Cerpen - Sajak Sunyi di Bawah Langit Februari
Kisah tentang sepotong perjalanan pramuka yang perlahan menjelma menjadi ziarah batin
Sinopsis
Pada sore hujan di bulan Februari 1991, sekelompok pelajar SMA mengikuti reli Pramuka yang membawa mereka menembus sungai, sawah berlumpur, dan jalanan malam yang gelap. Di tengah perjalanan penuh keletihan, seorang remaja putra tanpa sengaja menemukan dirinya berjalan berdua dengan seorang siswi yang sebelumnya nyaris tak ia kenal. Dalam percakapan sederhana—tentang sekolah, guru, makanan, hingga mimpi masa depan—tumbuh sebuah kehangatan yang tidak dinamai cinta, tetapi meninggalkan jejak mendalam.
Setelah malam itu, hubungan mereka tak pernah benar-benar terjalin sebagai pasangan. Hanya sapaan singkat di sekolah, kebersamaan bersepeda, dan beberapa pertemuan kecil yang membekas. Ketika sang gadis mulai berhijab dan menempuh jalan hidup yang lebih religius, jarak pun terbentuk di antara mereka. Namun kenangan tentang malam hujan, lumpur sawah, dan percakapan sunyi tetap melekat sebagai sebuah “sajak batin” yang tak pernah benar-benar selesai.
Dua puluh empat tahun kemudian, saat reuni perak SMA, sang tokoh utama menyadari bahwa kisah itu bukanlah tentang cinta yang gagal, melainkan tentang pelajaran jiwa. Ia kini telah berkeluarga, bahagia bersama istri dan anak, dan hanya menyimpan kenangan Februari itu sebagai bagian dari perjalanan batin. Ia belajar bahwa tidak semua pertemuan harus berakhir dengan kepemilikan; ada yang cukup dikenang dengan hormat, sebagai doa yang sunyi di dalam hati.
“Sajak Sunyi di Bawah Langit Februari” adalah memoar tentang masa muda, hujan, lumpur, dan perjumpaan singkat yang berubah menjadi pelajaran hidup: bahwa cinta pertama tak selalu untuk dimiliki, tetapi bisa menjadi cahaya yang menuntun pada cinta sejati yang akhirnya dipilih.
Cerpen ini menjadi bagian dari buku Kumpulan Cerpen Anafis '93, delapan kisah yang berpadu dalam satu napas: kisah, waktu, dan keheningan.
