Cerpen - Senyum yang Tertinggal di Warung Padang
Sabtu selalu menjadi hari yang padat, tapi sekaligus memberi ruang untukku bernapas. Dari Senin sampai Jumat, aku bekerja di sebuah perusahaan elektronik di Depok. Aku sudah berkeluarga, anakku duduk di bangku SMP, dan rutinitas ini sudah jadi ritme hidupku bertahun-tahun. Setiap Sabtu, seperti biasa, aku seharian berada di kampus Politeknik di Lenteng Agung. Mengajar, membimbing mahasiswa yang lagi pusing dengan tugas akhir, atau duduk di ruang sidang menjadi penguji.
Menjelang siang, perutku selalu mengingatkanku pada satu ritual sederhana: makan di warung Padang di Jalan Muhammad Kahfi 2. Warung itu tak pernah sepi. Selain mahasiswa politeknikku, banyak juga mahasiswa dari kampus seberang yang makan di sana. Aku selalu memesan menu yang sama—nasi ayam bakar—dan biasanya mencari tempat duduk di bagian belakang. Agak tenang di sana, jauh dari riuh antrean dan piring beradu.
Hari itu tak berbeda. Aku sudah duduk menunggu pesanan ketika seorang gadis muncul di hadapanku. Dia memilih duduk tepat di depanku tanpa basa-basi. Wajahnya segar, masih menyisakan canggung ala mahasiswa baru. Pesanannya datang bersamaan dengan punyaku.
"Sendiri aja, Pak?" tanyanya sambil tersenyum kecil.
Aku mengangguk. Senyum itu memecah jarak. Percakapan mengalir ringan: pekerjaanku sebagai pengajar di politeknik, tugas-tugas mahasiswa, sampai cerita singkatnya sebagai mahasiswi tingkat dua di kampus seberang. Entah kenapa, meski baru pertama bertemu, rasanya seperti berbincang dengan seseorang yang sudah lama dikenal. Ada kehangatan yang singkat tapi nyata, seolah jam makan siang itu membekukan waktu di tengah hiruk-pikuk Sabtu kampus.
Setelah suapan terakhirnya, ia menatap jam tangan.
"Pak, saya duluan ya. Jam satu ada kuliah."
Aku hanya mengangguk. Dia melangkah pergi tanpa tergesa, tapi aku tak memperhatikan lagi saat ia melewati pintu warung. Aku masih duduk sebentar, menikmati sisa santai siangku karena tak ada jadwal kelas di jam satu.
Begitu aku berdiri dan menuju kasir untuk membayar, si ibu kasir berkata ringan,
"Semua dua orang, Pak, tiga puluh lima ribu."
Aku tertegun sepersekian detik. Dua orang? Oh, ternyata gadis itu meninggalkan meja tanpa membayar. Aku tak tahu apakah ia sengaja atau hanya lupa. Aku membayar tanpa protes.
Keluar dari warung, langkahku terasa ringan tapi juga aneh. Ada rasa geli, ada rasa hangat yang samar. Dalam hati, aku bertanya-tanya, apakah ini cuma makan siang biasa yang sedikit berbeda, atau sebuah cerita kecil yang memang sengaja dititipkan semesta—tentang pertemuan singkat, senyum yang tertinggal, dan sepiring ayam bakar yang tak pernah kupikir akan kubayar untuk dua orang.
Depok, 2 Agustus 2025
