Romansa Epistolari - Kasih dalam Sebutan Adik

 


 

Prolog

Aku hanyalah seorang gadis kecil yang dulu menulis dengan lugu, membungkus rindu dengan candaan, menyembunyikan cinta di balik sebutan “adik”. Dari setiap surat yang kukirimkan, aku sedang belajar memahami diriku sendiri—belajar mengenal arti kehilangan, kesetiaan, dan keberanian untuk mencinta.

Di balik tinta yang kerap terburu-buru, ada jantung yang berdegup cemas menunggu balasan. Di balik kata manja dan polos, ada doa panjang agar ia tidak pergi. Dan di balik semua keraguan, ada satu hal yang tak pernah berubah: aku ingin tetap dekat dengannya, bagaimanapun bentuk hubungan itu akhirnya.

Inilah kisahku bersama Mas Azis—sebuah perjalanan hati yang bermula dari surat, berputar-putar dalam rindu, luka, dan ketakutan, namun selalu menemukan jalan pulang: kasih seorang kakak, yang hangatnya tidak pernah benar-benar padam.

 

Bagian 1

Tegal, 14 Oktober 1993

Aku masih ingat betul, sore itu aku baru pulang sekolah, masih mengenakan seragam SMP dengan pita rambut yang mulai longgar. Di meja ruang tamu, ada sepucuk surat untukku dengan alamat yang ditulis tangan rapi.

Aku membukanya dengan jantung berdebar. Di dalamnya ada dua lembar kertas surat dari Mas Azis, kakak dari kampung sebelah yang baru beberapa bulan kuliah di Fisika UI Depok. Entah bagaimana, aku merasa istimewa menerima surat itu. Tulisan tangannya berbeda sekali dengan tulisanku yang masih bulat-bulat dan sering miring ke kanan. Tapi justru karena itulah, aku merasa seperti sedang diajak bicara oleh seseorang yang jauh lebih dewasa dariku.

Suratnya penuh dengan nasihat: jangan malas belajar, jangan lupa salat, selalu baca doa sebelum mengerjakan sesuatu. Aku tahu, Mas Azis menuliskannya dengan sungguh-sungguh. Tapi entah kenapa, aku malah sering tersenyum saat membacanya. Rasanya seperti punya kakak sendiri—kakak yang perhatian, kakak yang peduli, kakak yang bisa kubanggakan.

Aku lalu menuliskan balasan dengan gaya khas anak SMP: penuh coretan, penuh gurauan. Sesekali aku bercerita tentang pelajaran Matematika yang membuatku pusing, atau tentang teman sebangku yang suka mengganggu. Kadang aku sisipkan candaan soal “pacar ganteng” atau “bonus PT Obat Nyamuk Cap Kingkong”, hanya agar suasananya tidak kaku. Tapi di balik semua itu, ada kalimat yang kutulis pelan-pelan, dengan hati yang berdebar:

“Dik Ati kangen…”

Aku tahu kalimat itu sederhana. Tapi bagiku, itu adalah cara paling jujur untuk menyampaikan sesuatu yang tak berani kusebut dengan kata lain.

Dan ternyata Mas Azis mengerti. Ia tidak menegurku, tidak juga mengabaikan. Ia malah membalas dengan sapaan lembut seperti “Ati manis” atau “adik cantik”. Membaca itu membuat wajahku memanas, tapi hatiku diam-diam bahagia.

Pernah suatu kali ia bercerita tentang pengalaman nyaris dirampok di bus kota. Saat membaca itu, aku langsung terperanjat. Rasanya seperti ingin berada di sana, melindunginya, meski aku tahu itu mustahil. Jadi yang bisa kulakukan hanya menuliskan kalimat sederhana dalam balasan suratku:

“Hati-hati ya, Mas… Kalau Mas kenapa-kenapa, siapa nanti yang nasehatin Ati?”

Aku tak tahu apakah ia tersenyum saat membacanya. Tapi aku tahu, kalimat itu lahir dari rasa peduli yang tulus.

Sejak itu, hubungan kami mulai menemukan namanya sendiri: kakak-adik. Aman, wajar, tidak mencurigakan. Tapi dalam hatiku yang masih polos, aku tahu ada sesuatu yang berbeda. Ada getar yang tidak bisa kusebut apa namanya.

Mungkin begitulah cara Allah mempertemukan hati. Dari selembar demi selembar surat, aku dan Mas Azis sedang menulis sesuatu yang lebih dari sekadar kisah kakak dan adik.

 

Bagian 2 

Tegal, 18 Februari 1994

Ingatanku melayang saat menulis surat itu. Entah kenapa, tiba-tiba saja aku ingin mengakhiri dengan kalimat yang berbeda dari biasanya. Biasanya aku hanya menulis: “Wassalamu’alaikum, dari adikmu Ati” atau sekadar “Salam manis.” Tapi kali itu, tanpa banyak pikir, tanganku menuliskan kata-kata yang membuat wajahku panas sendiri:

“Salam kangen and rindu.”

Aku sendiri geli membaca ulang tulisanku. Campur-campur bahasa, sok gaya, seperti anak SMP yang sedang belajar romantis. Tapi anehnya, aku tidak menghapusnya. Ada bagian dari diriku yang memang menginginkan agar ia tahu: bahwa aku kangen, aku rindu.

Sore itu aku memasukkan surat ke dalam amplop coklat muda, lalu menempelkan perangko dengan hati-hati. Setelahnya, aku duduk lama di kursi rotan depan rumah, menatap jalan kampung yang basah setelah hujan. Deg-degan. Bagaimana kalau Mas Azis tersinggung? Bagaimana kalau dia merasa aku berlebihan?

Tapi ada juga rasa hangat yang diam-diam tumbuh di dada. Aku membayangkan Mas Azis membaca surat itu di kosnya di Depok. Membayangkan ia tersenyum, atau mungkin mengernyit bingung, lalu menaruh surat itu di laci meja belajarnya.

Malamnya, aku merenung sambil menatap langit-langit kamar. Usia kami memang jauh—aku masih kelas 3 SMP, dia sudah mahasiswa tingkat pertama. Tapi mengapa aku berani menulis kata “rindu”? Apakah karena aku benar-benar merasakannya? Atau hanya karena ingin dimanja seperti adik pada kakaknya?

Entahlah. Yang jelas, aku tahu sejak hari itu, surat-surat kami tidak lagi sama. Aku sudah menaruh sebuah kata yang bisa jadi terlalu berani, tapi juga terlalu jujur.

Dan aku tahu, setelah ini, aku hanya bisa menunggu—menunggu apakah Mas Azis akan membalas dengan nada yang sama, atau tetap menjagaku dengan jawaban bijak khasnya.

Apapun itu, aku yakin satu hal: dalam setiap amplop yang kukirim, selalu ada sepotong hatiku yang ikut terbang ke Depok.

 

Bagian 3 

Tegal, 18 April 1994

Hari-hari menjelang ujian rasanya bikin pusing. Buku-buku pelajaran menumpuk di meja, tapi aku sering malah bengong, memikirkan hal lain. Dan salah satu yang paling sering kurindukan adalah… surat dari Mas Azis.

Surat pertamaku dulu kubuat penuh canda. Aku sengaja banyak berceloteh, supaya Mas Azis tidak bosan membaca. Sebenarnya itu caraku bilang: “Mas, jangan berhenti ya, teruslah menulis untukku.” Kadang aku takut… bagaimana kalau suatu hari Mas Azis tidak membalas lagi? Bagaimana kalau benang halus yang menghubungkan kami tiba-tiba putus?

Karena itu aku sering minta macam-macam: Mas Azis harus balas dengan pantun, dengan puisi, dengan cerita sehari-hari. Sebenarnya aku tahu Mas Azis sibuk kuliah, tapi aku manja. Aku cuma ingin Mas Azis selalu punya alasan untuk menulis balik untukku.

Waktu itu, di akhir surat, aku nekat kembali menuliskan:

“Salam kangen and rindu.”

Aku sendiri malu saat menuliskannya, tapi juga deg-degan bahagia. Aku tahu, kata “rindu” itu bukan sekadar formalitas. Itu benar-benar suara hatiku. Aku ingin Mas Azis tahu, aku kangen. Aku rindu.

Suratku berikutnya kutulis sambil sedikit ngambek karena ujian sudah dekat. Aku mengeluh malas belajar, minta doa biar lulus, bahkan minta hadiah kalau lulus SMP. Aku tahu terdengar manja, tapi begitulah aku. Di balik gurauan itu sebenarnya aku ingin Mas Azis pulang.

Aku menulis kalimat: “Mas, pulangnya kapan?”
Lalu kutambah lagi: “Kalau Ati liburan ke Jakarta, Mas ke Jakartanya Ati ya.”

Aku pura-pura menulis santai, tapi dalam hati aku serius. Aku ingin Mas Azis ada di dekatku.

Ada satu kalimat yang kutulis dengan perasaan campur aduk:

“Ati harus membalas dengan apa untuk semua kebaikan Mas? Padahal Mas bukan kakak kandungku, tapi kenapa Ati selalu merepotkan Mas?”

Aku berhenti lama di situ. Sungguh, aku takut membuat Mas Azis terbebani. Tapi aku juga ingin jujur, bahwa Mas Azis sudah jadi bagian penting dalam hidupku.

Dan seperti biasa, aku menutup surat dengan gaya genit khas anak SMP: minta ongkos, minta hadiah, lalu cepat-cepat menambahkan “eh, bohongan kok.” Aku tahu Mas Azis pasti senyum membaca itu. Tapi sebenarnya aku serius—aku memang ingin selalu diperhatikan.

Di bagian akhir, aku menuliskan dengan huruf besar-besar:

“Salam kangen. Salam sayang. CEPAT BALAS YAH MAS.”

Aku bisa membayangkan Mas Azis membaca itu di kos Depok sana. Dan aku menunggu… menunggu balasannya dengan hati berdebar, seakan surat darinya adalah nyawa kecil yang membuatku hidup lebih semangat.

Kadang aku berpikir, mungkin surat-suratku terlihat kekanak-kanakan. Tapi sebenarnya, lewat setiap kalimat manja itu, aku sedang belajar menaruh hati. Aku belum berani menyebutnya apa, tapi aku tahu rasanya: takut kehilangan, ingin selalu dekat, ingin selalu diperhatikan.

 

Bagian 4 

Tegal, 19 Agustus 1994

Surat itu kutulis singkat saja. Tidak seperti biasanya yang penuh celoteh atau curhat panjang. Tapi justru karena singkat, rasanya semua kalimat jadi lebih berarti.  Saat itu Mas Azis sedang liburan semester di desa.

Sore itu aku menuliskannya di buku kecil bergaris, dengan tinta biru yang hampir habis. Besok aku harus berangkat mengikuti perkemahan tiga hari—kegiatan wajib dari SMK Negeri yang baru saja kumasuki. Entah mengapa, tiba-tiba saja hatiku berharap Mas Azis bisa ada di sana. Bukan benar-benar hadir, tentu saja, tapi sekadar meninggalkan “jejak” yang bisa menemaniku sepanjang hari-hari itu.

Maka kutulis dengan nada bercanda, tapi sebenarnya sangat serius:

“Mas, kalau bisa datanglah nengok Ati di bumi perkemahan. Kalau tidak, titipkan saja jaket UI lewat Mas Agus. Kalau Mas tidak kasih, berarti Mas tidak sayang sama adiknya sendiri. NB: cepat ya, jaket Ati tipis, tidak hangat. SELAMAT TINGGAL MAS SELAMA 3 HARI, jangan menangis! GOOD BYE.”

Aku senyum-senyum sendiri setelah menuliskannya. Seolah aku sedang menggodanya: “Berani nggak, Mas? Rela nggak, Mas?”

Padahal aku tahu, jaket itu bukan jaket biasa. Itu jaket kebanggaan Mas Azis, jaket angkatan Fisika '93 yang sering ia ceritakan dengan bangga. Aku bisa membayangkan ia jarang sekali mau melepasnya. Tapi aku sengaja menulis permintaan itu, seperti ingin tahu sejauh mana Mas Azis peduli padaku.

Kalau benar-benar ia titipkan, itu artinya… aku berarti baginya. Bukan hanya adik yang manja, tapi seseorang yang pantas ia lepaskan sesuatu yang berharga.

Aku tahu, Mas Azis mungkin membaca kalimat “SELAMAT TINGGAL MAS SELAMA 3 HARI, jangan menangis!” dengan senyum heran. Tapi aku serius menuliskannya. Tiga hari memang sebentar, tapi aku ingin Mas Azis merasakan kalau aku pergi jauh. Aku ingin ia menunggu, aku ingin ia merindukanku.

Malam sebelum berangkat, aku menatap surat itu lagi sebelum kuselipkan ke dalam amplop. Deg-degan rasanya. Antara takut Mas Azis hanya tertawa dan menganggap aku kekanak-kanakan, atau justru ia membaca lebih dalam maksudku.

Yang jelas, bagiku surat ini bukan sekadar permintaan jaket. Ini semacam kode kecil, isyarat yang kubisikkan lewat tulisan:

“Mas, Ati ingin ada bagian dari dirimu menemaniku.  Ati ingin tetap merasa dekat, meski kita terpisah.”

Dan aku tahu, kalau Mas Azis benar-benar menitipkan jaket itu… aku tidak hanya akan merasa hangat di bumi perkemahan. Aku akan merasa disayangi.

Hari itu, udara bumi perkemahan benar-benar berbeda. Angin dari arah waduk Cacaban membawa hawa dingin yang menusuk kulit, apalagi jaketku tipis dan tak cukup menghangatkan tubuh. Aku sudah menulis surat kecil untuk Mas Azis, setengah bercanda setengah memaksa, meminta jaketnya—jaket Fisika ’93 yang selalu ia banggakan. Jujur saja, dalam hatiku aku tak yakin ia akan datang. Paling-paling jaket itu dititipkan saja lewat Agus, seperti yang kutulis.

Tapi sore itu, dari kejauhan aku melihat sosok yang begitu kukenal berjalan mendekat. Jaket coklat tua itu menempel di tubuhnya. Degup jantungku langsung kacau, aku hampir tak percaya: Mas Azis datang beneran…

Aku berlari kecil menghampirinya, berusaha menyembunyikan wajah yang panas karena malu sekaligus bahagia.
“Mas… datang beneran?” suaraku terdengar gemetar, meski kucoba menutupinya dengan tawa.

Ia tersenyum, lalu melepas jaket itu dari tubuhnya. “Katanya butuh cepat, kan? Masa Mas tega biarin Dik Ati kedinginan.”

Tanganku otomatis menyambut jaket itu. Begitu menyentuh kainnya, aku merasa seolah sedang memegang sesuatu yang lebih berharga daripada sekadar pakaian. Wangi kain itu masih menyimpan hangat tubuhnya. Aku mendongak, menatap matanya, dan dengan nada menggoda aku berkata, “Mas… ini berarti Mas sayang sama adiknya, ya?”

Ia terdiam sebentar. Senyum tipisnya muncul, tapi aku tahu sorot matanya lebih jujur daripada kata-katanya. “Iya, Dik Ati… sayang banget.”

Dadaku langsung bergetar mendengarnya. Ada sesuatu yang sulit kujelaskan, semacam rasa hangat yang menjalari seluruh tubuh, bercampur malu yang membuatku cepat-cepat menunduk. Aku buru-buru menyembunyikan jaket itu di balik tubuhku, takut wajahku yang merah terbaca jelas olehnya.
“Mas… jangan lama-lama di sini, nanti yang lain pada lihat. Ati malu …” bisikku hampir tak terdengar.

Ia mengangguk, lalu perlahan berbalik meninggalkan area perkemahan. Tapi sebelum benar-benar jauh, aku sempat mengenakan jaket itu. Rasanya… seperti ada dirinya yang melingkupiku, menjaga agar aku tak kedinginan. Dari jauh aku melambaikan tangan sambil tersenyum, meski dalam hati ingin berteriak lebih keras: Terima kasih, Mas… karena datang untukku.

Dan malam itu, ketika aku duduk di depan tenda bersama teman-teman, tubuhku hangat oleh jaketnya. Tapi jauh lebih hangat lagi hatiku, karena aku tahu, separuh dari dirinya kini menempel padaku—dan mungkin, separuh dari diriku juga sudah tertinggal padanya.

 

Bagian 5

Tegal, 18 September 1994

Setelah membaca surat itu, aku duduk merenung. Ada getar di dada yang sulit kujelaskan—antara senang karena Mas Azis begitu perhatian, dan gelisah karena aku merasa harus “mengadu” perasaan ini tanpa terlihat terlalu manja.

Aku menarik napas panjang, menata kata-kata di kepala sebelum menuliskannya. Setiap kalimat yang hendak kutulis seperti ujian bagi hatiku sendiri. Harus hati-hati, tapi juga jujur. Aku ingin ia tahu bahwa aku peduli, bahwa aku merasa spesial baginya, tapi tanpa membuatnya terbebani.

“Mas… iya, Ati rindu,” batinku sebelum menulis. Aku menulisnya dengan hati-hati, mencoba menyisipkan rasa itu di sela humor dan gurauan khasku.

Saat menulis tentang buku-buku Islami yang pernah diberikannya, tanganku sedikit gemetar. Aku menekankan bahwa aku menyimpan semuanya dengan baik, membaca ulang saat senggang, dan tidak mencampuradukkannya dengan kegiatan lain. Bagi aku, itu bukan hanya soal buku, tapi soal memperlakukan sesuatu yang berharga dengan rasa hormat—dan rasa hormat itu kuberikan untuk Mas Azis.

Ketika menuliskan pertanyaan tentang surat yang dikirimnya untuk orang lain, aku sengaja menambahkan nada sedikit merajuk. “Mas… kalau hanya untuk orang lain, kenapa Ati nggak dapet surat itu juga, huh?” tulisku, sambil menyisipkan senyum nakal di sudut kata-kataku. Aku ingin ia tahu bahwa aku ingin menjadi prioritasnya, bukan sekadar adik di antara banyak orang.

Momen paling berat adalah ketika menuliskan tentang ulang tahunku. Aku menulis dengan hati-hati: bukan sekadar meminta hadiah, tapi menandai harapan kecil agar ia peduli. Sambil tersenyum, aku menulis: “Mas Azis… boleh nggak kasih Ati sesuatu yang hanya Ati yang punya? Bukan soal benda, tapi soal perhatian Mas yang cuma buat Ati.”

Selesai menulis, aku menatap amplop yang sudah siap dikirim. Aku menaruh prangko dengan hati-hati, lalu menutup amplop sambil berbisik dalam hati:
“Semoga Mas Azis mengerti… semoga Mas tahu aku ingin lebih dari sekadar adik biasa.”

Malam itu aku tidur dengan hati campur aduk. Ada rasa senang karena suratku akan dibaca, tapi juga cemas, menunggu balasan yang mungkin akan mengungkapkan seberapa jauh perhatiannya padaku. Dalam diam, aku menatap langit-langit kamar dan berdoa: semoga Mas Azis tetap menganggapku penting, semoga kami tetap dekat, meski jarak dan usia kadang terasa seperti batas yang tak bisa kulewati.

 

Bagian 6

Tegal, 12 November 1994

Malam itu, aku  memegang surat untuk Mas Azis—atau lebih tepatnya, membaca surat yang ditulis oleh diriku sendiri untuknya sebelum aku kirimkan, tapi rasanya seperti menatap cermin hati yang menunggu balasan. Kertas bergaris itu masih harum tinta biru yang sama, tapi setiap kata yang kubaca membuat dadaku berdebar.

“Lam… Rindu selalu untuk Mas Azis…”
Aku mengulang kalimat itu dalam hati, sambil tersenyum tipis. Ada hangat yang menjalar dari ujung jari ke dada. Aku menulisnya dengan sepenuh hati, seakan ingin memastikan ia tahu bahwa rinduku bukan sekadar basa-basi. Tapi ada kegelisahan yang menyelimutinya—aku takut, cemas, apakah Mas Azis benar-benar merasakannya juga.

Halaman demi halaman aku menulis curahan hati. Aku mengungkap kecurigaanku soal surat yang mungkin tidak sampai, rasa takut bahwa perhatianku tidak cukup penting untuknya, atau bahwa ia tidak serius menanggapi semua ini. “Mas Azis, pokoknya Ati tetap tidak percaya…,” begitu kutuliskan pada surat untuknya.

Tapi lebih dari itu, aku menuntut kepastian. Aku tak mau lagi bermain teka-teki. “Mas rasanya Mas Azis itu menganggap Ati sebagai adik. Tapi bagi Ati, Mas Azis memperlakukan Ati lebih dari adik. Ati ingin semua itu Mas jawab.” Kalimat itu membuat hatiku bergetar saat menulisnya. Aku tahu, aku sedang membuka diri sepenuhnya—tanpa cadar, tanpa ragu.

Di sela keresahanku, tetap kuselipkan gurauan khas remaja. Tentang ulang tahunnya, tentang cerbung yang ditulisnya namun tak kunjung selesai, hingga keherananku sendiri: bagaimana mungkin seorang mahasiswa fisika begitu pandai menulis puisi dan cerpen? Bahkan hal remeh-temeh seperti cucian dua bak pun bisa ia jadikan bahan lelucon. Semua itu kutulis sambil tersenyum, berharap Mas Azis menangkap nada hatiku. Bahwa meski aku bisa marah, cemburu, atau kecewa, semuanya selalu kubalut dengan rasa sayang yang tulus

Dan di ujung surat, tanpa sadar aku menuliskan kata-kata yang paling berat untuk dikirim:
“Mas Azis, maafkan Ati yah bila nanti dan seterusnya Ati tidak akan memberi kabar…”

Aku menatap tulisan itu lama. Rasanya seperti menaruh hatiku di ambang jurang, menunggu apakah ia akan menangkapnya atau membiarkannya jatuh ke dasar jurang.

Namun di sela kekhawatiran itu, aku tetap menutup surat dengan doa dan ucapan selamat ulang tahun. Aku ingin ia tahu: meski hatiku mungkin terluka atau cemas, rinduku tetap lebih besar dari semua itu.

Saat amplop itu tertutup, aku menarik napas panjang. Malam di Tegal sunyi, hanya terdengar suara jangkrik dan angin yang berdesir di luar jendela. Aku tahu, setelah surat ini dikirim, segala sesuatunya akan terasa berbeda. Aku tak lagi sekadar adik yang manja, tapi gadis yang mulai menuntut kepastian—dan hatiku siap menunggu, walau takut jika Mas Azis terus menyembunyikan perasaannya di balik kata “adik.”

 

Bagian 7

Tegal, 6 Desember 1994

Aku menatap lembaran surat Mas Azis yang baru saja kubuka. Lampu di pojok ruangan menebar cahaya hangat, memantul di tinta biru yang masih segar. Hati kecilku berdebar—senang karena akhirnya bisa membaca kata-katanya, tapi juga cemas karena aku tahu ada rahasia yang masih ia sembunyikan.

Aku mulai menulis balasan untuknya.

“Lam… rindu selalu untuk Mas Azis…”

Kalimat itu berulang-ulang kubisikkan dalam hati sebelum akhirnya kutulis di atas kertas. Ada hangat yang menjalar dari ujung jari hingga ke dada, namun selalu dibarengi kecemasan halus yang tak pernah benar-benar hilang. Mas Azis memang selalu bijak, pandai menjaga jarak, dan kerap bersembunyi di balik kata-kata filosofis. Ucapannya samar, seakan sengaja membuatku menunggu: “Belum waktunya kamu tahu, Dik Ati,” atau “Suatu saat nanti jejakmu akan menjawabnya.” Kadang ia menambahkan, “Kamu masih anak-anak. Kalau sudah dewasa, kau akan mengerti.”

Namun yang paling sering membuatku gelisah adalah ketika ia berkata pelan, “Tanyakanlah pada dirimu sendiri.” Kalimat itu terasa seperti cermin yang dipaksakan di hadapanku—memantulkan pertanyaan yang justru semakin menyesakkan, bukannya memberi jawaban. Rasanya seperti aku dibiarkan berdiri sendirian di tengah jalan berkabut, mencari arah tanpa penunjuk. Aku ingin sekali mendengar kejujuran darinya, satu kalimat sederhana yang bisa menenangkan hati. Tapi yang kuterima hanyalah bayangan samar yang membuatku semakin ragu: apakah ia menyayangiku hanya sebagai adik, atau sebenarnya ada sesuatu yang lebih dalam yang ia sembunyikan?

Aku teringat saat pengumuman aku diterima di SMK Negeri. Alih-alih ucapan selamat biasa, Mas Azis menghadiahi aku sebuah puisi. Itulah jawabannya atas pertanyaanku yang tak pernah berhenti: “Sebenarnya Mas itu siapa? Apa peran Mas dalam hidupku?”

Salah satu baitnya berbunyi:

Non,
Sering kau bertanya tentang diriku
Siapa aku ?
Percayalah Non
Belum saatnya kau tahu
Jejak-jejakmu kelak akan menjawabnya
Kau akan tahu siapa aku

Puisi itu indah, tapi sekaligus membuatku semakin bingung. Ia menulis bahwa beberapa waktu berhenti menulis bukan karena malas, melainkan karena tak sempat. Namun aku bisa merasakan sesuatu di balik kalimat-kalimatnya—ada keraguan, ada pertanyaan yang tak pernah ia biarkan jujur terucap.

“Ati ingin percaya,” tulisku dengan hati-hati. Namun jemariku tak berhenti di situ. Aku menambahkan, “Tapi kenapa sikap Mas terasa begitu berlebihan dalam memperlakukanku sebagai seorang adik?” Lalu tanpa sadar aku melanjutkan lagi, “Sepertinya jarang ada kakak yang memberikan perhatian sedalam itu, yang menyayangi adiknya dengan cara seperti Mas menyayangiku.”

Aku tersenyum getir membayangkan ia membaca kalimat itu. Perasaanku padanya tidak bisa kuatur semudah menata buku di rak. Tapi bagaimana aku bisa jujur, sementara aku masih remaja, masih dianggap anak-anak, dan ia sudah mahasiswa yang terlihat begitu dewasa dan bijaksana?

Di sela-sela surat, kuceritakan hal-hal kecil: tentang lipatan kertasnya yang kini berbeda, tentang gaya tulisannya yang sedikit berubah namun bisa kusadari. Aku ingin ia tahu, aku memperhatikan—bahwa sekecil apa pun jejak yang ia tinggalkan selalu tertangkap di mataku. Dan justru dari situ aku merasa bersalah; seakan ketidaksengajaan kecil bisa terbaca sebagai sesuatu yang lebih besar.

Yang paling membuatku terdiam adalah kalimat yang akhirnya kuakhiri sendiri:
“Kalau Mas masih menyuruh Ati bertanya pada diri sendiri, lebih baik surat ini yang terakhir.”

Aku tahu, itu bukan ancaman. Itu jeritan kegelisahan. Aku ingin ia benar-benar mengerti bahwa yang kuharapkan hanyalah kejujuran. Aku ingin tahu, di sudut hati yang mana ia menyimpan diriku. Apakah aku hanya sekadar adik dalam sebutannya, ataukah ada maksud lain di balik permainan kata “adik” yang selama ini selalu ia ucapkan.

Namun di akhir surat, kuselipkan canda khas: “Salam nano-nano.” Aku bisa membayangkan Mas Azis tersenyum tipis saat membacanya, mencoba menafsirkan kata itu—manis, asam, asin—seperti isi hatiku sendiri. Dan entah kenapa, aku yakin hatinya pun sama rumitnya.

Aku menatap surat itu lama sekali sebelum melipatnya. Hati kecilku tahu, aku sudah berada di persimpangan: apakah terus bersembunyi di balik kata-kata manis yang aman, atau mulai jujur tentang rasa yang semakin sulit kutahan.

Di malam sunyi Tegal itu, kutulis bisikan hatiku di buku harian, sebelum kuselipkan surat Mas Azis di dalamnya.

“Walaupun aku takut ditertawakan Mas karena dianggap masih anak-anak, aku tahu sebentar lagi aku tak bisa lagi bersembunyi. Cepat atau lambat, aku harus memilih: tetap menjadi adik manja yang hanya berani menulis surat, atau memberanikan diri menaruh hati—meski risikonya bisa mengubah segalanya.”

 

Bagian 8

Tegal, 5 Februari 1995

Hujan sore baru reda saat aku menutup buku harian. Di tangan masih terasa amplop berwarna biru muda yang kubuka beberapa saat lalu. Tulisan tangan Mas Azis membuat dadaku berdebar, tapi berbeda dari biasanya.

Aku menulis balasannya dengan hati-hati, menumpahkan segala rasa gelisahku di atas kertas:
“Mas Azis, kenapa Mas selalu merahasiakan siapa diri Mas sebenarnya? Maksud Mas dengan kata-kata ‘jaga diri baik-baik’ itu apa? Apa yang Mas harapkan dari Ati? Apakah Mas siap menghadapi kekecewaanku kalau Ati salah mengerti?”

Kata-kata itu seperti cambuk bagi diriku sendiri. Selama ini aku terlalu cepat percaya pada kata-kata lembutnya, terlalu mudah tersenyum pada gurauan atau nasihatnya. Tapi kini, aku menuntut kejujuran, menuntut kepastian. Aku menatap lembaran itu lama, mencoba menenangkan rasa gelisah yang tiba-tiba membuncah di dada.

Aku sadar, selama ini Mas Azis selalu menjaga jarak. Bahasa filosofisnya, nasihatnya, semua terasa seperti tembok pelindung. Tapi bagiku, itu menimbulkan kabut: aku mulai mempertanyakan perasaanku sendiri, rindu yang kubawa setiap malam, dan harapan yang menumpuk semakin berat.

Di ujung surat, aku menyelipkan doa, dan menutupnya dengan sapaan yang tetap khas:
“Salam nano-nano, Mas Azis.”

Aku bisa membayangkan wajahnya tersenyum tipis saat membaca kata itu, mungkin mengerti campuran rasa yang ingin kuceritakan: rindu, takut, dan keinginan untuk dekat yang tak bisa kusembunyikan lagi.

Aku menaruh surat itu di bawah bantal, menatap jendela kamar yang basah oleh hujan. Suara tetesan air dari atap terdengar samar, tapi di dalam hati aku merasakan getar yang jelas: aku berada di persimpangan lagi. Aku ingin kejujuran, tapi aku takut: apakah Mas Azis siap menerima hati yang kini tak lagi polos, yang menuntut kepastian, dan yang mulai menuntut untuk dicintai?

Malam itu, aku menutup mata, membiarkan rindu bercampur gelisah, sambil berbisik pelan pada buku harian yang menemaniku:
“Cepat atau lambat, Mas Azis harus tahu… aku bukan lagi gadis kecil yang menulis surat untuk hiburan. Hatiku mulai menuntut jawaban, dan aku siap menunggu.”

 

Bagian 9

Tegal, 28 April 1995

Amplop berwarna hijau dengan stiker kecil berbentuk hati menempel di sudutnya. Begitu kubuka, harum kertas wangi itu seakan membawa kembali sosok Mas Azis dalam bayangan yang selalu hangat—walau jarak memisahkan kami, kehadirannya terasa nyata di setiap kata balasan yang ingin kutulis.

Tulisan tanganku mengalir seperti rengekan yang berulang:

“Mas Azis, maafin Ati ya… lama banget baru nulis surat lagi. Mas marah nggak? Mas kecewa nggak? Jangan dong, Mas… nanti Ati sedih banget. Mas jangan benci Ati ya…”

Setiap kalimat penuh pertanyaan yang sebenarnya aku sendiri sudah tahu jawabannya. Seolah aku sedang menguji, mencari jaminan bahwa Mas Azis tetap ada di hatiku, tak pernah berubah.

Lalu aku menulis cerita ringan: tentang ujian praktek memasak yang hasilnya menggembirakan, tentang persiapan ujian kenaikan kelas yang akan digelar tanggal 2 Juni. Lagi-lagi aku meminta doa restu, seakan restunya adalah energi yang menuntun langkahku.

Tak lupa, kusempatkan rayuan kecil:

“Mas, Ati tuh pinter masak loh sekarang… nanti kalau Mas datang, mau Ati bikinin apa? Tapi Mas jangan pelit ya… suratnya jangan cuma selembar. Ati kangen, Mas… kangen banget.”

Di sela kalimat itu muncul rasa cemburu yang kutulis dengan manja:

“Mas… Mas Azis udah lupa sama Ati ya? Atau Mas Azis udah punya pacar? Jangan bohong deh, Mas… jawab dong. Yah Mas, jangan diam aja…”

Kemudian aku menambahkan permintaan khas seorang adik yang ingin selalu diperhatikan:

“Mas, ajarin Ati lagi dong kimia… kasih soal, nanti Ati coba kerjain, terus Mas Azis koreksi ya. Ati kan pengen pinter, biar bisa bikin Mas bangga…”

Ada pula sebaris kalimat tentang panggilanku dalam cerpen yang dikirimnya, di mana aku digambarkan sebagai adik manja yang oleh anak kakak tertuaku dipanggil Bibi.

"Mas, panggilanku bukan Bibi, ya. Semua keponakanku selalu memanggilku Lik.”

Surat itu kututup dengan coretan yang penuh rayuan:

“Pokoknya, Mas harus janji… jangan pernah lupain Ati. Nanti Ati nangis loh. Hehe…Ati sayang banget sama Mas Azis.”

Membacanya, aku hanya bisa tersenyum getir. Begitulah aku: dua minggu lalu menuntut kejujuran dengan ultimatum keras, kini kembali dengan suara renyah gadis yang takut kehilangan. Seperti ombak yang datang dan pergi, begitu pula hatiku—keras, lalu melunak.

Namun satu hal tak berubah: kerinduanku pada Mas Azis selalu nyata, dan entah bagaimana, hatiku pun selalu luluh.

 

Bagian 10

Tegal, 28 Desember 1995

Kurang lebih tiga bulan lamanya, aku dan Mas Azis tidak saling berkabar, sejak Mas Azis kembali ke Depok setelah libur semester. Waktu itu, jarak bukan sekadar soal tempat, melainkan juga hati yang mulai diuji oleh perubahan suasana. Surat-surat yang dulu datang beruntun kini terasa jarang. Jika dulu hampir tiap minggu aku bisa tersenyum menulis padanya, kini hanya ada sepi yang menekan dada.

Dan akhirnya, di suatu sore, sebuah ide muncul, dan aku menulis lagi, mencoba menyampaikan semua yang tertahan. Amplop itu kuberi warna baru, agar Mas Azis tahu ada sesuatu yang berbeda. Dari baris-baris awal, aku menumpahkan keresahan yang tak biasa, gelombang emosi yang selama ini kubendung: rindu, kecewa, takut, sekaligus berharap.

“Kurang lebih tiga bulan kita enggak saling kabar, Mas Azis… Ati kangen always… Cepat balas yah, jangan lebih dari tiga hari.”

Kutulis kalimat itu berulang kali dalam hati sebelum menaruhnya di amplop. Ada desakan, ada tuntutan, tapi terutama ada kerinduan yang menekan, sampai aku merasa perlu memberi tenggat waktu. Aku takut Mas Azis pergi jauh dari hatiku tanpa aku sadar.

Di surat itu, aku menumpahkan perasaan bersalah: takut dianggap cerewet, takut menyakiti hati, takut ia sudah berubah. Tetapi di sisi lain, aku tak bisa menahan cemburu kecil, bahkan sempat menyinggung soal “pacar Mas Azis”. Kutulis dengan hati-hati, agar nada itu tetap lugu, tapi tetap terdengar:

“Walaupun Mas Azis sudah punya kekasih, jangan lupakan Ati…”

Kalimat itu sederhana, tapi jelas tersimpan kecemasan mendalam. Aku ingin menegaskan posisiku—bahwa aku ingin tetap istimewa di hatinya, meski dunia kami terus berubah.

Aku menatap amplop itu lama sebelum menutupnya. Di satu sisi, aku merasa bersalah karena mungkin terlalu larut dengan urusan sekolah, organisasi, dan kegiatan lain, sehingga lalai menulis lebih sering. Di sisi lain, aku terharu—ternyata kerinduanku pada Mas Azis begitu besar, meski harus kubungkus dalam kata “adik”.

Surat itu menjadi penanda: hubungan kami bukan lagi sekadar surat-surat manis penuh canda atau pantun. Ada badai kecil di dalamnya—cemburu, keraguan, bahkan ancaman diam-diam untuk mundur. Namun justru dari sanalah aku sadar, benih rasa yang kutumbuhkan tidak rapuh. Ia bertahan meski dihantam jarak, waktu, dan emosi yang meletup-letup.

Seperti akar pohon yang makin kuat menghujam tanah saat hujan deras, begitu pula hatiku. Meski terkadang terasa dingin, deras, dan menyulitkan, justru dari situlah rasa ini menemukan kekokohannya.

Aku menaruh pena, menatap amplop yang siap dikirim. Dalam hati, aku berbisik: suatu hari nanti, aku harus menegaskan—bahwa untukku, Mas Azis bukan sekadar kakak pena. Ia adalah bagian dari diriku sendiri, dan aku tak ingin kehilangan kehangatan itu.

 

Bagian 11

Tegal, 1 April 1996

Amplop itu tipis, tulisanku sendiri terasa terburu-buru, tapi aku tahu setiap goresan pena ini menampung gelombang perasaanku sendiri—antara rindu, cemas, dan sedikit takut. Begitu kubuka, baris-baris pertama terasa menohok hatiku:

“Perlu Mas Azis ketahui, surat Mas datangnya terlambat. Ati tunggu-tunggu, sampai akhirnya bosan juga nunggu. Jangan kaya gitu lagi ya, Mas. Kalau bisa, cepat dibales… jangan lebih dari tiga hari.”

Aku tersenyum getir. Aku sedang manja—antara rindu, resah, dan sedikit ngambek. Tapi dari nada itu aku sadar: aku hanya takut Mas Azis melupakanku, takut hubunganku dengannya memudar karena jarak dan kesibukan.

Lalu aku menulis dengan nada serius, tapi tetap bercampur jenaka:

“Mungkin Mas Azis benci sama Ati… Insya Allah tidak akan Ati ulangi lagi. Belah dadaku deh, biar Mas Azis tahu, Ati enggak pernah main-main. Semua ini asli dari hati Ati. Kaya kue aza enak… tapi ini serius, Mas.”

Aku bisa membayangkan bagaimana aku menulis itu, antara malu, ingin meyakinkan, tapi tak kuasa menahan gaya bahasaku yang polos dan lugu.

Ada satu kalimat yang paling menancap:

“Kenapa sih Mas Azis mau menganggap Ati sebagai adik Mas?”

Aku terhenti lama saat menulis bagian itu. Di balik kata-kata yang tampak polos, aku sadar sebenarnya sedang menantangnya—menguji apakah ia akan tetap bersembunyi di balik peran “kakak” dengan jawaban filosofisnya yang biasa, ataukah kali ini berani jujur bahwa hatinya menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar kasih seorang kakak.

Surat itu kututup dengan pengakuan sederhana, tapi jujur dan menggetarkan:

“Insya Allah Ati akan menuruti nasehat Mas Azis… Ati sayang sama Mas Azis, kangen asli dari hati.”

Aku menatap tinta di kertas itu lama sekali. Inilah titik transisi hubungan kami: dari sekadar surat manja kakak–adik yang penuh canda, menuju ungkapan rasa yang belum berani kubuka sepenuhnya. Aku bersembunyi di balik kata “adik”, tapi sesungguhnya aku sedang menunggu jawaban dari hatinya—apakah Mas Azis masih menganggapku istimewa, ataukah perlahan menjauh.

Dan aku sadar, mulai saat itu, aku tak bisa lagi berpura-pura. Rasa yang selama ini kubendung pun mendesak, menuntut untuk diakui.

 

Bagian 12

Tegal, 14 September 1996

Kalau beberapa bulan lalu aku masih menulis dengan nada polos, manja, penuh protes ringan dan rindu yang gampang meledak, sekarang aku menuliskan sesuatu yang lebih dewasa, lebih reflektif.

Nada manja tetap ada—“Mas koq nuduh Ati cuek…”—tapi kali ini aku juga mulai menyinggung hal-hal yang lebih serius. Misalnya, bagaimana orang lain memandang hubungan kami. Dari setiap goresan pena, aku ingin menyampaikan satu hal: aku tidak ingin hanya dianggap “adik biasa”. Tapi di sisi lain, aku tetap menjaga peran itu, karena sadar batas antara aku dan Mas Azis harus tetap ada, meski hati berkata lain.

Aku menulis tentang keseharianku—Study Tour, PSG, sampai rasa takut harus tinggal hanya berdua dengan Aam, sepupuku. Semua itu kutulis seolah cerita biasa, tapi bagi hati kecilku, itu adalah kode. Aku ingin Mas Azis tahu bahwa aku butuh sosok pelindung, dan di hatiku, sosok itu hanya dia.

Masih ada keluhan tentang kecepatan balas suratnya. Hal kecil yang bagi orang lain mungkin sepele, bagi aku adalah sesuatu yang besar. Surat-surat itulah urat nadi hubungan kami. Lewat surat, aku bisa memastikan perasaanku tak bertepuk sebelah tangan. Lewat surat, aku bisa menutup jarak yang memisahkan kami.

Di sela-sela itu, aku tetap menanamkan keseimbangan emosi: ada tersinggung, ada bangga, ada rindu, ada candaan. Aku berusaha menunjukkan perhatian dan kasih sayang, tapi tetap dalam lingkar “adik” yang aman. Meski begitu, dari pilihan kata-kata yang lebih halus—“Terima kasih Mas telah memilihku sebagai sumber inspirasi. Apakah Mas tidak salah memilih Ati sebagai sumber ispirasi?”—aku tahu aku sedang memberi petunjuk: aku ingin diakui lebih dari sekadar adik, meski belum berani mengatakannya langsung.

Malam itu, setelah menutup surat yang sudah kupenuhi campuran perasaan ini, aku menatap tinta biru yang mengering. Ada rasa berat dan ringan bersamaan: berat karena aku menunggu balasan yang bisa mengubah segalanya, ringan karena setidaknya, aku telah menaruh hatiku di atas kertas, meski tersembunyi di balik kata-kata polos dan manja.

 

Bagian 13

Tegal, 14 Oktober 1996

Surat itu terbang dengan bunyi ketikan yang khas. Tidak lagi huruf-huruf goyah dari tulisan tanganku, melainkan deretan huruf rapi dari mesin tik manual. Aku menegaskan di akhir kalimat: “Ini benar-benar ketikan Ati, Mas. Jangan diketawain ya…” Kalimat itu sederhana, tapi bagiku menyimpan makna besar: aku sedang menunjukkan diriku yang mulai tumbuh, belajar mandiri, dan ingin diakui.

Aku tersenyum sendiri membayangkan Mas Azis membaca suratku. Bayangan aku duduk di meja, mengetik dengan penuh keseriusan, melintas di pikirannya. Jari-jari yang masih kaku, sering salah menekan tombol, justru membuat ketulusanku terasa lebih nyata. Aku tak sekadar menulis surat, aku menghadiahkan bagian dari proses tumbuhku untuknya.

Ada rasa syukur di setiap baris. Aku bahagia Mas Azis masih mengingat ulang tahunku, bahkan sempat memberiku hadiah. Bagiku itu seperti harta karun. Tapi di balik itu, aku merasa punya “hutang budi emosional.” Seolah segala perhatian kecilnya harus kubalas dengan sesuatu yang besar. Padahal, aku tahu—senyum Mas Azis saja sudah cukup menjadi hadiah terbaik bagiku.

Aku menuliskan juga tentang masa depan: PSG di Hotel Pemalang. Aku akan kos, belajar hidup jauh dari rumah. Dalam kalimat-kalimatku, tercampur rasa percaya diri dan kegugupan. “Doakan Ati ya Mas supaya kerasan…” Kalimat itu seakan membuatku ingin ia segera membalas, memberi rasa aman dan dukungan: “Kamu pasti bisa, Ati. Aku percaya.”

Dan yang paling membuatku tertegun adalah ketika menuliskan sebuah permintaan—atau mungkin lebih tepatnya harapan—yang sejak awal kusadari sulit terwujud. Karena Mas Azis sedang sibuk kuliah di Depok. Namun tetap saja kutulis, “Mas Azis, alangkah bahagianya Ati jika saat PSG nanti Mas sempat menjengukku di Pemalang.”

Dan di penutup surat, aku menyelipkan gurauan kecil: “Sudah sore belum papung… nanti baunya sampai ke Depok.” Lugu, jenaka, khas diriku—seperti sengaja untuk membuatnya tersenyum di sela kerinduan.

 

Bagian 14

Tegal, 3 November 1996

Surat itu siap aku tulis—bukan dari tinta atau kertas, melainkan dari getar jiwaku sendiri, seorang gadis yang sedang tumbuh, menaruh segala harap dan resah pada satu orang: Mas Azis.

Kalimat pembuka membuatku tersenyum getir sekaligus tertegun:
“Lam manis selalu buat Mas Azis seorang.”
Bukan sekadar sapaan. Itu penegasan. Ada kata “seorang” di sana, seolah aku ingin mengikatnya dalam lingkar yang tak berbagi dengan siapa pun.

Aku menulis setiap baris perlahan. Ada rasa kangen, ada keinginan kuat untuk tetap dekat, bahkan ada pengakuan kecil yang membuatku sadar betapa besar perjuangan batinku. Aku menulis bagaimana surat Mas Azis sempat direbut bapakku. Bayanganku membayangkan wajahku saat itu—panik, cemas, tapi juga gigih berusaha mendapatkannya kembali. Bagi orang lain mungkin hanya selembar kertas, tapi bagiku itu adalah nadi, bukti bahwa ia hadir dalam hidupku.

Lalu, ada kalimat yang membuatku menahan napas lama:
“Mas Azis, salahkah Ati bila saling surat-menyurat dengan Mas Azis…?”

Pertanyaan sederhana, tapi sesungguhnya berat. Aku tidak sedang bertanya soal surat. Aku sedang mempertanyakan takdir—apakah benar salahnya ikatan yang tumbuh di antara kami. Di satu sisi, aku ingin segera menenangkan hatiku sendiri: tidak, ini tidak salah, selama niat kami tulus. Tapi di sisi lain, aku sadar dunia luar bisa menilai berbeda. Norma, orang tua, masyarakat desa—semuanya bisa menjadi penghalang.

Di tengah keraguanku, aku menulis dengan jujur:
“Semakin sayang aza Mas Azis pada Ati.”
Kalimat itu polos, bahkan lucu dengan ejaan khas remaja. Tapi di situlah kejujuran hatiku terlihat jelas. Aku tidak bisa menyembunyikan apa yang tumbuh di dalam diri.

Aku menutup surat itu dengan dada berdebar. Bahagia, haru, cemas—semua bercampur. Sampai kapan hubungan ini bisa tetap berjalan di jalur rahasia? Sampai kapan aku bisa menyebut semua ini hanya sebatas “adik-kakak”.

Sore itu, aku hanya bisa memeluk kertas itu erat-erat. Surat itu menjadi rahasia kami berdua. Rahasia yang indah, tapi juga rawan pecah.

 

Bagian 15

Pemalang, 27 November 1996

Malam itu kamar kosku begitu sunyi. Aku sedang melaksanakan PSG di Hotel Pemalang. Hanya suara kipas tua yang berdecit pelan menemani kesendirianku. Di meja kecil  tergeletak amplop berwarna coklat muda. Tulisan tanganku sendiri membuat dadaku berdebar: surat untuk Mas Azis yang belum sempat kukirimkan dari kosku di Pemalang.

Perlahan kubuka kembali dan mulai kubaca ulang sebelum aku kirimkan, baris demi baris seakan menyalurkan rindu dan keresahan yang menumpuk:

“Mas Azis, di kamar kos yang sempit ini Ati sering merasa tidak betah. Makanannya tidak enak, suasananya lain. Kadang bingung mau makan apa. Semua terasa hambar tanpa kehangatan rumah.”

Aku berhenti sejenak, menghela napas. Betapa rindu dan takut kehilangan itu bercampur dalam hatiku.

“Mas Azis, Ati sebenarnya ingin bercerita banyak. Ada masalah yang cukup berat, tapi tangan ini tidak sanggup menuliskannya. Ati ingin menyimpannya sampai Mas Azis pulang, supaya bisa Ati ceritakan langsung. Tapi tolong ya Mas, kalau nanti Ati bercerita, itu jadi rahasia kita berdua.”

Mataku menatap kertas itu lama. Aku membaca dengan hati-hati, setiap kata mengalir dari perasaan yang tulus, sekaligus takut salah tafsir.

“Entah kenapa, belakangan ini Ati merasa Mas Azis tidak memperhatikan Ati seperti dulu. Padahal Ati masih memperhatikan Mas Azis… masih menunggu tulisan Mas Azis dengan perasaan seperti dulu. Kadang hati Ati cemas, jangan-jangan Ati sudah tidak lagi penting di mata Mas Azis. Supaya Mas Azis tahu, di tengah rasa sepi ini Ati berusaha tetap menjaga diri. Setiap malam Ati ikut salat berjamaah bersama teman-teman. Ati ingin Mas Azis percaya bahwa meski jauh dari rumah, Ati tidak melupakan kewajiban. Tapi tetap saja, doa Ati selalu ada satu: semoga Mas Azis tetap mengingat Ati.”

Aku membaca sambil menahan napas panjang. Rasa rindu dan bersalah bercampur, karena aku sadar terlalu banyak waktu terbuang, tanpa menuliskan kata yang seharusnya membuat Mas Azis tahu betapa pentingnya ia bagiku.

“Mas Azis… Ati kangen sekali dengan cerpen-cerpen Mas Azis. Tolong kirimkan lagi ya. Rasanya kalau membaca tulisan Mas Azis, Ati bisa merasakan kehadiran Mas Azis di samping Ati." 

Aku menutup surat itu perlahan, menahan tangan yang gemetar. Surat ini bukan sekadar kata-kata—ini jeritan hati seorang gadis yang rindu, yang takut kehilangan, dan yang ingin Mas Azis merasakan kedekatan kami meski terpisah jarak.

Aku menatap lampu redup di atas kepala, dan dalam sunyi malam Pemalang, aku berbisik pada buku harianku:
“Mas Azis… semoga surat ini bisa membuat Mas memahami isi hatiku. Ini bukan sekadar surat, tapi panggilan rindu yang tulus dari hati kecilku.”

 

Bagian 16

Tegal, 3 Maret 1997

Aku menatap amplop lusuh dengan tangan bergetar. Begitu kubuka, kata-kataku sendiri tertulis, tapi seolah menampar hatiku ketika kubaca ulang, karena kusadari rasa sakit yang ditimbulkan oleh Mas Azis.

“Mas… Ati merasa hati ini dalam terluka. Ati sakit, Mas. Bukan hanya hatiku yang sakit, tapi rasa sakit ini lebih dari sekadar luka kecil.”

Nada marah yang kuberi pada surat ini terasa jelas. Ini bukan lagi surat manja, bukan pula curahan rindu polos—ini luapan luka. Aku menulis sambil meneteskan sedikit emosi, ingin Mas Azis merasakan seberapa dalam perasaanku ketika ia bilang bahwa aku hanya peduli dia saat aku butuh bantuan.

“Ati ini manusia yang punya perasaan sayang, cinta, rindu, kangen… bukan boneka, bukan hiburan, bukan objek permainan. Jangan pernah menganggap sepele perasaan Ati!”

Aku ulangi kata-kata itu, menegaskan pertahananku. Aku ingin Mas Azis memahami: rasa sakit ini muncul bukan karena aku ingin menuntut atau mempersulit, tapi karena kata-katanya membuat hati ini goyah. Ada amarah, tapi juga kepedulian yang terselip—Aku masih peduli, tetap ingin diakui.

“Mas, hak Mas mungkin besar… tapi hak Mas bukan berarti bisa menyakiti adik yang mempercayai Mas sepenuh hati. Hak Mas bukan berarti boleh memutuskan hubungan kita begitu saja. Jangan kira hati Ati ini main-main!”

Saat aku menulisnya sambil menahan napas, membayangkan bagaimana ia membaca kata-kataku, merasakan beratnya luapan hati ini. Lima tahun hubungan kami—mulai dari surat-suratan polos 1993, manja, kerinduan, hingga kini—terasa rapuh karena salah paham dan kata-kata yang tak tersampaikan. Tapi aku tahu: Mas Azis tetap peduli. 

Aku menutup surat itu perlahan, menatap kertas di tangan, dan menambahkan: aku ingin hubungan ini tetap terjaga. Luka ini adalah panggilan untuk diperhatikan, diakui, dan dipahami. Aku ingin Mas Azis tahu bahwa meski aku marah, aku tetap merindukannya—dan tidak ingin hubungan kami renggang.

Malam itu, kamarku sunyi. Hanya aku, amplopku sendiri, dan bayangan panjang kata-kata yang bergema. Aku tahu: jika aku tidak menulis dengan hati-hati, kesalahpahaman ini bisa merenggangkan ikatan yang sudah lama kami rajut. Aku menegaskan dalam surat itu, meski marah, aku tidak akan melepaskan Mas Azis. Ia tetap menjadi sosok yang amat berarti dalam hidupku.

 

Bagian 17

Tegal, 23 Maret 1997

Balasan surat Mas Azis akhirnya kuterima. Di dalamnya, Mas Azis meminta maaf atas perkataannya, dan aku bisa merasakan ketulusan dari setiap kata yang ia tulis. Ia juga menegaskan bahwa ia tidak akan pernah memutuskan hubungan kakak-adik ini. Aku memang bahagia mendengarnya, tetapi hatiku masih menyimpan luka. Karena itu, dengan jujur aku memohon agar ia tidak lagi mengucapkan perkataan seperti itu di kemudian hari.

Aku menatap kertas kosong di meja belajar, tangan bergetar saat menulis. Kata-kata yang kutulis sendiri menampar hati:

“Surat ini Ati buat khusus untuk seseorang yang telah membuat hati ini sempat terluka.”

Kalimat itu keluar dari hatiku sendiri, campuran antara sakit dan niat berdamai. Aku menulis dengan hati-hati, ingin menyampaikan luka yang kurasakan sekaligus memberi kesempatan lagi.

“Hati ini begitu sakit, karena kata-kata Mas Azis itu begitu terlalu…”

Aku tahu kata-kata itu jelas menggambarkan kekecewaan yang kurasakan. Tapi di sela rasa marah dan sedih, aku mencoba memberi ruang untuk memaafkan, meski bersyarat:

“Kalau Ati sudah tidak menghargai Mas Azis waktu peristiwa itu terjadi, Ati tidak akan lagi mau bicara…”

Di balik kata-kata itu, aku ingin Mas Azis tahu betapa pentingnya posisinya bagiku. Kekecewaan itu ada, tapi karena kedekatan kami, aku menuntut pengakuan dan perhatian. Aku menambahkan ancaman halus:

“Ati nggak mau dikecewakan dan nggak mau mengecewakan lagi.”

Aku menulis ini bukan untuk menakut-nakuti, tapi agar Mas Azis mengerti: hubungan kami bisa retak jika kesalahan lama terulang. Aku menuntut bukti nyata, bahwa hati kami tetap dijaga.

Namun di akhir surat, aku menutup dengan pengakuan lembut:

“Insya Allah Ati akan tetap menjadi adik Mas Azis yang terbaik…”

Meski marah, kecewa, dan terluka, aku tetap memilih memaafkan. Aku ingin mempertahankan ikatan yang telah kami rajut bertahun-tahun. Surat ini bagiku adalah penutup bab lama—sebelum aku pindah ke Jakarta, sebelum fase hidup baru dimulai.

Aku menatap amplop itu lama-lama. Di tengah kesunyian kamar, aku merasakan satu hal: rasa dan kedekatan kami bukan sekadar manja dan rindu, tapi pengertian, kesetiaan, dan keberanian untuk tetap memaafkan.

 

Bagian 18

Jakarta,  5 Juli 1998

Sudah hampir satu tahun aku berada di Jakarta. Bulan Agustus tahun lalu aku resmi menjadi mahasiswi di Akademi Pariwisata di Jakarta. Kesibukan bertambah: kuliah, tugas, praktik di hotel, dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Mas Azis tetap menjadi penopang, hampir tiap minggu aku menemuinya untuk meminta bimbingan atau sekadar curhat soal kuliah dan tugas.

Namun di titik ini, aku mulai menyadari ada perubahan dalam hatiku sendiri. Dulu aku selalu resah mencari jawaban dari kata-kata Mas Azis, ingin memastikan tempatku di hatinya. Tapi kini, ketika ia hadir lebih dekat, aku justru menemukan kenyamanan dalam peran yang selama ini kupertanyakan: sebagai adik. Kehangatan perhatian dan kasih sayangnya sudah cukup membuatku tenang.

Aku merenung dan membayangkan, seandainya hubungan ini diberi label cinta, apakah aku siap? Apakah aku sanggup membalas sepenuhnya kehangatan cinta itu untuk Mas Azis? Entahlah. Aku takut. Aku belum siap. Dan untuk sementara, biarlah aku tetap di sisinya sebagai “adik” yang ia sayangi.

Dan ternyata, ketakutanku benar-benar menjadi nyata.
Mas Azis menggeser batas di antara kami, dari sekadar kasih sayang kakak-adik menjadi sebuah pengakuan cinta yang sesungguhnya—sementara aku belum siap menerimanya. Aku mengangguk, bukan karena hatiku sudah teguh, melainkan karena bayangan kehilangan dirinya jauh lebih menakutkan daripada risiko melangkah ke dunia yang belum kupahami. Bagiku, yang terpenting hanyalah tetap berada dalam lingkar perhatiannya, tetap merasakan kasihnya yang hangat dan aman, meski harus menanggung resiko cinta yang mungkin kelak melukai kami berdua.

Malam itu aku tak bisa tidur. Kata-kata Mas Azis berulang-ulang terngiang di kepalaku, menyusup ke dada dan mengusik seluruh tenangku. “Aku ingin kau lebih dari sekadar adik…”

Jantungku berdegup seolah hendak pecah. Selama ini aku hanya menebak-nebak, menggantungkan harapan pada tanda-tanda samar, tapi kini ia sendiri yang mengucapkannya. Aku seharusnya bahagia, seharusnya merasa diakui, tapi entah mengapa yang kurasakan justru sebaliknya: takut.

Takut kalau aku tak sanggup membalas dengan cinta yang sama hangatnya. Takut kalau semua ini hanyalah permainan perasaan sesaat. Takut kalau aku melangkah, lalu menyesal dan kehilangan dia untuk selamanya.

Dalam hati aku membatin:

“Mas, kalau benar aku bukan lagi sekadar adik di matamu… apa aku siap menjadi kekasihmu? Aku ingin, tapi aku belum mampu. Aku takut, Mas. Aku takut kehilanganmu kalau aku salah memilih.”

Air mataku menetes. Rasanya seakan aku berdiri di persimpangan jalan: satu jalur menjanjikan keindahan cinta, satu jalur mempertahankan kenyamanan sebagai adik. Dan aku tahu, jalan mana pun yang kupilih, aku akan kehilangan sesuatu.

Hari-hari setelah pengakuan itu menjadi masa yang paling berat dalam hidupku. Seolah Mas Azis mulai menuntut lebih: ingin sering bertemu, ingin aku hadir sebagai seorang kekasih sungguhan. Sedangkan aku… masih bersembunyi di balik alasan kuliah, praktik, bahkan sakit. Semua itu bukan dusta, tapi juga bukan sepenuhnya jujur.

Puncaknya adalah peristiwa di Bogor. Tatapannya yang kecewa, saat aku diam di hadapannya, menembus jauh ke dalam hati. Ia menunggu senyum, salam, atau sekadar sapaan hangat dariku—namun aku justru membeku. Dalam sekejap, aku seolah melihat cermin: seorang gadis yang masih terikat dalam peran “adik”, bukan kekasih.

Malam itu, dengan hati yang kalut, aku menulis surat panjang. Isinya penuh penjelasan, pembelaan, dan rasa bersalah. Namun di ujungnya, terselip kalimat putus asa yang menusuk bahkan bagi diriku sendiri: Bahwa mungkin ini adalah akhir dari hubungan kami yang telah kami rajut bertahun-tahun.

"Ini mungkin akhir dari segala-galanya. Tapi meski Mas marah, jangan berubah sikap terhadap keluargaku."

Setelah menuliskan surat buat Mas Azis aku mengambil buku harianku dan meluapkan perasaanku di sana. Aku menulis dengan tangan gemetar.

Surat yang baru saja kulipat itu seperti pedang bermata dua: aku menulis untuk bertahan, tapi justru terasa seperti bunuh diri perlahan. Kata-kata itu bukan sekadar penjelasan, melainkan benteng yang kubangun terburu-buru, agar Mas Azis tidak semakin jauh menuduh. Tapi setelahnya, justru aku sendiri terkurung di balik dinding itu.

Mengapa aku selalu merasa bersalah?
Mengapa di hadapanmu, aku menjadi begitu kecil, begitu takut kehilangan?
Padahal aku ingin kuat, ingin tegar, ingin menjadi gadis dewasa yang bisa berdiri sejajar di sampingmu. Tapi nyatanya, setiap kali kau bicara dengan nada kecewa, aku runtuh.

Mas…
Aku tahu, kau mendambakan balasan cinta yang sepadan dengan cintamu. Kau ingin aku berani melangkah keluar dari bayang-bayang sebutan adik—sebutan yang dulu justru aku sendiri yang berharap agar berganti menjadi sebutan kekasih. Namun kini, ketika saatnya tiba untuk sungguh-sungguh meninggalkannya, aku justru tak sanggup. Ada dinding tak kasatmata yang selalu mengguncangku setiap kali kucoba menembusnya. Dan di balik gemetar itu, bersemayam satu ketakutan: bila sebutan adik itu lenyap, aku takut kehilanganmu untuk selamanya. Aku takut, Mas… bila kelak cinta ini terhempas badai, aku akan kehilanganmu dua kali—sebagai kekasih, sekaligus sebagai kakak yang selalu kusimpan dalam pelukan hatiku.

Kau mungkin tak pernah tahu, betapa aku sering menangis diam-diam setelah kau mengatakan "Aku ingin kau lebih dari sekadar adik…”. Senyummu seolah meminta sesuatu yang belum bisa kuberi. Tatapanmu seakan bertanya, “Kapan kau benar-benar datang padaku sebagai seorang kekasih sungguhan?” Dan aku hanya mampu berpaling, berpura-pura sibuk, berpura-pura masih anak kecil yang manja.

Aku tahu aku menyakitimu.
Tapi tidakkah kau lihat, aku pun terluka oleh diriku sendiri?

Malam ini, setelah menulis kalimat itu—tentang akhir dari segala-galanya—dadaku seperti diremukkan. Aku menulisnya bukan karena ingin berpisah, tapi karena aku tidak tahu cara lain untuk meredakan kemarahanmu. Itu semacam pengorbanan bodoh: aku melemparkan ancaman kehilangan, hanya agar kau kembali menoleh.

Kalau saja kau bisa membaca isi hatiku lebih dalam daripada surat itu, kau akan tahu: aku masih ingin kau ada. Aku masih ingin setiap minggu menunggu langkahmu, masih ingin mendengar suaramu memanggilku dengan nada sayang, masih ingin menjadi pusat perhatianmu. Hanya saja… aku belum mampu memberi lebih.

Apakah aku egois, Mas?
Mungkin.
Tapi sejujurnya, aku hanya seorang gadis yang bingung: ingin menjadi kekasihmu, tapi takut kehilanganmu begitu sebutan “adik” itu terhapus.

Aku menutup diari ini dengan doa yang lirih:
Semoga kau tidak membenciku setelah membaca surat itu.
Semoga kau tetap menemuiku, meski hanya sebagai “adik”.
Dan semoga, suatu hari nanti, aku berani menghadapi cintamu dengan utuh.

 

Bagian 19

Jakarta, 14 Juli 1998

Malam ini aku membuka surat dari Mas Azis dengan hati berdebar, cemas kalau-kalau isinya benar-benar menjadi akhir dari segalanya. Namun begitu mataku tertumbuk pada salam awalnya, kegelisahan itu sedikit mereda.

“Ati, adikku tersayang…”

Hanya dengan membaca sapaan itu, mataku langsung basah. Aku hampir tak kuasa menahan air mata. Lalu dengan gemetar aku terus melanjutkan membaca baris-baris berikutnya dari surat Mas Azis.

"Sejak dulu, Mas selalu menyimpan pertanyaan Dik Ati dalam hati: siapa sebenarnya Mas bagi Dik Ati?

Bagi Mas, itu bukan sekadar tanya, melainkan isyarat—bahwa Dik Ati menginginkan sesuatu yang lebih dari sekadar adik. Dari situlah keberanian Mas tumbuh, perlahan tapi pasti, hingga akhirnya Mas memberanikan diri mengubah hubungan kita menjadi cinta.

Mas sungguh percaya, saat itu waktunya sudah tiba.
Namun ternyata Mas keliru. Dik Ati justru telah menemukan kenyamanannya sebagai adik—yang cukup dengan diperhatikan dan disayangi, tanpa harus menanggung beban cinta yang Mas tawarkan

Malam-malam terakhir ini Mas banyak merenung. Setelah membaca suratmu, Mas merasa seperti ditampar oleh kenyataan yang selama ini tidak ingin kuakui: Mas terlalu tergesa-gesa. Mas terburu-buru mengubah sebutan kita dari kakak-adik menjadi kekasih, seakan cinta bisa lahir hanya dengan sebuah kata pengganti. Padahal, cinta sejati butuh waktu, butuh kesiapan, dan butuh hati yang benar-benar rela.

Dik Ati, Mas salah.
Mas meminta maaf.
Mas menuntut sesuatu yang belum sanggup Dik Ati berikan. Mas memaksakan jalan untuk masuk ke hatimu tanpa sempat menunggu pintu itu terbuka sendiri.

Hari ini, dengan sepenuh hati, Mas ingin mengembalikan hubungan kita ke asalnya. Mas ingin kembali menjadi kakakmu. Kakak yang dulu selalu kau cari untuk bercerita,  untuk meminta bimbingan, untuk sekadar merasa aman. Mas tak ingin kehilangan itu hanya karena Mas terlalu cepat mengucapkan kata “cinta.”

Jangan pernah merasa bersalah, Dik Ati. Kalau kau masih mau menerimaku sebagai kakakmu, itu sudah lebih dari cukup bagiku. Rasanya seperti menemukan kembali permata yang sempat hilang dari genggaman: berkilau, berharga, dan tak tergantikan.

Mas janji, Mas akan tetap hangat seperti dulu. Mas akan tetap mendengar ceritamu, tetap membimbingmu, tetap menyayangimu dengan tulus. Kalau suatu hari nanti kau siap melangkah lebih jauh, Mas akan menunggumu dengan sabar. Tapi kalau tidak pun, biarlah Mas tetap bahagia dengan peran ini: kakakmu, tempatmu bersandar."

Aku pun segera membalas suratnya. Kubuka dengan salam yang dulu sering kutulis, seolah ingin mengulang jejak awal kami:

“Lam… rindu selalu untuk Mas Azis Seorang.”

Lalu, di baris berikutnya, kutorehkan kalimat yang pernah kubuka di surat pertama, sederhana namun penuh getar rindu:

“Dik Ati kangen.”

Itulah caraku meluapkan bahagia—bahagia karena Mas Azis masih menerimaku sebagai adik, tempatku kembali tanpa rasa takut kehilangan. Dari sana, tulisan tanganku mengalir begitu saja, seakan setiap huruf lahir dari denyut lega di dadaku.

"Surat Mas kubaca dengan air mata bahagia. Ati tak tahu harus berkata apa selain rasa lega yang memenuhi dada ini. Seakan beban berat yang selama ini menindih perlahan terangkat. Mas… Ati sungguh bersyukur karena Mas masih ingin menerimaku kembali sebagai adikmu.

Ati akan menjadi adikmu yang manja lagi. Ati ingin bisa tertawa bebas di hadapan Mas, tanpa rasa takut dituntut menjadi sesuatu yang belum sanggup Ati jalani. Ati ingin kembali menemukan kehangatan Mas, seperti dulu: kakak yang selalu ada, yang menuntun Ati, yang menenangkan resahku dengan kata-kata sederhana.

Tapi izinkan Ati berkata jujur, Mas. Dulu, memang benar… pertanyaan Ati tentang siapa sebenarnya Mas bagi Ati bukanlah sekadar tanya. Itu adalah isyarat—bahwa Ati menginginkan Mas lebih dari sekadar seorang kakak. Namun, setelah Mas hadir begitu dekat dengan perhatian dan sayang yang penuh, hati Ati justru berubah. Ati merasa nyaman sebagai adik, nyaman berada dalam dekapan hangat itu, tapi sekaligus takut… takut kalau Ati tak mampu memberikan cinta seperti yang Mas harapkan.

Ati memang belum siap hari ini, tapi jauh di dalam hati, Ati tahu, suatu saat nanti Ati akan siap. Ati ingin, bila hari itu tiba, seluruh cinta Ati hanya akan Ati serahkan pada Mas seorang.

Sampai saat itu datang, tetaplah di sisiku seperti yang selalu Mas lakukan. Bimbing Ati, sayangi Ati, biarkan Ati tumbuh dalam hangatnya kasih seorang kakak. Dan percayalah, ketika waktunya tiba, Ati akan datang padamu bukan hanya sebagai adik, melainkan sebagai seorang kekasih yang utuh.

Terima kasih, Mas, karena Mas tidak melepaskanku. Terima kasih karena Mas memilih tetap bertahan, meski arah kita sempat goyah."

Kuambil kembali buku harianku dan kutumpahkan kebahagiaan ini di sana.

Malam ini aku memejamkan mata setelah menorehkan kata terakhir di suratku. Ada rasa hangat yang mengalir perlahan di dadaku, seperti embun yang jatuh di padang kering. Aku lega, seolah terlepas dari jerat yang selama ini membelenggu.

Aku tidak kehilangan Mas Azis.
Aku masih punya dia—kakak yang selalu kucari, tempatku bersandar, pelabuhan segala resahku.

Betapa aku takut sebelumnya. Takut kehilangan dua peran sekaligus: kekasih yang belum sempat benar-benar kupeluk, dan kakak yang sejak dulu menjadi sandaran batinku. Tapi malam ini, aku merasa aman. Mas Azis memilih bertahan. Ia memilih tetap ada di sisiku, meski hanya sebagai kakak.

Di dalam hatiku, aku tersenyum. Aku tahu aku masih belum siap. Cinta bagiku belum sekuat yang ia dambakan. Tapi diam-diam, di lapisan terdalam jiwaku, aku yakin: akan ada waktunya aku berjalan kepadanya dengan hati yang utuh.

Aku ingin hari itu datang bukan karena tuntutan, bukan karena paksaan, melainkan karena kerelaan. Karena aku sendiri yang memilih. Karena aku sadar, bahwa di setiap hela nafasku, aku tak bisa benar-benar jauh darinya.

Untuk saat ini, biarlah aku tetap menjadi adiknya. Biarlah aku kembali manja, kembali bebas tertawa, kembali bercerita tanpa beban. Dan ketika aku siap, aku akan menggenggam tangannya bukan lagi sebagai adik—melainkan sebagai seorang kekasih yang tak ragu lagi.

Malam ini aku bisa tidur dengan tenang.
Karena aku tahu, Mas Azis tidak pergi. Ia tetap di sini, bersamaku.

Aku menutup buku harianku dengan kalimat “Dik Ati kangen…Mas”

Malam ini aku lekas terlelap, setelah hatiku terasa lega usai membaca surat dari Mas Azis. Dalam lelap yang tenang itu, aku seakan-akan duduk bersebelahan dengannya di sebuah bangku kayu yang sederhana.

Mas Azis menoleh pelan, suaranya nyaris seperti bisikan,
“Aku melihat sebuah mimpi… mimpi tentang rumah, di sebuah kota penuh bunga. Ada jalan kecil yang harum, dan di sana… kita berjalan beriringan. Kau tersenyum, aku pun tertawa. Indah sekali suasananya.”

Aku menoleh padanya. Cahaya lampu jalan yang temaram membuat matanya berkilau.
“Mimpi yang indah,” kataku lirih. “Tapi… kenapa kau menceritakannya seakan ada kegelisahan yang tersembunyi?”

Ia menarik napas dalam, lalu menunduk sejenak.

“Karena aku bertanya-tanya… dalam mimpi itu, sebenarnya siapa dirimu bagiku?”

Aku hanya tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangan menyentuh jemarinya.
“Aku… Mas Azis. Aku pun melihat mimpi yang sama. Aku adikmu, aku kekasihmu, dan aku pendamping hidupmu.”

Hening. Angin malam berhembus lembut, mengibaskan rambutku, membuatku sedikit menggigil. Mas Azis menatapku dalam-dalam, dengan sorot mata yang tak pernah kulupakan.

“Engkau tahu?” katanya lirih. “Kau adalah senyumku. Kau musim semi dalam hidupku. Kau awan lembut… dan aku hanyalah hujan, yang ingin jatuh padamu.”

Pipiku terasa hangat, memerah. Aku menahan suara yang nyaris bergetar ketika berkata,
“Dan aku… aku hidup dari kenanganmu. Jika suatu hari aku harus mati, biarlah itu terjadi dalam pelukanmu.”

Kami terdiam. Tak ada kata lagi, hanya detak jantung yang berdentang tak beraturan. Malam itu seolah berubah menjadi taman penuh saksi—bunga, cahaya, dan angin yang berhembus lembut.

Sayup-sayup terdengar suara adzan subuh memanggil dari kejauhan.
Perlahan, aku pun terbangun.
Dengan senyum yang masih melekat di bibir, aku menyadari: mungkin itu bukan sekadar mimpi, melainkan doa yang dipertemukan di alam jiwa.

 

Epilog

Kini, ketika aku menutup buku harianku, aku tahu: kisah ini belum berakhir. Ia hanya berganti wajah. Dari cinta yang terlalu cepat dipaksakan, kembali menjadi kasih yang lebih aman, lebih sederhana, namun justru lebih berarti.

Mas Azis tetap ada—sebagai kakak yang membimbing, mendengar, dan menyayangiku tanpa syarat. Dan aku, dengan seluruh kelemahanku, masih di sisinya sebagai adik yang manja.
Mungkin suatu hari nanti, saat aku sudah siap, aku akan datang padanya sebagai kekasih yang utuh. Tapi untuk sekarang, aku bahagia dengan peran ini. Karena yang terpenting bukanlah gelar hubungan, melainkan kehadiran yang tidak pernah pergi.

Kisah ini mengajarkanku: cinta tidak harus tergesa. Ia bisa menunggu, tumbuh, dan menemukan bentuknya sendiri. Dan jika memang takdir, ia akan tetap ada—meski berulang kali kehilangan arah.

Selama masih ada sebutan “adik” yang bisa membuatku merasa aman di sisinya, aku tahu: aku tidak pernah benar-benar kehilangan. Justru aku menemukan kembali permata yang sempat hilang—sebuah kasih yang tulus, yang tetap berkilau meski ditempa waktu dan luka.

TAMAT

Depok, 30 Agustus 2025


✨ Tentang Penulis ✨

Setiap cerita lahir dari harapan, doa, dan cinta yang tersembunyi.
Siapakah sosok di balik kisah-kisah ini? Temukan jawabannya...

CERPEN KARYA ANAFIS '93

Buku kumpulan cerpen ini menghadirkan delapan kisah yang merentang dari cinta masa remaja, persahabatan, pengorbanan, hingga perenungan spiritual. Masing-masing cerita bukan sekadar fiksi, tetapi berangkat dari pengalaman batin yang diolah menjadi narasi penuh makna

Seorang dosen Fisika menemukan makna cinta melalui mahasiswinya, saat hukum gravitasi berubah menjadi metafora tentang rasa yang saling menarik namun tak bisa dimiliki. Cinta di antara mereka tidak pernah terucap, hanya hadir dalam bentuk pengertian, penghormatan, dan kenangan yang tak lekang oleh waktu.

Dalam perjalanannya sebagai gadis sederhana yang jatuh cinta pada rekan kerja barunya, Adipta harus belajar menerima kenyataan pahit bahwa debar yang ia simpan tak pernah berbalas, hingga akhirnya ia menemukan bahwa cinta sejati bukan selalu tentang memiliki, melainkan tentang kerelaan untuk mencintai dalam diam dan merelakannya lewat doa.

Cerita ini mengisahkan cinta tragis antara Baridin, pemuda miskin Jagapura Lor Kabupaten Cirebon, dan Suratminah, putri juragan kaya, yang berakhir nestapa oleh jurang derajat, hinaan, dan takdir.

Cerpen Remaja ini mengisahkan tentang cinta pertama yang lahir di bawah nyala api unggun, terjaga dalam diam, dan abadi dalam kenangan.

Cerpen ini menyiratkan perjalanan tobat dan kesadaran spiritual yang dalam, serta pencarian akan rekonsiliasi dengan diri sendiri — sebagai langkah awal untuk menata hidup yang lebih baik.

Kisah tragis tentang Dirman dan Surti, dua sejoli yang cintanya kandas oleh kepercayaan weton hingga berakhir di dua pusara berdampingan, menjadi pelajaran bahwa hidup dan mati hanyalah di tangan Allah, bukan ramalan.

Di balik senyum dan jilbabnya yang teduh, Anggraeni menyembunyikan cinta sunyi pada dosennya—cinta yang tak pernah berani ia ucapkan, hanya bisa ia rawat dalam doa dan diam, tumbuh sebagai rahasia manis sekaligus luka halus yang terus ia tanggung sendirian

Kasih dalam Sebutan Adik adalah kisah epistolari tentang hubungan yang bermula dari panggilan kakak-adik antara Ati dan Azis, namun perlahan berkembang menjadi cinta yang indah sekaligus rumit, terjalin lewat surat, kerinduan, dan pertanyaan tentang batas kasih sayang.

Kisah ini mengurai pertemuan seorang trainee Indonesia dan Haruka di Osaka, yang masih dibayangi hubungan pahitnya dengan Tio—seorang trainee lain dari Indonesia yang pernah ia cintai—hingga lewat surat-surat dan kenangan masa lalu mereka akhirnya menyadari bahwa cinta kadang harus melewati luka dan perpisahan sebelum berlabuh pada pintu maaf.

Melepasmu Dua Kali adalah kisah tentang dua sahabat SMA yang pernah berbagi kenangan indah bersama, lalu dipertemukan kembali setelah sepuluh tahun dalam reuni, namun akhirnya harus berani mencintai tanpa memiliki dan ikhlas melepas demi kebaikan.

Sahabat Terbaik mengisahkan dua sahabat kecil yang dipertemukan kembali oleh surat yang salah paham, lalu tumbuh menjadi cinta yang tak pernah terucap, dan akhirnya hanya bisa disimpan sebagai doa, kenangan, serta pengakuan tulus dalam diam.

Kisah ini menuturkan pertemuan tak terduga antara Hiro dan Michiyo yang tumbuh menjadi persahabatan hangat, lalu cinta yang akhirnya diakui namun harus dilepaskan, meninggalkan jejak indah tentang pertemuan, perpisahan, dan keikhlasan melepaskan.

Kisah ini mengurai perjalanan seorang kakak yang berpegang pada wasiat ibunya untuk menjaga adiknya, hingga di tengah perjuangan hidup dan pertemuan dengan cinta yang tak bisa dimiliki, ia belajar bahwa pengorbanan, tanggung jawab, dan kasih tanpa pamrih justru meninggalkan jejak paling dalam.

Pada reli Pramuka hujan Februari 1991, seorang remaja menemukan kehangatan tak bernama cinta dengan seorang siswi, yang kelak ia pahami sebagai pelajaran jiwa bahwa tidak semua pertemuan harus dimiliki, cukup dikenang sebagai doa sunyi di dalam hati.

Kisah ini adalah perjalanan dari genggaman uang lima ribu rupiah yang penuh keyakinan hingga menjadi undangan suci ke Baitullah, bukti bahwa doa, niat tulus, dan cinta dalam rumah tangga mampu membuka pintu langit. Ini adalah catatan perjalanan Ibadah Haji tahun 2024

Kisah ini menceritakan pertemuan sederhana seorang siswa SMA dengan adik temannya bernama Hapsi, yang berawal dari sapaan kecil di pagi banjir dan tumbuh menjadi ikatan manis kakak-adik penuh rahasia serta kehangatan yang tak pernah mereka sebut cinta.

Kisah ini menggambarkan hubungan samar antara seorang lelaki misterius dan Non, gadis kecil yang tumbuh dengan puisi-puisinya, di mana setiap kehadiran dan sepucuk amplop berisi kata-kata menjadi tanda kasih sayang tersembunyi yang menuntunnya menuju kedewasaan.

Kakak Berjilbab mengisahkan seorang mahasiswa baru Fisika UI pada tahun 1993 mengalami dua perjumpaan singkat namun membekas dengan kakak senior berjilbab, meninggalkan kenangan manis yang tak pernah terlupa meski namanya tak pernah benar-benar diingat.

Seorang kenshusei Indonesia di Yokohama tahun 1999 menemukan hiburan sekaligus “takdir aneh” lewat kaset-kaset Tan Sri P. Ramlee yang selalu muncul di momen tak terduga, hingga membuat sahabat sebelah kamarnya yakin dunia ini diam-diam diatur oleh Ramlee.

Sebuah kisah tentang suami-istri yang, di tengah lautan jamaah haji di Makkah, menemukan makna cinta terdalam melalui thawaf, sa’i, dan potongan rambut kecil yang menjelma menjadi janji suci pengabdian bersama menuju Allah.

Seorang trainee Indonesia di Osaka menemukan keteduhan di balik senyum resepsionis bernama Nagabayashi, yang dengan sapaan sederhana, surat-surat dari tanah air, dan satu foto perpisahan, meninggalkan kenangan manis yang tak terlupakan di tengah hari-hari keras perantauan.

Seorang dosen yang terbiasa dengan rutinitas Sabtunya di kampus dan warung Padang tiba-tiba mengalami pertemuan singkat dengan seorang mahasiswi kampus sebelah yang meninggalkan senyum hangat—dan sepiring ayam bakar tak terbayar—membuatnya bertanya apakah itu sekadar kebetulan atau isyarat kecil dari semesta.

Di tengah panas lembab musim panas Osaka 1999, seorang trainee menemukan seberkas kebahagiaan sederhana dari sapaan kasir kantin yang setiap hari menyebut “nana juu en desu”, hingga julukan “Mba Nana” pun lahir dan menjadi kenangan manis yang tak ternilai.

Keyakinan sederhana seorang istri yang menggenggam uang lima ribu rupiah di tahun 2008 menjadi awal perjalanan suci pasangan ini hingga akhirnya Allah mengundang mereka ke Baitullah.

Menjadi sekretaris RW bukan hanya soal tanda tangan dan arsip, tapi juga membuka pintu pada kisah-kisah tak kasat mata—seperti pertemuan istriku dengan sosok anak kecil yang seharusnya sudah tiada.

Sekelompok siswa SMAN 1 Tegal pada tahun 1991 membuktikan bahwa gamelan dan band bisa berpadu harmonis di panggung lomba musik Semarang, meninggalkan kenangan tak terlupakan tentang mimpi yang pernah hidup dengan gemuruh sorak penonton.

A man who secretly replaces someone else in a woman’s heart struggles between truth and silence, torn by the borrowed love that warms him even though he knows the light was never meant for him.

Perjalanan haji yang penuh haru dimulai dengan pelepasan sederhana di rumah dan kampus UIII, ketika doa, tangis, dan pelukan terakhir dari anak tercinta menjadi bekal hati menuju tanah suci.

Seorang pemuda yang terjebak hujan tanpa sengaja dipertemukan dengan keponakan yang lama hilang, lalu menguak kisah kelam keluarganya hingga membawanya pada janji untuk bertobat dan kembali ke jalan yang benar.

Seorang kakak yang sibuk kerja akhirnya memilih menulis cerpen penuh nasehat sebagai hadiah ulang tahun sederhana namun bermakna untuk sahabatnya, setelah melalui kehebohan bersama adiknya yang usil namun penuh perhatian.

Kisah Kisdanu dan Hapsari adalah perjalanan panjang dua sejoli dari desa, yang berawal dari hubungan kakak-adik penuh kasih sayang hingga akhirnya menemukan cinta sejati dan dipersatukan dalam pernikahan, setelah melewati ujian jarak, keraguan, dan kesetiaan.

Seorang trainee Indonesia di Osaka menemukan kehangatan tak terduga ketika lensa kameranya menjadi jembatan sederhana antara dirinya dan tawa siswi SMP di seberang gedung, menghadirkan sejenak pertemuan dua dunia yang berbeda.

Postingan Populer

Cerpen - Sajak Sunyi di Bawah Langit Februari

Cerpen - Sapaan Yang Hanyut Terbawa Banjir

Cerpen - Cinta yang Terselip di Antara Rumus-rumus Fisika

Haji Bersama Kekasih: Perjalanan Iman dan Cinta di Tanah Suci

Cerpen - Di Bawah Tokyo Tower, Malam Berbisik (東京タワーの下、夜が囁く)

Puisi - SEJAK KAU MENANGIS

Puisi - Di Ujung Masa

Puisi - DI STASIUN INI AKU MENANTI