Cerpen Remaja - Tatapan yang Tak Pernah Sampai

 


Prolog

Ada kenangan yang tak lahir dari kata, melainkan dari diam yang terlalu penuh untuk diucapkan. Kadang, justru pertemuan singkat yang tak pernah selesai itulah yang menetap paling lama di hati.

Aku tidak pernah benar-benar tahu mengapa malam api unggun itu begitu membekas—apakah karena nyala api yang menari, atau karena sepasang mata yang sempat menoleh padaku, lalu membuat waktu seakan berhenti.

Sejak saat itu, aku belajar bahwa cinta pertama bukan selalu tentang memiliki, melainkan tentang bagaimana satu momen kecil bisa menyalakan cahaya yang tak padam oleh jarak dan waktu.


Malam itu,
Nyala api menjilat langit, mengusir dingin di antara pohon-pohon pinus yang berdiri seperti penjaga sunyi. Kami duduk melingkar, bernyanyi dengan suara yang kadang sumbang, tapi penuh tawa. Malam puncak perkemahan Pramuka antar kelas SMP kami tiba dalam kehangatan yang tak seluruhnya berasal dari api unggun.

Aku duduk di lingkaran, tak jauh dari seorang adik kelas yang wajahnya baru kukenal sore itu—Anjani, begitu tertera di badge-nya. Ia tak banyak bicara, hanya sesekali tersenyum saat teman-temannya menggoda.

Namun saat api unggun mulai meredup, dan para pembina memberi wejangan tentang semangat dan pengabdian, entah bagaimana kami duduk bersisian. Tak sengaja. Atau takdir yang pura-pura acak.

Kami tak berbicara. Tapi saat aku menoleh dan mata kami bertemu, ada sesuatu yang lebih hangat dari nyala api di tengah lingkaran. Sesuatu yang membuatku lupa bahwa malam telah larut.

Aku masih mengingat malam itu sampai hari ini—bukan karena apa yang kami lakukan, tapi justru karena apa yang tidak kami lakukan.

Tak ada kata. Tak ada janji. Tapi kenangan itu menetap.

Dua tahun berselang.


Monolog Batin (Bergantian)

[Aku]

Aku kini duduk di bangku kelas satu SMA, dan Pramuka masih menjadi rumah tempatku kembali.

Dalam perjalanan menuju tingkat Bantara, aku harus menjalani program penerjunan: kembali ke sekolah lamaku untuk menjadi pendamping pembina—SMP, tempat segalanya pernah bermula.

Aku berdiri di depan kelas, menggenggam spidol seakan menggenggam waktu yang rapuh. Di balik papan tulis yang kusam, kucoba menjelaskan sandi Morse dengan suara yang kuatur agar terdengar tegas. Namun entah mengapa, jantungku berdetak kencang—seperti murid baru yang dipanggil guru killer ke depan kelas.

Lalu mataku menangkap wajah itu. Anjani.


[Anjani]

Itu dia.
Kakak kelas yang dulu duduk di sampingku saat malam api unggun.
Yang diam-diam membuatku berharap perkemahan tak cepat berakhir.
Kini dia berdiri di depan kelas kami—lebih tinggi, lebih tenang, tapi matanya masih sama.

Kupikir aku sudah melupakan rasa itu.
Ternyata tidak.
Seketika aku kembali menjadi gadis kecil yang menatapnya dari balik api unggun, menyimpan debar di dada.


[Aku]

Kau duduk di bangku ketiga dari depan. Jilbab dan seragammu rapi. 
Wajahmu tampak sedikit lebih dewasa, tapi cahaya di matamu masih sama.

Aku ingin menyapamu.
Satu kata saja.
Anjani...

Tapi aku diam.
Bibirku seakan ditahan oleh kenangan yang takut berulang.


[Anjani]

Tatapan itu—aku tahu tatapan itu.
Dia mengenaliku.
Tapi kenapa dia tak bicara?

Ingin sekali aku mengangkat tangan, pura-pura bertanya soal sandi, hanya agar dia menoleh ke arahku. Tapi aku takut.
Takut harapanku ditertawakan oleh kenyataan.


[Aku]

"Ini contoh sandi Morse," kataku sambil menulis. Tapi hatiku sibuk membaca sandi yang lebih rumit: Tatapanmu.

Kau diam, tapi aku tahu ada sesuatu di situ.
Sama seperti malam itu.
Sama seperti saat kita duduk di bawah langit dan nyala api—tanpa kata, tapi saling mengerti.


[Anjani]

Dia selesai menjelaskan.
Aku tahu kelas akan segera berakhir.

Waktu yang dulu menghapus jarak kini memberiku kesempatan. Tapi kenapa tak satu langkah pun bisa kuambil?

Kupandangi punggungnya saat ia berbalik.
Hanya diam.
Padahal jarak kami hanya beberapa langkah.
Padahal hatiku ingin berteriak:
“Kak, aku masih ingat malam itu.”


[Aku]

Kau melangkah keluar bersama teman-temanmu.
Aku berdiri di ambang pintu, hanya menatapmu pergi.
Sekali lagi.
Seperti dulu.
Seperti selalu.

Padahal ada banyak hal yang bisa kulakukan. Tapi aku memilih diam.
Dan diam itu...
kini menjadi satu-satunya yang kupunya tentangmu.


[Anjani]

Mungkin memang begini takdirnya.
Kita bukan dua tokoh dalam kisah cinta yang saling menemukan di akhir cerita.
Kita hanya dua nama dalam satu bab yang tak pernah selesai ditulis.

Tapi andai saja...
Andai saja ada keberanian, walau sekejap,
mungkin kita bisa menukar satu senyuman
untuk semua kata yang tak pernah diucapkan.


Epilog

Malam itu telah lama padam, dan api unggun kini hanya hidup di ingatan.

Waktu terus berjalan, membawa kami ke jalan yang berbeda—jalan yang tak pernah bersilang lagi, kecuali di dalam hati. Tak ada pertemuan ketiga. Tak ada kisah yang kembali ditulis. Tapi entah mengapa, cerita yang sebentar itu justru menetap. Seperti daun kering yang enggan jatuh, meski musim telah berganti.

Barangkali memang bukan takdir kami untuk saling memiliki, melainkan hanya saling mengingat.
Seperti nyala kecil di malam sunyi—tidak cukup untuk membakar, tapi cukup untuk menghangatkan hati yang pernah merasa.

Dan meski kami tak pernah saling bicara, tak pernah saling sapa, kami pernah saling diam pada waktu yang sama. Dan diam itu... adalah cara kami mencintai yang paling jujur.

Kini, bila ada yang bertanya tentang cinta pertama, aku akan tersenyum kecil dan menjawab dalam hati:

“Pernah, di antara nyala api dan pohon pinus... aku menemukan seseorang yang tak pernah sempat menjadi siapa-siapa, tapi juga tak pernah benar-benar pergi.”


TAMAT

Depok, 4 Oktober 2025


✨ Tentang Penulis ✨

Setiap cerita lahir dari harapan, doa, dan cinta yang tersembunyi.
Siapakah sosok di balik kisah-kisah ini? Temukan jawabannya...

CERPEN KARYA ANAFIS '93

Buku kumpulan cerpen ini menghadirkan delapan kisah yang merentang dari cinta masa remaja, persahabatan, pengorbanan, hingga perenungan spiritual. Masing-masing cerita bukan sekadar fiksi, tetapi berangkat dari pengalaman batin yang diolah menjadi narasi penuh makna

Seorang dosen Fisika menemukan makna cinta melalui mahasiswinya, saat hukum gravitasi berubah menjadi metafora tentang rasa yang saling menarik namun tak bisa dimiliki. Cinta di antara mereka tidak pernah terucap, hanya hadir dalam bentuk pengertian, penghormatan, dan kenangan yang tak lekang oleh waktu.

Dalam perjalanannya sebagai gadis sederhana yang jatuh cinta pada rekan kerja barunya, Adipta harus belajar menerima kenyataan pahit bahwa debar yang ia simpan tak pernah berbalas, hingga akhirnya ia menemukan bahwa cinta sejati bukan selalu tentang memiliki, melainkan tentang kerelaan untuk mencintai dalam diam dan merelakannya lewat doa.

Cerita ini mengisahkan cinta tragis antara Baridin, pemuda miskin Jagapura Lor Kabupaten Cirebon, dan Suratminah, putri juragan kaya, yang berakhir nestapa oleh jurang derajat, hinaan, dan takdir.

Cerpen Remaja ini mengisahkan tentang cinta pertama yang lahir di bawah nyala api unggun, terjaga dalam diam, dan abadi dalam kenangan.

Cerpen ini menyiratkan perjalanan tobat dan kesadaran spiritual yang dalam, serta pencarian akan rekonsiliasi dengan diri sendiri — sebagai langkah awal untuk menata hidup yang lebih baik.

Kisah tragis tentang Dirman dan Surti, dua sejoli yang cintanya kandas oleh kepercayaan weton hingga berakhir di dua pusara berdampingan, menjadi pelajaran bahwa hidup dan mati hanyalah di tangan Allah, bukan ramalan.

Di balik senyum dan jilbabnya yang teduh, Anggraeni menyembunyikan cinta sunyi pada dosennya—cinta yang tak pernah berani ia ucapkan, hanya bisa ia rawat dalam doa dan diam, tumbuh sebagai rahasia manis sekaligus luka halus yang terus ia tanggung sendirian

Kasih dalam Sebutan Adik adalah kisah epistolari tentang hubungan yang bermula dari panggilan kakak-adik antara Ati dan Azis, namun perlahan berkembang menjadi cinta yang indah sekaligus rumit, terjalin lewat surat, kerinduan, dan pertanyaan tentang batas kasih sayang.

Kisah ini mengurai pertemuan seorang trainee Indonesia dan Haruka di Osaka, yang masih dibayangi hubungan pahitnya dengan Tio—seorang trainee lain dari Indonesia yang pernah ia cintai—hingga lewat surat-surat dan kenangan masa lalu mereka akhirnya menyadari bahwa cinta kadang harus melewati luka dan perpisahan sebelum berlabuh pada pintu maaf.

Melepasmu Dua Kali adalah kisah tentang dua sahabat SMA yang pernah berbagi kenangan indah bersama, lalu dipertemukan kembali setelah sepuluh tahun dalam reuni, namun akhirnya harus berani mencintai tanpa memiliki dan ikhlas melepas demi kebaikan.

Sahabat Terbaik mengisahkan dua sahabat kecil yang dipertemukan kembali oleh surat yang salah paham, lalu tumbuh menjadi cinta yang tak pernah terucap, dan akhirnya hanya bisa disimpan sebagai doa, kenangan, serta pengakuan tulus dalam diam.

Kisah ini menuturkan pertemuan tak terduga antara Hiro dan Michiyo yang tumbuh menjadi persahabatan hangat, lalu cinta yang akhirnya diakui namun harus dilepaskan, meninggalkan jejak indah tentang pertemuan, perpisahan, dan keikhlasan melepaskan.

Kisah ini mengurai perjalanan seorang kakak yang berpegang pada wasiat ibunya untuk menjaga adiknya, hingga di tengah perjuangan hidup dan pertemuan dengan cinta yang tak bisa dimiliki, ia belajar bahwa pengorbanan, tanggung jawab, dan kasih tanpa pamrih justru meninggalkan jejak paling dalam.

Pada reli Pramuka hujan Februari 1991, seorang remaja menemukan kehangatan tak bernama cinta dengan seorang siswi, yang kelak ia pahami sebagai pelajaran jiwa bahwa tidak semua pertemuan harus dimiliki, cukup dikenang sebagai doa sunyi di dalam hati.

Kisah ini adalah perjalanan dari genggaman uang lima ribu rupiah yang penuh keyakinan hingga menjadi undangan suci ke Baitullah, bukti bahwa doa, niat tulus, dan cinta dalam rumah tangga mampu membuka pintu langit. Ini adalah catatan perjalanan Ibadah Haji tahun 2024

Kisah ini menceritakan pertemuan sederhana seorang siswa SMA dengan adik temannya bernama Hapsi, yang berawal dari sapaan kecil di pagi banjir dan tumbuh menjadi ikatan manis kakak-adik penuh rahasia serta kehangatan yang tak pernah mereka sebut cinta.

Kisah ini menggambarkan hubungan samar antara seorang lelaki misterius dan Non, gadis kecil yang tumbuh dengan puisi-puisinya, di mana setiap kehadiran dan sepucuk amplop berisi kata-kata menjadi tanda kasih sayang tersembunyi yang menuntunnya menuju kedewasaan.

Kakak Berjilbab mengisahkan seorang mahasiswa baru Fisika UI pada tahun 1993 mengalami dua perjumpaan singkat namun membekas dengan kakak senior berjilbab, meninggalkan kenangan manis yang tak pernah terlupa meski namanya tak pernah benar-benar diingat.

Seorang kenshusei Indonesia di Yokohama tahun 1999 menemukan hiburan sekaligus “takdir aneh” lewat kaset-kaset Tan Sri P. Ramlee yang selalu muncul di momen tak terduga, hingga membuat sahabat sebelah kamarnya yakin dunia ini diam-diam diatur oleh Ramlee.

Sebuah kisah tentang suami-istri yang, di tengah lautan jamaah haji di Makkah, menemukan makna cinta terdalam melalui thawaf, sa’i, dan potongan rambut kecil yang menjelma menjadi janji suci pengabdian bersama menuju Allah.

Seorang trainee Indonesia di Osaka menemukan keteduhan di balik senyum resepsionis bernama Nagabayashi, yang dengan sapaan sederhana, surat-surat dari tanah air, dan satu foto perpisahan, meninggalkan kenangan manis yang tak terlupakan di tengah hari-hari keras perantauan.

Seorang dosen yang terbiasa dengan rutinitas Sabtunya di kampus dan warung Padang tiba-tiba mengalami pertemuan singkat dengan seorang mahasiswi kampus sebelah yang meninggalkan senyum hangat—dan sepiring ayam bakar tak terbayar—membuatnya bertanya apakah itu sekadar kebetulan atau isyarat kecil dari semesta.

Di tengah panas lembab musim panas Osaka 1999, seorang trainee menemukan seberkas kebahagiaan sederhana dari sapaan kasir kantin yang setiap hari menyebut “nana juu en desu”, hingga julukan “Mba Nana” pun lahir dan menjadi kenangan manis yang tak ternilai.

Keyakinan sederhana seorang istri yang menggenggam uang lima ribu rupiah di tahun 2008 menjadi awal perjalanan suci pasangan ini hingga akhirnya Allah mengundang mereka ke Baitullah.

Menjadi sekretaris RW bukan hanya soal tanda tangan dan arsip, tapi juga membuka pintu pada kisah-kisah tak kasat mata—seperti pertemuan istriku dengan sosok anak kecil yang seharusnya sudah tiada.

Sekelompok siswa SMAN 1 Tegal pada tahun 1991 membuktikan bahwa gamelan dan band bisa berpadu harmonis di panggung lomba musik Semarang, meninggalkan kenangan tak terlupakan tentang mimpi yang pernah hidup dengan gemuruh sorak penonton.

A man who secretly replaces someone else in a woman’s heart struggles between truth and silence, torn by the borrowed love that warms him even though he knows the light was never meant for him.

Perjalanan haji yang penuh haru dimulai dengan pelepasan sederhana di rumah dan kampus UIII, ketika doa, tangis, dan pelukan terakhir dari anak tercinta menjadi bekal hati menuju tanah suci.

Seorang pemuda yang terjebak hujan tanpa sengaja dipertemukan dengan keponakan yang lama hilang, lalu menguak kisah kelam keluarganya hingga membawanya pada janji untuk bertobat dan kembali ke jalan yang benar.

Seorang kakak yang sibuk kerja akhirnya memilih menulis cerpen penuh nasehat sebagai hadiah ulang tahun sederhana namun bermakna untuk sahabatnya, setelah melalui kehebohan bersama adiknya yang usil namun penuh perhatian.

Kisah Kisdanu dan Hapsari adalah perjalanan panjang dua sejoli dari desa, yang berawal dari hubungan kakak-adik penuh kasih sayang hingga akhirnya menemukan cinta sejati dan dipersatukan dalam pernikahan, setelah melewati ujian jarak, keraguan, dan kesetiaan.

Seorang trainee Indonesia di Osaka menemukan kehangatan tak terduga ketika lensa kameranya menjadi jembatan sederhana antara dirinya dan tawa siswi SMP di seberang gedung, menghadirkan sejenak pertemuan dua dunia yang berbeda.

Postingan Populer

Cerpen - Sajak Sunyi di Bawah Langit Februari

Cerpen - Sapaan Yang Hanyut Terbawa Banjir

Cerpen - Cinta yang Terselip di Antara Rumus-rumus Fisika

Haji Bersama Kekasih: Perjalanan Iman dan Cinta di Tanah Suci

Cerpen - Di Bawah Tokyo Tower, Malam Berbisik (東京タワーの下、夜が囁く)

Puisi - SEJAK KAU MENANGIS

Puisi - Di Ujung Masa

Puisi - DI STASIUN INI AKU MENANTI