Cerpen - Dua Pusara Satu Cinta
Sinopsis
Di sebuah desa kecil di Tegal, Dirman dan Surti tumbuh bersama sejak kanak-kanak. Setiap senja mereka berduyun ke surau, belajar mengaji di bawah bimbingan ustaz dan ustazah. Surti dikenal dengan suara merdunya, sering menjadi qori dalam acara besar desa. Dirman, meski tak pandai bersuara, selalu terpikat pada lantunan ayat-ayat yang keluar dari bibir sahabat kecilnya itu.
Masa remaja membawa perubahan: persahabatan polos itu perlahan tumbuh menjadi cinta. Di pematang sawah, keduanya saling berbalas parikan, mengikat janji yang belum terucap. Hingga akhirnya, ketika cukup umur, Dirman memberanikan diri melamar Surti.
Namun kebahagiaan itu kandas saat keluarga mereka menemukan “ramalan” dari hitungan weton. Ibunda Dirman dan ibunda Surti ternyata lahir di hari yang sama, dan menurut kepercayaan desa, bila pernikahan itu tetap dilangsungkan, salah satu dari ibu mereka akan segera meninggal. Ketakutan pada tradisi lebih kuat daripada cinta dan doa mereka. Lamaran pun ditolak.
Surti dijodohkan dengan pemuda lain. Menjelang hari pernikahan, Dirman jatuh sakit karena menahan luka batin. Ia semakin lemah, hingga akhirnya meninggal sebelum hari pernikahan Surti tiba. Duka itu menghantam Surti, membuatnya jatuh sakit pula. Rencana pernikahan ditunda, dan tak lama ia menyusul Dirman ke liang lahat.
Rasa sesal menelan hati kedua keluarga. Atas desakan masyarakat, Surti dimakamkan berdampingan dengan Dirman. Sang ustaz desa lalu mengingatkan: hidup dan mati hanyalah di tangan Allah, bukan di tangan ramalan. Kisah Dirman dan Surti pun menjadi pelajaran pahit bagi desa, tentang cinta yang dikalahkan oleh ketakutan manusia sendiri.
Esai perbandingan sastra antara kisah Dirman–Surti dan Laila–Majnun
Pendahuluan
Dalam khazanah sastra dunia, kisah cinta tragis selalu hadir sebagai cermin perasaan manusia yang terdalam. Di Barat, ada Romeo dan Juliet; di Timur Tengah, ada Laila Majnun. Sementara di tanah Jawa, kisah cinta lokal seperti Dirman dan Surti tak kalah pilunya. Meski tidak ditulis dalam epos panjang seperti karya Nizami, kisah ini adalah pengalaman pribadi yang diabadikan dalam narasi.
Apabila kita meletakkan Dirman–Surti sejajar dengan Laila–Majnun, maka tampak persamaan besar: cinta suci yang terhalang adat dan keluarga, lalu berakhir dalam tragedi. Namun, perbedaan latar budaya, nuansa religius, dan pesan moral menjadikan keduanya unik dalam caranya masing-masing.
Awal Cinta: Benih yang Sama
Dirman dan Surti tumbuh bersama sejak kanak-kanak. Mereka hidup di desa Jawa, mengaji, bermain, dan berbagi keseharian sederhana. Dari kebersamaan itu lahirlah rasa yang jernih: cinta pertama yang polos. Hal ini sejajar dengan Qais dan Laila, yang sejak remaja sudah jatuh cinta saat menuntut ilmu bersama di tenda sekolah kabilah.
Benih cinta di dua kisah ini sama-sama alami dan murni, tumbuh tanpa rekayasa, tanpa paksaan. Cinta lahir bukan karena harta atau kuasa, melainkan karena kebersamaan yang panjang dan saling memahami.
Penghalang: Adat vs Keluarga
Di titik inilah perbedaan paling kentara.
- Dirman–Surti terhalang oleh kepercayaan adat Jawa: orang tua mereka lahir di hari yang sama, sehingga dianggap pantangan menurut hitungan weton. Keyakinan itu begitu kuat hingga mengalahkan suara cinta dan doa.
- Laila–Majnun terhalang oleh otoritas keluarga dan status sosial. Ayah Laila menolak Qais karena dianggap gila oleh syair cintanya, juga karena merasa derajat keluarganya lebih tinggi.
Meski berbeda bentuk, keduanya sama-sama menunjukkan bagaimana cinta manusia kerap dikalahkan oleh kuasa luar—entah itu adat, status sosial, atau martabat keluarga.
Jalan Cinta: Kesetiaan yang Berkorban
Ketika Surti dipisahkan dari Dirman, keduanya tetap menjaga kesetiaan batin. Surti hanya bisa berdoa, menahan rindu, sementara Dirman larut dalam sakit hati yang akhirnya merenggut nyawanya. Lalu Surti, seolah tak sanggup menanggung duka, menyusul tak lama kemudian.
Majnun pun demikian: ia menolak hidup normal, memilih padang pasir sebagai tempat pelarian. Ia hidup hanya untuk menyebut nama Laila, menggubah syair, dan mengabaikan dunia. Cintanya dianggap gila, tapi dalam kegilaannya justru lahir puisi-puisi abadi.
Baik Dirman maupun Majnun sama-sama menolak berpaling dari cintanya, meski hidup menawarkan jalan lain. Kesetiaan inilah yang menjadikan kisah mereka abadi.
Akhir Kisah: Tragedi yang Dimuliakan
Akhirnya, kedua kisah berlabuh pada tragedi.
- Dirman wafat lebih dulu, disusul Surti. Keduanya dipandang mati karena cinta dan takdir Allah.
- Majnun meninggal di makam Laila, seakan menyerahkan hidupnya di hadapan kekasih yang telah pergi.
Kematian di kedua kisah bukan sekadar ujung cerita, melainkan puncak pemuliaan cinta: bahwa cinta sejati tidak pernah selesai di dunia, melainkan berlanjut dalam keabadian.
Pesan Moral: Kritik dan Spiritualitas
- Dirman–Surti membawa pesan moral yang khas Jawa–Islam: kritik terhadap kepercayaan buta pada adat weton. Cerita ini menekankan bahwa hidup dan mati bukan ditentukan hitungan hari lahir, melainkan sepenuhnya berada di tangan Allah.
- Laila–Majnun memberi pesan spiritual universal: cinta duniawi adalah simbol cinta Ilahi. Majnun menjadi lambang sufi yang mabuk cinta kepada Tuhan, kehilangan diri demi meraih Sang Kekasih sejati.
Kesimpulan
Meski berbeda akar budaya, Dirman–Surti dan Laila–Majnun sama-sama kisah cinta agung yang berakhir tragis. Keduanya memperlihatkan bahwa cinta sejati kerap bertabrakan dengan tradisi, adat, dan kuasa luar diri. Namun dari keterbatasan itulah lahir keindahan: kesetiaan yang melampaui logika, doa yang melampaui dunia, dan cinta yang terus hidup meski raganya tiada.
Jika Laila–Majnun adalah epos cinta dunia Islam Persia, maka Dirman–Surti dapat kita sebut sebagai “Laila Majnun versi Jawa Islami”: lebih membumi, lebih sederhana, namun tak kalah suci dan menyentuh hati.
Cerpen ini menjadi bagian dari buku Kumpulan Cerpen Anafis '93, delapan kisah yang berpadu dalam satu napas: kisah, waktu, dan keheningan.
dapatkan bukunya di Tokopedia
