Cerpen - Genggaman yang Membuka Langit
Sore itu, di tahun 2008, matahari merayap pelan di balik pucuk pepohonan komplek perumahan kami. Burung-burung bernyanyi lirih, seakan menjadi latar bagi langkah istriku yang pulang dari majelis taklim di rumah salah seorang warga. Ia datang menemuiku di ruang tamu.
"Mas," ucapnya lirih, senyumnya hangat tapi matanya berbinar seolah baru menyentuh sepotong langit. "Tadi ustadz bercerita tentang haji..."
Aku menatapnya, "Apa katanya?"
"Beliau bilang, 'Mulailah dengan keyakinan, bukan dengan hitung-hitungan. Keluarkan uangmu yang ada di dompet, genggam, dan berdoalah. Jadikan itu tabungan awal. Allah tidak butuh jumlah, tapi niat dan yakinmu.'"
Ia terdiam sebentar, lalu mengeluarkan selembar uang lusuh dari tasnya. "Ini yang Aku keluarkan tadi. Lima ribu rupiah. Tapi Aku menggenggamnya sambil menangis, Mas... Rasanya seperti menggenggam kunci Ka'bah."
Aku tak langsung menjawab. Di benakku, angka-angka mulai bermain—gaji bulanan, kebutuhan dapur, dan biaya sekolah. Tapi dalam diam, hatiku pun ikut terguncang. Ada sesuatu yang lebih besar dari logika sedang menyelinap: harapan.
Hari itu di majelis, kata istriku, ustadz bersuara tak lantang, tapi menggetarkan.
"Jangan tanyakan bagaimana caranya kalian bisa ke Baitullah. Tanyakan pada diri kalian: kapan kalian mulai percaya bahwa Allah mampu menjemput kalian ke sana."
Jemaah hening.
"Ambil uang kalian. Tak peduli seribu, dua ribu, lima ribu. Keluarkan sekarang. Genggam erat dan pejamkan mata. Bayangkan kalian bersama suami sedang berada di sisi Ka'bah. Katakan dalam hati: Ya Allah, ini awal tabungan hajiku. Sisanya aku serahkan pada-Mu."
Satu per satu, ibu-ibu menggigilkan jemari. Ada yang menangis. Ada yang memeluk uang receh seperti memeluk mimpi yang lama terkubur. Istriku juga. Katanya, uang lima ribu yang biasanya tak lebih dari ongkos sayur hari itu berubah menjadi cahaya. Dalam genggamannya, ia merasa Ka'bah begitu dekat, meski langkah kakinya masih jauh.
Sejak hari itu, kami mulai menabung. Sedikit demi sedikit. Aku menyisihkan gaji bulanan.
Bulan berganti tahun. Rezeki datang tiba-tiba.
Akhirnya, kami pun mendaftar haji di tahun 2013. Saat menerima surat resmi itu, aku dan istriku saling menggenggam tangan seperti dulu ia menggenggam uang lima ribu itu. Kini bukan kertas receh, tapi undangan dari Tuhan.
Ungkapan hati dan doa untuk Istriku Tercinta,
Istriku yang selalu meneduhkan hatiku…
Sore ini aku teringat kembali pada satu momen yang diam-diam mengguncang hidupku—sore tahun 2008, saat kamu pulang dari majelis dengan mata berbinar dan membawa selembar uang lima ribu dalam genggaman. Bukan jumlahnya yang membuatku terdiam waktu itu, tapi keyakinanmu… yang begitu besar, begitu dalam, dan begitu tulus. Aku bisa melihat cahaya di balik genggaman kecil itu—bukan sekadar uang receh, tapi sebuah kunci yang kelak membuka pintu langit bagi kita.
Terima kasih, Sayang…
Terima kasih karena kamu yang lebih dulu percaya. Kamu yang lebih dulu menggenggam harap, bahkan ketika aku masih sibuk menghitung-hitung kemungkinan. Terima kasih karena dari tangan kecilmu, lahir sebuah langkah besar dalam hidup kita. Tanpa kalimatmu sore itu, mungkin aku masih menunda-nunda keyakinan.
Maafkan Masmu…
Maaf karena bukan aku yang pertama kali memiliki keberanian itu. Maaf karena saat kamu sudah melangkah dengan doa dan air mata, aku masih tertinggal dalam kebimbangan. Tapi justru karena kamu, aku belajar—belajar bahwa niat itu bisa mengalahkan jarak, bahwa keyakinan itu bisa menggulung segala keraguan.
Doamu telah menjadi kendaraan kita. Dan genggamanmu yang sederhana, telah menjadi undangan suci dari Tuhan.
Kini, setiap kali mengingat langkah-langkah kecil yang kita ayunkan bersama sejak hari itu, aku hanya bisa bersyukur—telah ditakdirkan bersamamu, seorang istri yang diam-diam mengajarkanku cara berharap dengan sebenar-benarnya.
Yang Maha Menggenggam hati hamba-hamba-Mu,
aku bersujud dengan penuh syukur atas anugerah terbesar dalam hidupku:
istri yang Engkau kirimkan sebagai penenang jiwa dan penuntun langkahku.
Saksikanlah bahwa hari ini aku mendoakan istriku dengan segenap hatiku.
Lindungilah ia dengan rahmat-Mu di setiap napasnya.
Lapangkan dadanya sebagaimana ia telah melapangkan dadaku.
Sehatkan tubuhnya sebagaimana ia telah menyehatkan pikiranku dengan keteguhan imannya.
Ampunilah segala kekhilafannya, sebagaimana ia selalu memaafkan kekuranganku.
Jadikan setiap tetes air matanya di sajadah sebagai permata yang Engkau kumpulkan
untuk menuntun langkahnya ke surga-Mu.
Sebagaimana Engkau ijinkan ia menggenggam uang lima ribu dengan keyakinan
dan Engkau bukakan jalan menuju Baitullah,
maka ijinkanlah ia menggenggam tanganku hingga kami sama-sama
melangkah menuju surga-Mu.
Jadikan rumah kami teduh karena sabarnya,
rezeki kami lapang karena syukurnya,
dan hidup kami berkah karena doa-doanya. Engkaulah sebaik-baik Penjaga cinta,
dan aku menitipkan cintaku pada istriku dalam genggaman-Mu. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamiin.
Depok, 9 Agustus 2025
