Cerpen - Denting Kenong di Tri Lomba Juang
Sabtu sore itu, di tahun 1991, langit Semarang berwarna jingga keemasan. Angin sore membawa aroma asin laut yang samar, bercampur dengan riuh kendaraan yang melintas di jalan depan Asrama Haji. Kami bukan jemaah haji. Rombongan ini hanyalah siswa-siswi SMAN 1 Tegal, datang untuk menginap semalam sebelum esoknya tampil di panggung yang akan kami kenang seumur hidup.
Beberapa minggu terakhir sore kami nyaris sepenuhnya disita latihan. Gamelan dan band sekolah—dua ekstrakurikuler yang biasanya berjalan di jalannya masing-masing—dipaksa kawin oleh ide gila guru kesenian kami. “Musik kreatif!” katanya berapi-api. Katanya lagi, inilah kesempatan kami menunjukkan bahwa tradisi dan modern bisa bersatu tanpa kehilangan roh.
Prosesnya tidak mudah. Nada bonang terasa kaku saat harus masuk di sela-sela petikan gitar elektrik. Gong kalah bersuara dengan gebukan drum. Tapi, lama-lama, semuanya menemukan jalannya. Setiap denting kenong, setiap gebuk kendang, menyelinap rapi di antara melodi keyboard dan suara distorsi gitar.
Lomba ini diselenggarakan oleh Majalah MOP, majalah pelajar yang sedang naik daun di Jawa Tengah. Babak penyisihan hanya mengharuskan kami mengirim rekaman kaset. Kami rekam lagu di studio radio swasta di kota, sedikit gugup tapi penuh semangat. Lalu—keajaiban kecil—nama sekolah kami muncul sebagai salah satu dari enam finalis.
Esok paginya, sebelum berangkat, kami berfoto bersama di depan Asrama Haji—sebagai kenang-kenangan sekaligus bukti bahwa kami pernah menginjakkan kaki di bumi Semarang. Usai berpose dengan senyum penuh harap, kami menundukkan kepala, memanjatkan doa, memohon kekuatan untuk menampilkan yang terbaik. Dengan hati berdebar dan semangat yang menyala, kami pun melangkah menuju stadion.
Lapangan Tri Lomba Juang sudah riuh sejak pagi. Sebuah panggung besar berdiri gagah di tengah lapangan, dengan pengeras suara tersusun rapi menghadap lautan penonton. Hari itu bukan hanya untuk menyaksikan babak final lomba, tetapi juga untuk menikmati konser musik. Power Slaves, Slank, dan sejumlah band lainnya dijadwalkan tampil mengisi jeda antar penampilan. Saat giliran Slank, Kaka maju ke depan panggung, menggenggam mikrofon, lalu membawakan lagu legendaris mereka, “Mawar Merah”.
Ketika giliran kami tiba, degup jantungku nyaris mengalahkan suara gong. Kami membawakan dua lagu: Tak Ketuk Namamu ciptaan guru kesenian kami, dan Jerat-Jerat Cinta milik Trio Libels. Aku duduk bersiap di depan kenong, instrumen perunggu yang jadi kebanggaanku.
Pada lagu kedua, suasana mulai memanas. Begitu lirik “dadaku… da-da-da-daku…” terdengar, disusul senandung “jo ra se… re jo ra se” yang mengalun lembut diiringi imbal bonang lirih, kami pun menyiapkan jurus pamungkas: perpaduan imbal bonang, kenong, kempul, dan gong—tabuhan bersahut-sahutan yang memecah siang. Dentingnya berlari, saling menabrak, lalu kembali menyatu dalam harmoni. Penonton sontak bersorak; sebagian berdiri, tangan-tangan terangkat mengikuti irama. Rasanya seperti berada di tengah badai sorakan yang mengguncang panggung.
Hasilnya? Kami pulang membawa juara dua, sekaligus juara favorit. Tidak hanya karena permainan kami rapi, tapi karena siang itu, di panggung terbuka, kami membuat orang-orang percaya bahwa gamelan dan band bisa berdansa bersama.
Senin paginya, saat upacara bendera di sekolah, kami disambut seperti pahlawan. Guru, teman, bahkan penjaga kantin tersenyum lebar. Dan aku—yang siang itu hanya “penabuh kenong”—tiba-tiba merasa dentingan kecilku adalah bagian dari sesuatu yang besar.
Sampai sekarang, setiap mendengar irama gamelan bersahutan dengan dentingan gitar, aku kembali ke sore di Asrama Haji, ke siang penuh sorak itu, dan ke rasa hangat yang hanya dimiliki oleh mimpi yang pernah benar-benar hidup.
Depok, 10 Agustus 2025

