Cerpen - Kakak Berjilbab
Selasa pagi, 7 September 1993.
Langkahku terasa ringan saat menyusuri jalan setapak dari kosan di Kukusan menuju halte. Sebagai mahasiswa baru, semangatku masih menyala, membakar tekad untuk mengejar impian yang telah lama kupupuk. Sudah lebih dari sebulan aku menjalani berbagai kegiatan awal perkuliahan—dari Penataran P4, serangkaian agenda penyambutan, hingga puncaknya: masa orientasi pengenalan jurusan yang akrab disebut OPT Fisika.
Pagi itu, matahari belum galak, masih ramah menyapa bumi. Udara lembab menenangkan, sisa embun masih bertahan di ujung dedaunan. Di halte, aku menunggu Bus UI dengan tenang, menyandang tas selempang kesayangan. Tak lama kemudian, aku telah berada di dalam bus legendaris berwarna kuning terang—sang 'Bis Kuning' yang setia mengantar mahasiswa menjelajahi kehidupan kampus Universitas Indonesia.
Kuliah pagi ini hanya dua jam—Responsi Fisika Dasar I-A. Tapi waktu merangkak, dan tak satu pun dosen atau asistennya muncul. Sampai pukul sembilan, kami menyerah. Pulang pun tak menggoda, sebab pagi ini terasa terlalu belia untuk disia-siakan.
Aku sempat berpikir menelepon temanku di Pasar Minggu. Tapi antrean telepon umum di FMIPA memanjang seperti ular malas. Lalu, langkahku bergeser ke musala. Di mading musala, berderet pengumuman. Salah satunya menarik perhatianku—bazar buku di Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Spontan aku melangkah ke FKM, mata menyisir setiap meja di sana. Kutemukan beberapa stiker menarik dan sebuah Al-Qur’an terjemah. Teringat Al-Qur’an milik teman kosku yang hilang saat OPT Fisika dulu, kubeli satu. Semacam penebusan, atau bentuk tanggung jawab kecil yang ingin kutunaikan.
Keluar dari bazar, aku duduk di halte FKM, tanpa tujuan pasti. Aku tak tahu akan pulang ke kos atau ke mana. Tapi saat Bus UI arah sebaliknya datang, aku menaikinya, entah mengapa.
Dia ada di dalam bus. Akhwat berjilbab rapi yang sering kulihat semasa OPT Fisika, sebagai seniorku. Kali ini ia tersenyum melihatku—heran barangkali, karena aku naik dari halte FKM. Aku pun lebih heran lagi, dia tahu namaku.
“Hai, Din. Dari mana?” tanyanya.
Aku menunjuk ke arah FKM. “Bazar,” jawabku singkat.
“Oh, bazar di FKM,” sahutnya, seolah sudah tahu.
Tak kutambah kata. Ragu, canggung. Aku melangkah ke bagian belakang bus dan bergabung dengan teman-teman seangkatan yang kebetulan ada di bus juga.. Tapi pikiranku tak lagi di sana.
Bus berhenti di halte UI. Kami semua turun. Aku berjalan pelan, duduk sebentar di samping abang penjual batagor, lalu melihat bus umum jurusan Pasar Minggu. Tiba-tiba saja, aku naik.
Dan di dalamnya, dia lagi.
Entah bagaimana bisa lebih dulu dariku. Dua kursi yang ditempatinya seolah memanggil, tapi aku ragu melangkah ke sana. Nampaknya dia mengira aku hendak duduk di sebelahnya. Wajahnya bingung. Akhirnya, dia berdiri, pindah ke depan bersama seorang ibu-ibu. Aku sempat berkata lirih, “Biarlah Kakak di sini, aku berdiri saja…” Tapi deru mesin menelan suaraku.
Aku berdiri sepanjang perjalanan, tapi hatiku bergetar. Ada rasa segan, kagum, dan entah… sesuatu yang tak kukenal tapi terasa teduh. Jilbabnya, senyumnya, dan wibawa dalam diamnya menyentuh sisi terdalamku.
Rabu, 8 September 1993.
Siang ini setelah empat jam kuliah, aku melangkah ke musala untuk salat dzuhur. Kultum usai dzuhur sudah seperti tradisi. FMIPA bukan hanya tempat belajar, tapi juga tempatku mengisi ruhani. Rohis di sini terbaik, semua mahasiswa tahu itu.
Siang itu aku sejatinya ingin makan siang di warung yang berderet di 'balik semak' namun temanku mengajakku ke warung 'di bawah pohon rindang' dekat gedung rektorat. Perut kenyang, hati tenang. Aku teringat surat untuk temanku di desa. Bergegas ke gedung rektorat, kubeli prangko dan mengeposkan surat. Pukul satu siang aku kembali ke FMIPA untuk kuliah pada jam dua nanti. Waktu satu jam kuhabiskan di perpustakaan lantai atas. Buku “Soal-soal Fisika Universitas” menemani waktuku.
Saat hendak keluar, aku melihat deretan kartu anggota perpustakaan. Iseng kucari milikku, tapi belum ketemu juga. Seorang petugas menunjukkan ke arah lain. Di sanalah aku melihatnya lagi.
Dia berdiri di dekat laci kartu anggota Jurusan Fisika.
“Assalamu'alaikum” sapanya lembut.
“Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawabku, masih dengan rasa segan yang menebal.
Aku menjauh sedikit, bukan karena karena tak ingin, tapi aku tahu batas.
Seorang pegawai menyebut namanya dengan keras. Aku mendengarnya. Tapi tak sempat mencatat, dan beberapa jam kemudian aku lupa. Hanya satu yang tetap kuingat: senyumnya, jilbabnya, dan sorot matanya yang meneduhkan.
********
Sampai aku lulus pun, aku tidak pernah tahu siapa namanya. Hanya satu yang kuingat: dia kakak berjilbab seniorku di Jurusan Fisika, yang pernah bersamaku di dua bus, dalam dua hari yang penuh makna—tanpa pernah benar-benar bicara.
Tamat
Depok, 12 Juli 2025
