CERPEN : AWAN HITAM PUN BERLALU
Hujan yang turun dengan tiba-tiba memaksaku menghentikan perjalanan pulang. Aku segera menurunkan kecepatan sepeda motorku dan menghentikannya di sebuah teras bengkel las. Kebetulan terasnya cukup luas dan benekel itu sedang tutup, sehingga aku dan sepeda motorku dapat terlindung dari hujan. Wah....heran juga aku, tadi di balaikota cuaca masih cerah, tapi sekarang hujan datang dengan deras.
Kalau saja aku tidak membawa berkas-berkas penting, tentu hujan ini kuterjang. Betapa akan nenyulitkan jika berkas-berkas itu rusak oleh air hujanm, soalnya berkas-berkas itu penting artinya bagi masa depanku. Kubuka tas dan kukeluarkan isinya, empat buah map. Kuperiksa satu persatu, Alhamdulillah belum kena air. Dengan perassaan lega kumasukan lagi map-map itu. Aku merapatkan diri ke dinding bangunan dengan pikiran lebih tenang. Pandanganku kini tertuju pada air hujan yang jatuh di aspal jalan. Titik-titik air hujan yang jatuh di aspal seolah-olah menimbulkan asap. Aku terus asyik memandangi titik hujan yang berebut ingin sampai dulu ke bumi.
Ketenanganku terganggu ketika sebuah jeep berhenti tepat di depan pandanganku. Jeep berwarna hitam beratap terpal, dan di pintu depannua terpampang stiker bergambar kepala macan, cukup besar. Jeep itu hanya itu hanya berhenti sebentar , setelah menurunkan salah seorang penumpang, jeep itu bergerak lagi. Seiring melajunya jeep itu, seorang wanita berlari mencari perlindungan dari hujan. Di seberang jalan itu ada toko yang tutup, terasnya agak sempit. Dia berlari ke toko itu dan segera merapatkan diri ke temboknya sambil membalikan tubuh.
Wanita itu kini menghadap ke arahku. Aku pura-pura tidak melihatnya. Setelah dia sibuk dengan buku bacaannnya, aku mulai memperhatikan gerak-geraiknya. Wanita itu masih kelihatan sangat muda seusia dengan adikku yang baru kelas satu SMKK. Dandanannya sangat berlebihan, bedak dan lipstik yang dipakainya sangat tebal, pakaiannya serba merah menyala dengan berbagai asesoris. Antingnya sebesar gelang yang dikenakan pada kedua lengannya. Kalungnya seperti tasbih yang bijinya sebesar kelereng dan rambutnya dipotong pendek kaya Demi More.
Dia kelihatan gelisah. Sudah sekian kali dia melihat jam tangannya. Dari gerak-geriknya aku bisa menduga kalau dia sedang menunggu seseorang. Seseklai dia melongok ke kanan memastikan mobil-mobil yang akan berlalu di depannya. Setiap selesai melongok dia menghentakkan kaki kiri dan menggigit bibir bawah, menandakan kekecewaan. Buku bacaan di tangannya tidak bisa membuatnya tenang.
Keinginnanku untuk menyelidik segera timbul sebagaimana biasanya aku menghadapi hal yang luar biasa. Bagiku ada hal yang luar biasa pada wanita itu. Kucoba menghubungkan kejadian awal dengan gerak-geriknya. Mengapa dia diturunkan di tengah jalan, siapa yang dia tunggu, mengapa dandanannya mencolok. Dengan berbagai macam pertanyaan seperti itu aku mulai bisa menebak gerangan wanita itu. Sebenarnya aku tidak bermaksud su’udhon terhadapnya. Aku hanya sekedar mengasah ketajaman otakku.
Belum lagi aku dapat membuktikan kebenaran dugaanku, sebuah sedan berhenti di depannya. Kulihat dia berlari menuju sedan itu dan kemudian sedan berlalu dari hadapanku. Sayang aku tidak dapat melihat orang yang di dalam sedan, sehingga berakhirlah dugaanku tanpa bukti yang kuat.
ooooo
"Mas, Mas....bangun Mas, ada tamu" adikku membangun tidur siangku, "Katanya mau ketemu ayah dan ibu, tapi mereka lagi kondangan, Eh nggak tahunya malah pengin ketemu Mamas "
Aku melihat jam tangan yang lupa kulepas, pukul 16.13. "Tamu....Siapa Pah?" tanyaku sambil bangkit dari tempat tidur.
"Enggak kenal Mas, seorang wanita, kaya bintang film, pacar yah Mas?" ledek Ipah, adikku.
" Hus, tahu apa anak kecil, sudah sana ambilkan air minum" Aku pura-pura marah.
Dengan gaya ajudan Ipah mengangkat tangan kanannya dan menempelkan sisi telapaknya ke dahi, "Siap Bos" Ipah berlari ke dapur.
Aku merapikan diri sebelum menemui tamuku. Penasaran juga aku siapa dia. Benar-benar kaget aku ketika membuka tirai penutup pintu tengah. Ya Allah...wanita itu, mengapa dia. Aku nyaris tidak dapat melanjutkan langkah, untung aku cepat menguasai diri. Aku pura-pura tidak tegang dan berusaha bersikap wajar.
"Selamat siang,...ada perlu apa yah?" suaraku hampir terputus.
"Apa benar ini rumah Bapak Abdilah?" dia malah balik bertanya.
"Ya...benar, anda siapa?" aku bertanya lagi. Tidak juga dia menjawab, tapi dia nampak gembira. "Mas ini, apanya?
"Saya?" dia mengangguk, kulanjutkan "Saya putranya".
Mendengar jawabanku, serta merta dia memelukku dengan tangis haru, sampai air matanya membasahi bajuku. Aku kaget seketika dan tidak dapat berfikir apa yang mesti kulakukan. Belum sempat aku berbuat banyak, adikku datang dari dapur membawa minuman. Begitu melihat keadaan kami dia terperanjat dan nampan di tangannya terjatuh. Tak ayal lagi suara keras terdengar "Praa ....knng", pecahan gelas berserakan dan air minum membasahi lantai. Adikku berlari ke belakang dan terdengar pintu kamar dibanting keras. Aku semakin bingung dan menyesali tindakan wanita ini.
"Lepaskan dulu, aku belum mengerti dengan semua ini" pintaku.
Perlahan-lahan dia melepaskan pelukannya.
"Apa arti semua ini dan siapa kau?" tanyaku.
"Aku keponakanmu Mas, anak kakakmu" ujarnya.
Aku teringat kakakku yang meninggalkan rumah 17 tahun yang lalu karena durhaka pada ayah dan ibu." Di mana kakakku sekarang?" tanyaku.
"Ayah sudah meninggal dua tahun yang lalu karena tidak tahan melihat kelakuan ibu" jawabnya sambil menangis.
Dia kemudian menceritakan pengalamannya sampai terjerumus menjadi wanita panggilan.
"Saya dipaksa Ibu, Mas" dengan terisak dia melanjutkan, "Saya ingin kembali ke jalan yang benar, tapi ibu selalu menghalangi."
"Lalu di mana ibumu sekarang?" aku ikut bersedih.
Dia terdiam sejenak dan menundukkan kepala. Air matanya jatuh ke lantai.
"Sebulan yang lalu, seorang lelaki membawanya dengan mobil, keduanya meninggal karena mobilnya masuk jurang" Sambil terisak dia melanjutkan ceritanya, "Saya tahu alamat rumah kakek dari surat wasiat ayah. Saya juga baru tahu kalau saya masih punya kakek dan nenek Sebelum meninggal ayah pernah berpesan agar saya memintakan maaf pada kakek dan nenek. Ayah sudah bertobat 2 bulan sebelum meninggal. Beliau meninggal di pangkuan pak Kyai yang membimbingnya ke jalan yang benar. "
Aku sangat terharu mendengarkan ceritanya. Aku juga gembira karena kakakku meninggal sesudah kembali ke jalan yang benar. Mudah-mudahan ayah dan ibu memaafkan dan meridhoinya.
"Kakek dan nenekmu lagi kondangan, kita tunggu yah, Paman akan menjelaskan semuanya dan memohon pada mereka agar kamu diterima hidup bersama kami" ujarku menenangkannya "Kau benar-benar ingin bertobat kan?"
"Demi Allah saya ingin bertobat, saya ingin menjadi menjadi orang baik-baik. Saya ingin menjadi muslimah yang taat pada perintah Allah SWT." Jawabnya dengan sungguh-sungguh.
Aku dapat melihat kesungguhan hatinya, Ya Allah terimalah tobat hambamu. Tunjukkanlah jalan yang benar. Semoga istiqomah sampai nyawa berpisah dari raganya.
"Sekarang kita ke kamar adikku, kelihatannya dia lagi ngambek, dia adalah bibimu, kau harus meminta maaf padanya" Pintaku.
Pintu kamar Ipah terkunci, kuketuk.
"Ipah ini ada kejutan buatmu, ayo buka pintu sayang" rayuku.
Pintu kamar Ipah segera terbuka, dan seketika Ipah keluar langsung memelukku.
"Maafkan Ipah Mas, Ipah berdosa menyangka Mamas yang bukan-bukan" Suara adikku yang dibarengi dengan isak tangis, "Ipah sudah mendengar semuanya Mas"
Kubelai rambut adikku satu-satunya.
"Kau harus belajar lebih banyak tentang hiduo adikku". bisikku pada telinga adikku yang kusayang.
Depok, 19 Maret 1995
