takut kehilanganmu
untuk selamanya. Aku takut, Mas… bila kelak cinta ini terhempas badai, aku akan
kehilanganmu dua kali—sebagai kekasih, sekaligus sebagai kakak yang selalu
kusimpan dalam pelukan hatiku.
Kau mungkin tak pernah tahu, betapa aku sering menangis diam-diam
setelah kau mengatakan "Aku ingin kau lebih dari sekadar adik…”. Senyummu
seolah meminta sesuatu yang belum bisa kuberi. Tatapanmu seakan bertanya,
“Kapan kau benar-benar datang padaku sebagai seorang kekasih sungguhan?” Dan
aku hanya mampu berpaling, berpura-pura sibuk, berpura-pura masih anak kecil
yang manja.
Aku tahu aku menyakitimu.
Tapi tidakkah kau lihat, aku pun terluka oleh diriku sendiri?
Malam ini, setelah menulis kalimat itu—tentang akhir dari
segala-galanya—dadaku seperti diremukkan. Aku menulisnya bukan karena ingin
berpisah, tapi karena aku tidak tahu cara lain untuk meredakan kemarahanmu. Itu
semacam pengorbanan bodoh: aku melemparkan ancaman kehilangan, hanya agar kau
kembali menoleh.
Kalau saja kau bisa membaca isi hatiku lebih dalam daripada surat
itu, kau akan tahu: aku masih ingin kau ada. Aku masih ingin setiap minggu
menunggu langkahmu, masih ingin mendengar suaramu memanggilku dengan nada
sayang, masih ingin menjadi pusat perhatianmu. Hanya saja… aku belum mampu
memberi lebih.
Apakah aku egois, Mas?
Mungkin.
Tapi sejujurnya, aku hanya seorang gadis yang bingung: ingin menjadi kekasihmu,
tapi takut kehilanganmu begitu sebutan “adik” itu terhapus.
Aku menutup diari ini dengan doa yang lirih:
Semoga kau tidak membenciku setelah membaca surat itu.
Semoga kau tetap menemuiku, meski hanya sebagai “adik”.
Dan semoga, suatu hari nanti, aku berani menghadapi cintamu dengan utuh.
Bagian 19
Jakarta, 14 Juli 1998
Malam ini aku membuka surat dari Mas Azis dengan hati berdebar,
cemas kalau-kalau isinya benar-benar menjadi akhir dari segalanya. Namun begitu
mataku tertumbuk pada salam awalnya, kegelisahan itu sedikit mereda.
“Ati, adikku tersayang…”
Hanya dengan membaca sapaan itu, mataku langsung basah. Aku hampir
tak kuasa menahan air mata. Lalu dengan gemetar aku terus melanjutkan membaca
baris-baris berikutnya dari surat Mas Azis.
"Sejak dulu, Mas selalu menyimpan pertanyaan Dik Ati dalam
hati: siapa sebenarnya Mas bagi Dik Ati?
Bagi Mas, itu bukan sekadar tanya, melainkan isyarat—bahwa Dik Ati
menginginkan sesuatu yang lebih dari sekadar adik. Dari situlah keberanian Mas
tumbuh, perlahan tapi pasti, hingga akhirnya Mas memberanikan diri mengubah
hubungan kita menjadi cinta.
Mas sungguh percaya, saat itu waktunya sudah tiba.
Namun ternyata Mas keliru. Dik Ati justru telah menemukan kenyamanannya sebagai
adik—yang cukup dengan diperhatikan dan disayangi, tanpa harus menanggung beban
cinta yang Mas tawarkan
Malam-malam terakhir ini Mas banyak merenung. Setelah membaca
suratmu, Mas merasa seperti ditampar oleh kenyataan yang selama ini tidak ingin
kuakui: Mas terlalu tergesa-gesa. Mas terburu-buru mengubah sebutan kita dari
kakak-adik menjadi kekasih, seakan cinta bisa lahir hanya dengan sebuah kata
pengganti. Padahal, cinta sejati butuh waktu, butuh kesiapan, dan butuh hati
yang benar-benar rela.
Dik Ati, Mas salah.
Mas meminta maaf.
Mas menuntut sesuatu yang belum sanggup Dik Ati berikan. Mas memaksakan jalan
untuk masuk ke hatimu tanpa sempat menunggu pintu itu terbuka sendiri.
Hari ini, dengan sepenuh hati, Mas ingin mengembalikan hubungan
kita ke asalnya. Mas ingin kembali menjadi kakakmu. Kakak yang dulu selalu kau
cari untuk bercerita, untuk meminta bimbingan, untuk sekadar merasa aman.
Mas tak ingin kehilangan itu hanya karena Mas terlalu cepat mengucapkan kata
“cinta.”
Jangan pernah merasa bersalah, Dik Ati. Kalau kau masih mau
menerimaku sebagai kakakmu, itu sudah lebih dari cukup bagiku. Rasanya seperti
menemukan kembali permata yang sempat hilang dari genggaman: berkilau,
berharga, dan tak tergantikan.
Mas janji, Mas akan tetap hangat seperti dulu. Mas akan tetap
mendengar ceritamu, tetap membimbingmu, tetap menyayangimu dengan tulus. Kalau
suatu hari nanti kau siap melangkah lebih jauh, Mas akan menunggumu dengan
sabar. Tapi kalau tidak pun, biarlah Mas tetap bahagia dengan peran ini:
kakakmu, tempatmu bersandar."
Aku pun segera membalas suratnya. Kubuka dengan salam yang dulu
sering kutulis, seolah ingin mengulang jejak awal kami:
“Lam… rindu selalu untuk Mas Azis Seorang.”
Lalu, di baris berikutnya, kutorehkan kalimat yang pernah kubuka
di surat pertama, sederhana namun penuh getar rindu:
“Dik Ati kangen.”
Itulah caraku meluapkan bahagia—bahagia karena Mas Azis masih
menerimaku sebagai adik, tempatku kembali tanpa rasa takut kehilangan. Dari
sana, tulisan tanganku mengalir begitu saja, seakan setiap huruf lahir dari
denyut lega di dadaku.
"Surat Mas kubaca dengan air mata bahagia. Ati tak tahu harus
berkata apa selain rasa lega yang memenuhi dada ini. Seakan beban berat yang
selama ini menindih perlahan terangkat. Mas… Ati sungguh bersyukur karena Mas
masih ingin menerimaku kembali sebagai adikmu.
Ati akan menjadi adikmu yang manja lagi. Ati ingin bisa tertawa
bebas di hadapan Mas, tanpa rasa takut dituntut menjadi sesuatu yang belum
sanggup Ati jalani. Ati ingin kembali menemukan kehangatan Mas, seperti dulu:
kakak yang selalu ada, yang menuntun Ati, yang menenangkan resahku dengan
kata-kata sederhana.
Tapi izinkan Ati berkata jujur, Mas. Dulu, memang benar…
pertanyaan Ati tentang siapa sebenarnya Mas bagi Ati bukanlah sekadar
tanya. Itu adalah isyarat—bahwa Ati menginginkan Mas lebih dari sekadar seorang
kakak. Namun, setelah Mas hadir begitu dekat dengan perhatian dan sayang yang
penuh, hati Ati justru berubah. Ati merasa nyaman sebagai adik, nyaman berada
dalam dekapan hangat itu, tapi sekaligus takut… takut kalau Ati tak mampu
memberikan cinta seperti yang Mas harapkan.
Ati memang belum siap hari ini, tapi jauh di dalam hati, Ati tahu,
suatu saat nanti Ati akan siap. Ati ingin, bila hari itu tiba, seluruh cinta
Ati hanya akan Ati serahkan pada Mas seorang.
Sampai saat itu datang, tetaplah di sisiku seperti yang selalu Mas
lakukan. Bimbing Ati, sayangi Ati, biarkan Ati tumbuh dalam hangatnya
kasih seorang kakak. Dan percayalah, ketika waktunya tiba, Ati akan datang
padamu bukan hanya sebagai adik, melainkan sebagai seorang kekasih yang utuh.
Terima kasih, Mas, karena Mas tidak melepaskanku. Terima kasih
karena Mas memilih tetap bertahan, meski arah kita sempat goyah."
Kuambil kembali buku harianku dan kutumpahkan kebahagiaan ini di
sana.
Malam ini aku memejamkan mata setelah menorehkan kata terakhir di
suratku. Ada rasa hangat yang mengalir perlahan di dadaku, seperti embun yang
jatuh di padang kering. Aku lega, seolah terlepas dari jerat yang selama ini
membelenggu.
Aku tidak kehilangan Mas Azis.
Aku masih punya dia—kakak yang selalu kucari, tempatku bersandar, pelabuhan
segala resahku.
Betapa aku takut sebelumnya. Takut kehilangan dua peran sekaligus:
kekasih yang belum sempat benar-benar kupeluk, dan kakak yang sejak dulu
menjadi sandaran batinku. Tapi malam ini, aku merasa aman. Mas Azis memilih
bertahan. Ia memilih tetap ada di sisiku, meski hanya sebagai kakak.
Di dalam hatiku, aku tersenyum. Aku tahu aku masih belum siap.
Cinta bagiku belum sekuat yang ia dambakan. Tapi diam-diam, di lapisan terdalam
jiwaku, aku yakin: akan ada waktunya aku berjalan kepadanya dengan hati yang
utuh.
Aku ingin hari itu datang bukan karena tuntutan, bukan karena
paksaan, melainkan karena kerelaan. Karena aku sendiri yang memilih. Karena aku
sadar, bahwa di setiap hela nafasku, aku tak bisa benar-benar jauh darinya.
Untuk saat ini, biarlah aku tetap menjadi adiknya. Biarlah aku
kembali manja, kembali bebas tertawa, kembali bercerita tanpa beban. Dan ketika
aku siap, aku akan menggenggam tangannya bukan lagi sebagai adik—melainkan
sebagai seorang kekasih yang tak ragu lagi.
Malam ini aku bisa tidur dengan tenang.
Karena aku tahu, Mas Azis tidak pergi. Ia tetap di sini, bersamaku.
Aku menutup buku harianku dengan kalimat “Dik Ati
kangen…Mas”
Malam ini aku lekas terlelap, setelah hatiku terasa lega usai
membaca surat dari Mas Azis. Dalam lelap yang tenang itu, aku seakan-akan duduk
bersebelahan dengannya di sebuah bangku kayu yang sederhana.
Mas Azis menoleh pelan, suaranya nyaris seperti bisikan,
“Aku melihat sebuah mimpi… mimpi tentang rumah, di sebuah kota penuh bunga.
Ada jalan kecil yang harum, dan di sana… kita berjalan beriringan. Kau
tersenyum, aku pun tertawa. Indah sekali suasananya.”
Aku menoleh padanya. Cahaya lampu jalan yang temaram membuat
matanya berkilau.
“Mimpi yang indah,” kataku lirih. “Tapi… kenapa kau
menceritakannya seakan ada kegelisahan yang tersembunyi?”
Ia menarik napas dalam, lalu menunduk sejenak.
“Karena aku bertanya-tanya… dalam mimpi itu, sebenarnya siapa
dirimu bagiku?”
Aku hanya tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangan menyentuh
jemarinya.
“Aku… Mas Azis. Aku pun melihat mimpi yang sama. Aku adikmu, aku kekasihmu,
dan aku pendamping hidupmu.”
Hening. Angin malam berhembus lembut, mengibaskan rambutku,
membuatku sedikit menggigil. Mas Azis menatapku dalam-dalam, dengan sorot mata
yang tak pernah kulupakan.
“Engkau tahu?” katanya
lirih. “Kau adalah senyumku. Kau musim semi dalam hidupku. Kau awan
lembut… dan aku hanyalah hujan, yang ingin jatuh padamu.”
Pipiku terasa hangat, memerah. Aku menahan suara yang nyaris
bergetar ketika berkata,
“Dan aku… aku hidup dari kenanganmu. Jika suatu hari aku harus mati, biarlah
itu terjadi dalam pelukanmu.”
Kami terdiam. Tak ada kata lagi, hanya detak jantung yang
berdentang tak beraturan. Malam itu seolah berubah menjadi taman penuh
saksi—bunga, cahaya, dan angin yang berhembus lembut.
Sayup-sayup terdengar suara adzan subuh memanggil dari kejauhan.
Perlahan, aku pun terbangun.
Dengan senyum yang masih melekat di bibir, aku menyadari: mungkin itu bukan
sekadar mimpi, melainkan doa yang dipertemukan di alam jiwa.
Epilog
Kini, ketika aku menutup buku harianku, aku tahu: kisah ini belum
berakhir. Ia hanya berganti wajah. Dari cinta yang terlalu cepat dipaksakan,
kembali menjadi kasih yang lebih aman, lebih sederhana, namun justru lebih
berarti.
Mas Azis tetap ada—sebagai kakak yang membimbing, mendengar, dan
menyayangiku tanpa syarat. Dan aku, dengan seluruh kelemahanku, masih di
sisinya sebagai adik yang manja.
Mungkin suatu hari nanti, saat aku sudah siap, aku akan datang padanya sebagai
kekasih yang utuh. Tapi untuk sekarang, aku bahagia dengan peran ini. Karena
yang terpenting bukanlah gelar hubungan, melainkan kehadiran yang tidak pernah
pergi.
Kisah ini mengajarkanku: cinta tidak harus tergesa. Ia bisa
menunggu, tumbuh, dan menemukan bentuknya sendiri. Dan jika memang takdir, ia
akan tetap ada—meski berulang kali kehilangan arah.
Selama masih ada sebutan “adik” yang bisa
membuatku merasa aman di sisinya, aku tahu: aku tidak pernah benar-benar
kehilangan. Justru aku menemukan kembali permata yang sempat hilang—sebuah
kasih yang tulus, yang tetap berkilau meski ditempa waktu dan luka.
TAMAT
Depok, 30 Agustus 2025
