Cerpen - Sapaan Yang Hanyut Terbawa Banjir
Aku masih ingat pagi itu—saat embun belum sempat mengering dari ujung-ujung dedaunan, dan langit seperti tak tahu caranya tersenyum. Hujan semalam telah meninggalkan jejak di jalanan; genangan air menyelimuti jalanan yang biasa kulalui, menjadikan sepedaku meluncur pelan, berat aku mengayuh seperti diseret waktu yang enggan beranjak.
Sebagai pelajar kelas tiga SMA, jarak dua belas kilometer menuju ke kota bukanlah perkara sepele. Namun badan dan jiwaku sudah terbiasa, dan pikiranku selalu punya alasan untuk terus mengayuh. Entah itu ambisi mengejar kelulusan, atau bekal bertarung memperebutkan perguruan tinggi negeri atau sekadar melawan rasa bosan dari desaku yang sepi.
Pagi itu, sesuatu berbeda.
Di antara deret rumah yang berjejer di pinggir jalan yang tergenang air, ada satu teras yang tak biasa. Dari balik tiang rumah dan tetes air hujan yang masih menggantung, seorang gadis kecil menyapaku. Suaranya jernih, seperti nyanyian burung yang tersesat dalam kabut.
"Hai, Berangkat Kak!?" katanya.
Aku menoleh sekilas. Gadis berusia sekira pelajar SMP, memakai kaos dan rok panjang, senyumnya menggantung malu-malu di ujung bibir. Sepertinya si gadis tidak bersiap untuk berangkat sekolah, beratnya perjalanan melawan banjir mungkin sebabnya. Aku tidak mengenalnya—belum pernah melihat wajah itu dalam ingatanku. Mungkin karena aku pernah bertandang ke rumah itu, sebagai kawan dari kakaknya, maka ia mengira kami cukup akrab untuk saling menyapa.
Tapi pagi itu, aku hanya diam.
Mungkin karena derasnya arus air di jalan membuatku enggan berhenti. Mungkin karena mataku masih buram oleh kantuk, atau mungkin, karena aku belum mengerti bahwa ada sapaan yang bisa berarti lebih dari sekadar suara.
Hari berganti. Di suatu pagi di hari minggu, aku bertemu kakaknya. Ia tertawa kecil, lalu menatapku seperti hendak menggoda.
"Dik Hapsi itu kesel, lho. Katanya kamu sombong—nggak nyaut waktu disapa."
Aku tercenung. Tertampar oleh betapa remehnya alasan yang bisa melukai perasaan orang lain. Ada sesuatu dalam dadaku yang tiba-tiba hangat, seperti sisa matahari sore yang tertinggal di dahan pepohonan.
Rasa bersalah menggerogoti diam-diam. Maka aku cari waktu untuk kembali. Menyapa gadis itu dengan kata-kata maaf yang kuucap pelan—dengan ketulusan yang jarang kupunya. Dan ternyata, ia tersenyum.
Itulah awalnya.
Entah bagaimana, aku mulai mencari alasan untuk bisa berbicara dengannya. Aku menyusun strategi sederhana, seperti anak kecil yang menyembunyikan permen di balik telapak tangan. Aku mendekatinya dengan cara paling culas dan paling polos: meminta tolong.
"Dik Hapsi, bisa tolong tulisin nama di piagam ini? Pakai tulisan tangan kamu, ya."
Ia tersenyum manis, lalu mengangguk dengan gaya manja yang menggemaskan. Tangannya kecil, tapi tulisannya luwes. Dan di setiap goresan huruf itu, aku membaca sesuatu yang tak tertulis—kehangatan, mungkin. Atau perhatian yang sedang tumbuh diam-diam.
Hari-hari selanjutnya, aku menemukan diriku sering menunggu di dekat pagar rumahnya. Kadang dengan alasan yang dibuat-buat, kadang hanya ingin mendengar suaranya memanggil, "Kak...". Dan si gadis pun rupanya tidak pernah keberatan aku sering menemuinya.
Kami tak pernah menyebut ini cinta. Terlalu dini, mungkin. Terlalu mentah. Maka kami sepakat menyebut diri sebagai "kakak-adik." Sebuah hubungan yang samar, manis, dan penuh rahasia kecil yang hanya kami berdua mengerti.
Namun bagiku, sejak pagi yang banjir itu—saat ia menyapaku dan aku tak menjawab—sebuah jalan baru telah terbuka. Jalan yang lebih dari sekadar 12 kilometer bersepeda. Jalan menuju seseorang yang membuatku ingin melambat dan menambat, sekadar untuk menikmati tiap detik sapaan kecil yang tak ingin kulewatkan lagi.
Depok, 29 Juni 2025
