Cerpen - Anak Kecil yang Tak Pulang
Sejak menerima amanah sebagai sekretaris RW di komplek perumahanku di Depok, yang membawahi 10 RT dengan lebih dari 700 kepala keluarga, aku menyadari satu hal: jam tidurku tak lagi sepenuhnya milikku. Warga bisa mengetuk pintu kapan saja—siang, sore, bahkan tengah malam
Pak RW mempercayakan hampir semua urusan administrasi kepadaku. Surat pengantar? Aku yang tanda tangan. Surat pengantar kematian? Aku yang menyiapkan.
Pernah, sekitar tengah malam, tepat pukul dua belas, pintu rumah diketuk keras. Seorang warga berdiri di teras dengan wajah panik. “Maaf Pak, tanda tangan untuk surat pengantar. Ada jenazah mendadak, malam ini juga mau dibawa ke Jawa.”
Aku tak sempat mengeluh. Dengan mata setengah terpejam, kugoreskan tanda tangan. Kertas, stempel, dan pena menjadi teman setiaku di setiap waktu.
Awalnya, setiap pembuatan KTP atau KK harus lewat tanda tangan RT dan RW. Hampir setiap minggu ada saja yang datang. Tapi sejak aturan baru keluar—tak perlu lagi tanda tangan RT/RW—beban sedikit berkurang.
Aku pun mulai mendelegasikan sebagian tugas ke istriku. Jika ada warga datang saat aku bekerja, dia yang memberi stempel dan tanda tangan. Untuk memudahkan pengarsipan, kubuatkan aplikasi Android sederhana. Cukup mengisi beberapa item data, foto surat pengantar, dan otomatis tersimpan di database. Efisien, rapi, dan aman.
Selain itu, ada aturan tak tertulis di rumahku: jika yang datang perempuan, istriku yang menemui di ruang tamu. Aku hanya tanda tangan di balik meja.
Malam itu, menjelang Isya, seorang ibu datang. Seperti biasa, istriku yang menemui. Aku hanya menandatangani surat di meja kerjaku. Setelah selesai, si ibu pamit dan pergi.
Tak lama kemudian, istriku masuk ke kamar dengan wajah pucat.
“Aku jadi merinding, Mas…” katanya pelan.
Aku menoleh. “Kenapa?”
Istriku menarik napas. “Tadi waktu di pagar, Aku lihat si ibu bawa anak kecil. Umurnya sekitar dua tahunan. Dia diantar anaknya yang SMP, nunggu di motor.”
Aku menunggu ia melanjutkan.
“Pas ibu itu masuk ruang tamu, dia sendirian. Aku pikir anak kecilnya mungkin nyamperin kakaknya di motor. Tapi waktu pamitan, Aku lihat cuma ada satu orang di motor… anak SMP itu saja.”
Aku terdiam. “Terus, anak kecilnya…?”
Istriku menggigit bibir. “Aku tanyain. Si ibu bilang… dulu dia memang punya anak umur segitu, tapi sudah meninggal. Katanya, banyak orang juga pernah ngalamin kayak Aku. Ada yang bilang, dia selalu diikuti anak kecil itu.”
Suasana rumah tiba-tiba hening. Di luar, suara adzan Isya terdengar samar.
Sejak malam itu, setiap kali bertemu dengan ibu itu, istriku selalu kelihatan tegang. Ada rasa takut yang tak bisa ia jelaskan, takut melihat sesuatu yang mungkin tak seharusnya terlihat.
Aku hanya bisa berharap, tugas sebagai sekretaris RW tak membawa terlalu banyak kisah yang menggantung di kepala—dan di hati. Tapi di balik tumpukan surat pengantar yang rapi di aplikasi Android-ku, ada cerita-cerita yang tak bisa disimpan dalam bentuk file. Cerita yang hidup di antara warga, dan mungkin… di antara mereka yang tak lagi tinggal di dunia ini.
Tamat
Depok, 9 Agustus 2025
