Cerpen - Cinta yang Ditinggalkan di Antara Dua Bayangan
Ada cinta yang tumbuh di tengah cahaya, dan ada pula yang berakar di dalam bayangan. Rara mungkin tidak pernah bermaksud menipu siapa pun — tidak Arga yang mencintainya dengan kesungguhan, dan tidak pula “aku” yang mencintainya dalam diam. Ia hanya terjebak di antara dua ketulusan yang datang pada waktu yang salah.
Di hadapan Arga, Rara menemukan rumah yang ia butuhkan; ketenangan, janji, dan kepastian yang mampu menenangkan hatinya yang lelah. Namun di sisi lain, pada “aku” — lelaki yang selalu mendengarkan tanpa banyak bicara — ia menemukan dirinya sendiri, menemukan bagian dari jiwanya yang tak pernah bisa dimiliki siapa pun.
Dua cinta itu berdiri berhadapan seperti dua bayangan pada senja: saling mendekat tapi tak pernah bersentuhan. Dan di tengah-tengahnya, Rara berdiri dalam kebisuan yang memisahkan.
Ketika akhirnya ia memilih pergi, bukan karena berhenti mencinta, melainkan karena tak ingin menyakiti, maka cinta itu pun berubah menjadi doa — tak lagi meminta untuk dimiliki, hanya berharap untuk diingat.
Sebab ada cinta yang ditakdirkan bukan untuk bersatu,
melainkan untuk mengajarkan makna kehilangan yang paling indah:
bagaimana mencintai dengan berani, dan melepaskan dengan tenang.
Dan mungkin, di sanalah segalanya bermula — dari sebuah kehilangan yang tak diucapkan, dari rahasia yang tumbuh di antara dua jiwa yang nyaris bersinggungan.
Cinta itu tak pernah lahir dengan nama, hanya dengan peran.
Sebab aku bukan Arga. Tapi di mata semua orang — terutama di mata Rara — aku harus menjadi dia.
Sejak kecelakaan membuat Arga koma, keluarga memintaku—orang yang sangat mirip dengannya—menggantikan posisinya sementara. Alasannya sederhana: ibunya sakit parah dan tak boleh tahu putra kesayangannya terbaring tak sadarkan diri.
Aku mempelajari segalanya tentang Arga—cara bicaranya, gerak tubuhnya, bahkan kebiasaan-kebiasaan kecil yang mungkin tak disadari siapa pun. Awalnya, kupikir semua ini hanyalah bagian dari peran yang harus kumainkan. Tapi segalanya berubah sejak aku bertemu Rara. Segala hal tentang Arga telah kupelajari, kecuali satu: seberapa hangat hubungan Arga dengan Rara, tunangannya.
Hari-hari bersama Rara menjadi paradoks terindah dalam hidupku.
Setiap pagi aku berharap waktu berjalan lambat agar bisa terus berada di sisinya.
Setiap malam aku berdoa agar rahasia ini tak pernah terkuak —
meski aku tahu itu mustahil.
Awalnya aku menjaga jarak, seperti yang diajarkan keluarga Arga. Tapi Rara selalu punya cara untuk menembus pertahananku.
Suatu sore, aku mengajaknya ke kafe mungil di sudut kota. Dulu, Arga asli tak pernah menyukai kafe sederhana seperti ini. Ia lebih memilih restoran mewah. Tapi aku ingin melihat Rara tanpa topeng—tanpa gaun mahal, hanya dirinya yang apa adanya.
Dia tersenyum heran ketika melihatku memesan dua cangkir cokelat panas.
“Kamu biasanya kopi hitam pahit. Kok ganti?”
Aku tertawa kecil. “Kadang aku juga pengen sesuatu yang manis.”
Dia menatapku lama, lalu tersenyum. “Aku suka perubahan ini.”
Kami menghabiskan waktu berjam-jam di sana, membicarakan hal-hal sepele—tentang bunga di taman, tentang lagu yang ia dengarkan sebelum tidur. Setiap kata darinya membuatku ingin merekam semua momen ini, karena aku tahu kebersamaan ini takkan lama.
Suatu malam, aku membawanya berjalan di taman kota yang diterangi lampu kuning redup. Angin membawa aroma tanah basah setelah hujan.
“Kamu capek?” tanyaku.
Dia menggeleng, matanya berkilau. “Enggak. Aku senang bisa jalan kayak gini sama kamu.”
Kami duduk di bangku kayu. Rara bercerita tentang masa kecilnya, tentang mimpinya menulis buku, tentang rasa sepinya hidup seorang diri. Aku hanya mendengarkan, sesekali memberi komentar. Dalam hati aku berkata: Kalau saja aku bisa menjadi orang yang selalu menemaninya… bukan hanya bayangan yang ia kira Arga.
Suatu pagi, kulihat ia kesulitan mengikat rambut karena karet rambutnya putus. Tanpa pikir panjang, aku membeli jepit rambut sederhana.
Saat kami bertemu, aku memberikannya.
“Ini… mungkin berguna buatmu.”
Dia tertegun, lalu tertawa kecil. “Arga… kamu ingat hal sekecil ini? Dulu kamu nggak pernah—” ucapannya terhenti, seolah takut menyinggung.
Aku pura-pura santai. “Mungkin aku baru sadar banyak hal kecil yang terlewat.”
Dia menunduk sambil tersenyum. Senyum itu menusukku—indah, tapi juga mengingatkanku bahwa ia mencintai seseorang yang bukan aku.
Malam itu hujan turun deras. Kami terjebak di kafe kecil, hanya ada dua cangkir teh jahe hangat dan setumpuk serbet. Tanpa sadar, aku menulis di atas salah satunya:
Terima kasih sudah bertahan di sisiku, meski aku tak sempurna. Bersamamu, aku ingin menjadi lebih baik.
Dia membaca, matanya berkaca-kaca. “Arga… aku jatuh cinta lagi sama kamu,” bisiknya.
Aku memejamkan mata. Bahagia dan bersalah bertubrukan. Ia jatuh cinta pada seseorang yang bukan Arga—tapi hatinya memang mencintaiku.
Hari-hari bersamanya seperti meniti benang tipis di atas jurang—indah sekaligus berbahaya.
Beberapa hari kemudian, aku memberinya buku catatan sesuai dengan yang ia minta. Rara langsung mengisinya dengan puisi, duduk di bangku taman sambil sesekali tersenyum sendiri.
Aku duduk di sampingnya, pura-pura membaca, padahal mataku mencuri pandang. Tiba-tiba ia menoleh.
“Kenapa kamu lihat aku terus?” tanyanya menggoda.
Aku tersentak. “Enggak… cuma suka lihat orang serius nulis.”
Ia tertawa kecil, lalu melanjutkan tulisannya.
Kau yang Berubah
Kau…
yang dulu berdiri di sisiku
seperti langit dingin tanpa hujan
membisu, jauh, nyaris tak tersentuh
Kini kau…
datang seperti angin yang membawa wangi tanah basah
menggenggam jemariku erat
seolah takut dunia mencurinya
Jika ini mimpi,
jangan bangunkan aku
karena di sini aku mencintaimu
bukan karena ikatan pertunangan semata,
melainkan karena hati ini telah menemukan rumahnya
Rara menutup buku dengan senyum kecil. “Cuma iseng,” katanya sambil menyerahkan buku itu padaku.
Aku membacanya perlahan. Kata-katanya sederhana, tapi seperti menulis hatiku.
Dadaku sesak. Bahagia dan bersalah kembali bertubrukan. Puisi ini ditulis untuk “Arga” yang bersamanya—yang sebenarnya adalah aku.
Aku menutup buku itu pelan. “Bagus sekali,” ucapku, menahan suara agar tak bergetar.
“Serius?” Ia tertawa kecil.
Aku mengangguk, lalu mengembalikan bukunya. Dalam hati, aku menambahkan: Dan itu juga menyakitkan sekali.
Hujan sore itu mengetuk jendela kafe kecil tempat kami duduk berdua. Rara membuka buku catatan berisi puisi yang sudah ditulis sebelumnya
“Aku bacain, ya. Biar kamu dengar nada bacaanku,” katanya malu-malu.
Ia mulai membaca. Suaranya lembut, setiap kata jatuh perlahan seperti tetesan air ke permukaan hatiku. Aku tak berkedip, takut kehilangan satu detik pun dari momen ini.
Saat kalimat terakhir meluncur dari bibirnya, dadaku penuh oleh campuran hangat, bahagia, dan sakit.
“Gimana? Masih terasa aneh?” tanyanya.
Aku tersenyum samar. “Enggak. Justru… itu puisi paling indah yang pernah kudengar.”
Di luar, hujan belum reda. Tapi di dalam kafe itu, ada kehangatan yang sulit kutinggalkan. Sekaligus bayangan rasa bersalah yang tak pernah pergi.
Semakin lama, semakin kusadari: kebahagiaan ini berdiri di atas kebohongan.
Setiap senyum yang ia berikan, setiap tawa di bawah hujan—semuanya pinjaman waktu. Dan seperti semua pinjaman, suatu hari ia harus dikembalikan.
Aku mulai gelisah. Dalam mimpi, aku melihat Rara menangis, memanggil nama Arga, lalu menatapku dengan benci.
Suatu malam, Rara berbisik pelan, “Arga… kamu berubah jadi orang yang sangat kucintai. Jangan pernah berubah lagi, ya.”
Kata-kata itu menusukku. Bagaimana nanti ketika dia tahu, yang membuatnya jatuh cinta bukanlah Arga… melainkan aku?
Aku hanya bisa menjawab lirih, “Aku berharap… aku bisa terus seperti ini.”
Hari itu aku datang ke rumah sakit untuk menengok Arga yang sudah mulai pulih dan menjalani rehabilitasi. Keluarganya sudah menepati janjinya—setelah Arga sembuh, aku akan pergi baik-baik. Tidak ada alasan untuk Rara tahu.
Rencananya sederhana. Setelah rehabilitasi Arga selesai, aku akan menghilang dari kehidupannya… dan dari kehidupan Rara.
Tapi takdir selalu punya cara lain.
Sore itu, tanpa kuduga, Rara datang ke rumah sakit yang sama. Dia membawa sekeranjang buah untuk menjenguk ibu Arga.
Aku tidak tahu sama sekali kalau dia akan datang.
Aku sedang berbicara dengan dokter ketika dari ujung koridor langkahku terhenti. Mataku menangkap sosok yang kukenal terlalu baik: Rara. Dia berjalan sambil menunduk, memegang keranjang buah dengan kedua tangan.
Di saat yang sama, pintu ruang fisioterapi terbuka… dan Arga yang asli keluar, dibantu perawat.
Rara mendongak. Wajahnya memucat. Matanya membelalak melihat Arga asli—orang yang benar-benar mirip dengan “tunangan” yang selama ini bersamanya.
Lalu, seperti gerakan refleks, kepalanya menoleh cepat… dan melihatku berdiri di ujung koridor.
Itu momen ketika waktu seperti berhenti.
Dua sosok yang sama—aku dan Arga asli—berada di tempat yang sama. Dan di antara kami, ada Rara yang perlahan kehilangan pijakan.
“Siapa… kalian…?” suaranya bergetar, matanya bergantian menatap kami.
Aku melangkah maju, mencoba bicara, tapi Arga yang asli menahan lenganku.
“Aku yang akan jelaskan,” katanya lirih.
Keluarga Arga bergegas menghampiri, mencoba meredakan keadaan. Tapi Rara menepis tangan mereka. “Jangan ada yang bohong lagi!” serunya, air matanya mulai jatuh.
Akhirnya aku maju selangkah. “Rara… maafkan aku. Aku… bukan Arga.”
Wajahnya pucat. Matanya memancarkan kebingungan dan luka sekaligus.
“Jadi… semua ini bohong?” suaranya hampir tak terdengar.
Ruangan itu terasa begitu sunyi.
Rara terdiam lama, kedua tangannya menggenggam erat ujung keranjang buah seolah itu satu-satunya pegangan yang ia miliki. Tatapannya bergantian ke arahku dan Arga.
Di matanya, semua momen indah yang pernah kami lalui seolah pecah menjadi serpihan tajam—menggores perasaan yang bahkan tak bisa ia ungkapkan.
Keheningan panjang merambat seperti kabut tebal.
Arga akhirnya memecahnya.
“Rara…” suaranya tenang, tapi sarat beban. “Kau mencintai dia, bukan aku.”
Rara memalingkan wajah, bahunya sedikit bergetar. Air matanya jatuh tanpa bisa ia cegah. “Aku… aku nggak tahu lagi, Ga. Tapi yang membuatku bahagia selama ini… bukan kamu.”
Arga menarik napas panjang, menahan sesuatu di dadanya. Ia tersenyum tipis, senyum yang justru membuat dadaku makin sesak.
“Aku mengerti,” ujarnya. “Cinta nggak bisa dipaksakan. Aku tak akan menahanmu hanya karena pertunangan ini.”
Aku menatap Arga. Dada terasa diremas. “Arga… maafkan aku. Aku nggak pernah berniat merebut hidupmu. Semua ini… cuma peran yang kebablasan.”
Arga menggeleng pelan, menatapku dengan mata teduh. “Peran? Dari caramu melihat Rara, aku tahu itu bukan sekadar peran. Kau mencintainya.”
Aku terdiam. Tak ada kata yang bisa kuberikan selain diam itu sendiri.
Arga menunduk sebentar, lalu menatap kami berdua. Ada jeda panjang di sana, seolah ia sedang merangkai kata-kata terakhir yang telah lama ia simpan.
“Aku sudah memikirkan ini sejak sadar dari koma,” katanya perlahan. “Sejak aku membuka mata, yang terlintas di pikiranku bukan pertunanganku… tapi ibuku. Kalau aku harus kehilangan Rara, tapi Ibu bisa selamat dan sembuh tanpa menanggung pukulan besar… itu harga yang rela kubayar.”
Ia lalu menoleh padaku.
Tatapannya tenang, tapi di baliknya ada rasa letih yang tak bisa disembunyikan. “Kau sudah melakukan hal yang tak pernah bisa kubalas. Menyelamatkan Ibuku dari rasa sakit, menjaga semuanya tetap utuh. Untuk itu… terima kasih.”
Mataku panas. Rasa bersalah dan rasa hormat bercampur menjadi satu.
Rara menunduk, air matanya jatuh pelan di atas jemarinya yang menggenggam keranjang buah.
Arga menarik napas lagi, lalu menatap Rara.
“Aku tidak akan memaksamu, Ra. Kalau hatimu memilih dia, maka aku ikhlas. Yang terpenting bagiku… Ibu bisa tersenyum lagi. Dan aku tahu, semua ini bisa terjadi karena dia.”
Suara hujan di luar jendela terdengar samar, seperti mengiringi kata-kata terakhir Arga.
Dan di ruangan itu, tak ada lagi yang tersisa selain hening, air mata, dan rasa ikhlas yang membungkus kami bertiga dalam sunyi yang anehnya… terasa melegakan.
Beberapa hari setelah pertemuan di rumah sakit itu, dunia seperti berhenti di antara kami bertiga. Aku, Arga, dan Rara — tiga hati yang sama-sama berdarah oleh kebenaran yang datang terlalu cepat.
Aku memilih menjauh. Tapi Rara datang padaku lagi. Wajahnya lelah, tapi tatapannya mantap seperti seseorang yang telah memutuskan sesuatu yang berat.
“Kenapa kamu menghindariku?” suaranya pelan, tapi cukup untuk mengguncang dinding pertahananku.
Aku menarik napas panjang. “Karena aku nggak pantas. Semua ini cuma kepura-puraan yang kebablasan.”
Dia menatapku dalam-dalam. “Cinta bukan kesalahan,” katanya. “Aku mencintaimu bukan karena aku mengira kamu Arga. Tapi karena kamu… membuatku hidup lagi.”
Aku menunduk. Suara di dadaku seperti retak. “Tapi kalau aku tetap di sisimu, Rara… Arga akan kehilangan semuanya. Ibunya, keluarganya, dan mungkin dirinya sendiri.”
Dia terdiam. Air matanya menetes, jatuh tanpa suara.
“Lalu aku harus bagaimana, kalau kehilangan kamu berarti aku kehilangan diriku sendiri?”
Aku tak menjawab. Karena tak ada jawaban yang tidak menyakiti.
Hari berikutnya, aku menerima sepucuk surat. Tulisan tangannya gemetar tapi indah — huruf-huruf yang menahan air mata.
“Kamu benar. Aku tak boleh membiarkan cinta ini membunuh dua hati yang tulus. Aku mencintaimu, tapi mungkin cinta ini hanya dikirim Tuhan untuk mengajarkan arti kehilangan. Hari ini aku pamit. Bukan karena aku tidak mencintaimu, tapi karena aku mencintaimu terlalu dalam untuk membuatmu terus menanggung rasa bersalah. Aku akan pergi ke tempat di mana tidak ada nama yang harus aku panggil dengan salah.
—Rara.”
Aku membacanya berkali-kali. Sampai huruf-hurufnya kabur oleh air mata. Hari itu juga, Rara benar-benar pergi. Nomor ponselnya tidak aktif, tempat tinggalnya kosong, bahkan Arga pun tak tahu ke mana. Yang tersisa hanya buku berisi puisi-puisinya — buku yang dulu kuberikan untuknya.
Di salah satu halaman, ada bait yang tak sempat ia bacakan padaku:
“Jika kelak aku pergi,
jangan tangisi kepergian ini.
Karena cinta yang paling sejati
bukan yang menggenggam erat,
tapi yang rela melepas,
agar yang dicintai tetap utuh.”
Aku menutup buku itu dan menangis — bukan karena kehilangan, tapi karena menyadari betapa besar cintanya. Ia tak memilihku, tak memilih Arga. Ia memilih melepaskan, agar cinta itu tak menjadi dosa bagi siapa pun.
Seminggu kemudian, Arga datang padaku. Ia tampak lebih tenang walaupun terlihat belum pulih benar, tapi matanya masih menyimpan sesuatu.
“Rara menghubungiku,” katanya lirih. “Lewat surat. Ia minta maaf pada Ibu, padaku, juga padamu. Ia bilang… ia butuh waktu untuk berdamai.”
Aku menatapnya. “Dia baik-baik saja?”
Arga tersenyum tipis. “Dia bilang, sekarang setiap pagi dia menulis di tepi pantai. Katanya, ombak mengajarinya cara melupakan tanpa membenci.”
Kami sama-sama diam. Langit sore itu berwarna jingga keemasan, tapi rasanya dingin sekali.
Aku masih menyimpan buku catatannya. Kadang kubuka, kubaca satu bait, lalu kututup lagi — seperti membuka luka yang tak ingin sembuh.
Rara tak pernah kembali. Tapi aku tahu, di suatu tempat, ia hidup dengan tenang — dengan sisa cinta yang tak pernah benar-benar padam.
Mungkin begitulah takdir:
beberapa cinta tidak ditakdirkan untuk bersama,
tapi untuk menyembuhkan jiwa yang hampir hancur.
Dan aku belajar satu hal dari Rara:
bahwa ada cinta yang begitu suci,
hingga satu-satunya cara menjaganya
adalah dengan kehilangan.
Beberapa bulan kemudian, rumah Arga sudah ramai lagi — ibunya mulai tersenyum, Arga sudah benar-benar pulih, dunia seperti memulihkan dirinya sendiri.
Tapi aku… tidak.
Sejak hari itu, setiap kali matahari terbit, aku merasa seperti orang yang kehilangan arah di dalam cahaya. Ada sesuatu yang hilang di udara — bukan sekadar raga, tapi kehadiran yang membuat waktu terasa hidup.
Aku masih sering datang ke taman kota tempat kami dulu duduk berdua. Bangku kayu itu tetap sama, hanya dedaunannya yang lebih rimbun. Tapi setiap kali aku duduk di sana, aku mendengar gema langkah Rara — langkah ringan yang selalu datang bersama tawa kecil dan aroma teh jahe yang menguap dari cangkir.
Kini hanya ada angin, dan suara hatiku yang terus memanggil namanya dalam diam.
Suatu sore, Arga datang ke rumahku.
“Dia menulis surat untukmu,” katanya pelan, sambil menyerahkan sebuah amplop krem yang agak lembap oleh hujan. “Tapi dia menitipkannya lewatku. Katanya… kalau kamu sudah bisa tersenyum tanpa menahan air mata, barulah kamu boleh membacanya.”
Aku menggenggam amplop itu lama sekali. Kertasnya terasa dingin, tapi di dalamnya, aku tahu ada sesuatu yang akan membakar habis seluruh pertahananku.
Malam itu aku tak bisa tidur. Amplop itu tergeletak di atas meja — kecil, tapi mengandung beban yang berat sekali. Aku menatapnya lama, lalu akhirnya membuka perlahan, takut kalau huruf-huruf di dalamnya akan hancur oleh sentuhanku sendiri.
Tulisan tangannya masih sama: rapi, lembut, tapi kali ini agak gemetar. Kertasnya harum, seperti wangi laut — mungkin karena tempat ia menulisnya.
Untuk kamu, yang pernah kucintai di antara dua nama.
Aku mencintaimu.
Bukan karena kamu Arga, bukan karena kebetulan.
Tapi karena di antara kebohongan dan peran yang kamu mainkan, aku menemukan kebenaran paling jujur dalam hatiku.
Namun cinta, seperti bunga yang tumbuh di tanah yang retak, tidak selalu bisa hidup tanpa melukai. Aku tidak ingin menjadi luka bagi Arga, atau bayangan dalam hidupmu.
Jadi biarkan aku menjadi kenangan yang indah — bukan dosa yang kita pelihara bersama.
Aku mulai menulis di tepi laut sejak meninggalkanmu. Laut, katanya, bisa menyimpan semua rahasia, termasuk cinta yang tidak bisa diteriakkan. Kalau suatu hari kamu merasa angin laut memeluk wajahmu, percayalah… itu aku, yang sedang mendoakanmu diam-diam.
Jangan mencariku. Karena kalau kamu mencariku, kamu akan kehilangan dirimu sendiri.
Aku tidak memilihmu.
Aku juga tidak memilih Arga.
Aku memilih kehilangan, agar cinta ini tetap murni — tetap utuh seperti pertama kali aku merasakannya di bawah hujan sore itu.
— Rara.
Aku membaca surat itu berulang-ulang. Setiap kalimatnya seperti pisau yang dingin dan lembut sekaligus. Sampai aku tak tahu lagi, apakah air mata ini keluar karena sedih… atau karena terlalu cinta.
Beberapa minggu kemudian, aku memutuskan pergi ke pantai. Sebuah tempat di utara kota, tempat ombak datang silih berganti tanpa lelah. Langit sore itu berwarna kelabu keunguan — seperti hatiku sendiri.
Aku duduk di atas batu besar, memandangi cakrawala. Angin laut menyapu wajahku, membawa aroma asin dan sedikit dingin. Entah kenapa, aku merasa seolah angin itu mengenalku. Seolah ada yang berbisik pelan di sela-selanya: “Sudah saatnya melepaskan.”
Aku membuka buku catatannya. Halaman terakhir berisi puisi, tanpa judul.
Aku pergi bukan untuk melupakan,
tapi untuk menjaga agar kenangan tetap indah.
Karena kalau aku tetap di sisimu,
cinta ini akan berkarat oleh rasa bersalah.
Jadi biarlah aku mencintaimu dari jauh,
dari tempat di mana hanya angin dan laut yang tahu namamu.
Jangan tunggu aku.
Karena dalam doa yang paling sunyi,
aku sudah menunggumu lebih lama dari waktu itu sendiri.
Aku menutup buku itu pelan, dan untuk pertama kalinya, aku menangis tanpa suara.
Bukan tangis putus asa, tapi tangis yang datang dari tempat yang lebih dalam — tempat di mana cinta dan kehilangan menjadi satu.
Langit mulai gelap. Ombak memukul karang dengan irama yang sama seperti detak jantungku yang patah. Aku berdiri, menatap laut yang luas, lalu berbisik lirih:
“Terima kasih, Rara. Karena telah mencintaiku dengan cara yang paling berani — dengan melepaskan.”
Seketika itu, angin berhembus kencang, menyapu rambutku, seperti pelukan terakhir dari seseorang yang tak akan pernah kembali.
Malam turun perlahan. Di antara suara ombak dan cahaya bulan yang pecah di permukaan air, aku melihat sesuatu: bayangan seorang perempuan di kejauhan, duduk di tepi pasir, menulis sesuatu dengan jemarinya di atas pasir basah.
Aku memejamkan mata. Aku tahu itu hanya imajinasi. Tapi rasanya nyata.
Dalam hati, aku menjawab bisikan yang tak terdengar itu:
Aku tidak akan melupakanmu. Tapi aku juga tidak akan memenjarakan cintamu di dalam kesedihan.
Aku melangkah pergi perlahan, meninggalkan pantai itu dengan langkah yang tak lagi berat.
Karena di sanalah akhirnya aku mengerti:
beberapa cinta tidak ditakdirkan untuk dimiliki, tetapi untuk mengajarkan kita cara mencintai dengan ikhlas.
Epilog
Beberapa tahun kemudian, aku mendengar kabar samar tentang seorang perempuan yang kini menjadi penulis lepas di sebuah kota pesisir. Ia menulis kisah-kisah pendek tentang laut, tentang kehilangan, dan tentang seorang lelaki yang pernah menyamar menjadi orang lain demi cinta.
Namanya tak pernah disebut — hanya nama pena yang tertera di setiap karyanya. Namun aku tahu, di setiap paragraf yang ia tulis, ada aku yang diam-diam ia abadikan. Dan mungkin, di setiap tarikan nafasku, masih ada dirinya yang tak pernah benar-benar pergi.
Di bawah langit sore yang sama, aku membaca kembali suratnya, lalu berbisik pada angin:
“Kau benar, Rara. Cinta sejati tidak selalu berakhir dengan memiliki. Kadang, ia justru hidup paling lama… dalam kehilangan.”
TAMAT
Depok, 1 November 2025
