Cerpen Remaja - Sandi Kepemimpinan
1
Tahun 1989.
Angin sore di halaman SMP Negeri Dukuhturi berembus lembut, membawa aroma tahu aci yang baru diangkat dari wajan oleh penjual di tepi jalan, berpadu dengan wangi manis es saguan dari gerobak di samping gedung sekolah. Langit berwarna jingga keemasan, dan bayangan tiang bendera menjulur panjang hingga ke depan ruang guru. Kami, beberapa siswa kelas dua bersama seratusan adik kelas satu, tengah bersiap mengikuti latihan pramuka rutin setiap Jumat sore.
Aku masih ingat betul suasananya—riuh tapi teratur, penuh semangat anak remaja yang baru mengenal arti tanggung jawab dan kebersamaan. Di antara barisan peserta latihan yang mengenakan seragam coklat tua itu, aku berdiri bukan lagi sebagai peserta biasa, melainkan sebagai pendamping pembina.
Tugas kami saat itu adalah melatih adik-adik kelas satu dalam berbagai keterampilan pramuka: mulai dari baris-berbaris, tali-temali, pertolongan pertama, hingga sandi morse dan semapore. Aku sendiri paling senang bagian sandi. Entah kenapa, suara titik dan garis dalam morse selalu terasa seperti bahasa rahasia yang hanya dimengerti oleh jiwa-jiwa yang sabar dan teliti.
Biasanya aku menyiapkan peluit untuk latihan. Kadang aku memberi teka-teki, menulis pesan rahasia yang harus mereka pecahkan. Rasanya menyenangkan melihat wajah mereka bersinar saat berhasil menebak arti kode yang kubuat. Di mataku, pramuka bukan sekadar kegiatan sore, tapi semacam sekolah kecil tentang kehidupan—tentang disiplin, persaudaraan, dan kepemimpinan.
2
Sore itu, selepas salat Asar, kami para pendamping pembina berkumpul di dekat gudang peralatan. Ada sekitar belasan orang: aku, Taufik, Ratim, Irnawati, Roni dan beberapa teman lainnya. Wajah-wajah kami serius tapi menyimpan semangat nakal khas remaja.
“Aku punya ide,” kata Roni sambil menepuk lutut. “Bagaimana kalau latihan kali ini kita buat sedikit… berbeda?”
“Berbeda gimana?” tanyaku curiga.
“Kita bikin sandiwara,” jawabnya dengan mata berbinar. “Biar adik-adik kelas belajar menghadapi situasi genting. Semacam latihan kepemimpinan kecil. Kita pura-pura berselisih pendapat, bikin suasana sedikit tegang.”
Aku tertawa kecil, tapi di dalam hati aku menyukai ide itu. Ada sesuatu yang menantang sekaligus mendidik dalam konsep itu.
Kami kemudian melapor kepada Kakak Pembina Pramuka di sekolah kami, Pak Sumadi, guru yang selalu berpenampilan rapi dengan baju pramuka pembina dan suara yang tegas tapi lembut. Beliau mendengarkan rencana kami dengan tangan bersedekap, lalu tersenyum tipis.
“Baik,” katanya, “asal ingat batasnya. Jangan sampai membuat mereka benar-benar ketakutan. Tujuannya bukan membuat panik, tapi melatih tanggung jawab dan kebersamaan.”
Kami mengangguk mantap. Segalanya tampak sederhana waktu itu. Tak ada yang menyangka bahwa sore itu akan menjadi salah satu kenangan yang paling membekas di masa SMP-ku.
3
Selepas upacara pembukaan, suasana tampak seperti biasa. Para peserta berbaris rapi, bendera Merah Putih sudah dikibarkan, dan yel-yel pramuka menggema di lapangan tanah. Setelah itu, Pak Sumadi yang saat upacara menjadi pembina upacara meninggalkan lapangan menuju ruang guru untuk mengurus sesuatu—semuanya bagian dari rencana.
Begitu beliau pergi, dua kelompok pendamping pembina mulai menjalankan perannya.
Kelompok Roni memerintahkan adik-adik kelas untuk tetap di lapangan.
“Latihan di sini saja! Kita akan mulai dari baris-berbaris dulu!” seru mereka.
Sementara kelompokku yang dipimpin oleh Taufik berkata sebaliknya, “Tidak! Sekarang saatnya masuk ke kelas, kita belajar sandi dan tali-temali di dalam!”
Awalnya hanya perbedaan pendapat kecil. Tapi semakin lama, suara kami makin keras. Kami berpura-pura berdebat sengit.
“Masuk kelas!” teriakku.
“Di lapangan saja!” balas Roni tak kalah keras.
Beberapa adik kelas mulai kebingungan. Mereka saling pandang, sebagian melangkah ragu ke arah kelas, sebagian lagi tetap berdiri di lapangan. Suasana yang awalnya ringan perlahan berubah tegang.
Suara bentakan dan adu argumentasi semakin menjadi. Bahkan ada yang sampai menuduh, “Kamu seenaknya sendiri, ya!” — “Kamu yang nggak disiplin!”
Aku sempat melirik ke sekeliling. Wajah-wajah adik-adik kelas tampak pucat. Beberapa anak perempuan menunduk sambil menahan tangis. Suara mereka mulai bergetar, sebagian bahkan benar-benar menangis.
Saat itulah, di balik semangat sandiwara kami, muncul rasa bersalah yang pelan-pelan menyusup. Aku mulai khawatir sandiwara ini terlalu jauh. Tapi sebelum aku sempat berbuat apa-apa, seseorang sudah berlari ke arah ruang guru untuk memanggil Pak Sumadi.
4
Tak lama kemudian, sosok beliau muncul dari ambang pintu ruang guru. Langkahnya tenang, tapi tatapannya tajam. Kami, para pendamping pembina, mendadak diam. Suara tangis kecil masih terdengar di antara adik-adik kelas satu yang berbaris tak rapi.
Pak Sumadi berdiri di tengah lapangan, lalu berkata dengan suara datar tapi berwibawa,
“Baiklah. Sekarang siapa yang bisa menjelaskan, apa yang sedang terjadi di sini?”
Kami saling pandang, lalu dengan perasaan campur aduk aku maju setapak. “Maaf, Pak… ini sebenarnya hanya sandiwara. Kami ingin memberi latihan tentang kepemimpinan dan kekompakan.”
Pak Sumadi menghela napas panjang. Lalu senyum tipis muncul di wajahnya.
“Baik,” katanya, “artinya kalian punya niat baik. Tapi ingat—setiap latihan kepemimpinan bukan hanya tentang mengatur orang lain, tapi juga mengatur diri sendiri.”
Beliau kemudian menatap seluruh peserta dan berkata pelan tapi penuh makna:
“Dalam hidup, sering kali kita berhadapan dengan perbedaan pendapat. Di sanalah kedewasaan diuji. Jangan terburu-buru marah, jangan mudah terpancing. Pemimpin sejati bukan yang paling keras suaranya, tapi yang paling tenang pikirannya.”
Kami semua menunduk. Suasana yang semula panas mendadak berubah teduh.
Angin sore kembali berembus pelan, membawa kapuk randu yang melayang dan aroma daun kering. Adik-adik yang tadi menangis mulai tersenyum malu, sementara kami, para pendamping pembina, merasa seolah baru saja belajar pelajaran paling berharga sore itu.
Pak Sumadi menutup dengan kalimat sederhana namun menancap dalam:
“Pramuka bukan sekadar belajar tali dan sandi, tapi belajar menjadi manusia yang sabar, bijak, dan berani bertanggung jawab.”
5
Sore itu matahari perlahan tenggelam di balik atap ruang kelas. Kami berbaris kembali untuk upacara penutupan. Aku memandang wajah teman-temanku satu per satu—ada tawa kecil, ada rasa lega, dan ada sedikit rasa malu. Tapi di antara semua itu, ada pula perasaan hangat yang tak bisa kujelaskan: perasaan bahwa kami telah tumbuh sedikit lebih dewasa.
Kini, tiga puluh enam tahun telah berlalu. Setiap kali aku melihat anak-anak berseragam pramuka penggalang, hatiku selalu bergetar. Aku teringat lapangan sekolah yang sederhana itu, air mata adik-adik kelas yang ketakutan, tawa teman-teman pendamping pembina yang hingga kini masih terhubung lewat grup WhatsApp, dan senyum bijak Pak Sumadi yang tak pernah kulupa.
Semua itu mengajarkanku satu hal—bahwa setiap “sandi” dalam hidup punya maknanya sendiri. Kadang berupa perdebatan, kadang berupa kesalahan kecil. Tapi kalau kita mau mendengarkan dengan hati, setiap titik dan garis itu akan menuntun kita memahami arti kepemimpinan yang sesungguhnya.
TAMAT
Depok, 15 November 2025
