Cerpen - Dalam Putih yang Menangis
Malam itu tanggal 2 Juni 2024, Makkah masih berselimut gemerlap lampu yang menyatu dengan cahaya langit. Udara terasa hangat, namun hati kami jauh lebih hangat dari udara gurun yang menempel di kulit. Umrah wajib yang menjadi awal ibadah haji - Tamattu telah kulalui kemarin malam bersama rombongan KBIHU. Istriku tak bisa ikut karena sedang berhalangan. Malam ini, giliranku untuk mengantarnya menjalankan thawaf dan sa’i yang tertunda.
Kami hanya berdua. Di tengah lautan putih, langkah-langkah kami menyusuri pelataran Ka’bah. Tak banyak kata. Hanya gumam doa yang saling bersahutan dari mulut para peziarah. Di antara jutaan, aku merasa hanya ada kami.
Dia menggenggam ujung kain ihramku saat berjalan, seperti anak kecil yang tak ingin tertinggal. Aku tahu, matanya sembab. Bukan karena lelah semata, tapi karena haru yang belum sempat tumpah.
Selesai thawaf dan sa’i, kami berdiri di pinggir, sedikit menyisih dari keramaian. Ia memandangku, mencoba menahan getar di bibirnya.
“Sudah selesai sayang,” katanya lirih.
Aku mengangguk, lalu mengeluarkan gunting kecil yang kupersiapkan sejak sore. Tanganku terulur, menarik pelan jilbab panjang yang menutupi kepala dan punggungnya. Ia mengangguk tanda setuju, dan dengan gerakan lembut, aku selipkan kedua tanganku ke dalam jilbabnya.
Aku cari helai-helai rambutnya, pelan, seperti menyentuh sesuatu yang suci. Gunting di tangan kananku berbunyi: krik. Helai rambut itu pun jatuh, kecil, nyaris tak terlihat, namun punya makna yang dalam.
Saat itu, ia menangis.
Air matanya jatuh tanpa suara. Tak seperti saat pertama kali melihat Ka’bah —yang sudah cukup membuat dadanya berguncang. Tapi malam ini, lebih dari itu. Tangisnya bukan hanya karena suci tempat ini, tapi karena suci momen ini: dipotongkan rambutnya oleh seseorang yang mencintainya bukan hanya sebagai pasangan, tapi sebagai bagian dari pengabdian.
“Terima kasih sayangku, telah mendampingiku” katanya sambil menyeka air mata dengan ujung lengan.
Aku hanya tersenyum, menunduk, tak bisa berkata apa-apa. Ka’bah menjadi saksi bagaimana cinta itu tak hanya diungkap lewat bunga dan kata-kata manis, tapi lewat ibadah, pengorbanan, dan detik-detik sederhana seperti ini.
Kami berdiri. Ia kembali menyamakan langkah denganku. Rambutnya kini telah menjadi bagian dari ibadah. Dari pengikhlasan.
Dan dalam sunyi malam itu, aku tahu: cinta kami sedang dilimpahi berkah dari langit.
Isi Perasaanku
Malam ini, aku berjalan bersamamu di antara jutaan manusia, tapi sungguh... hanya kau yang kulihat.
Kau genggam ujung kain ihramku seperti anak kecil yang takut tertinggal—dan di situ aku merasa jadi laki-laki paling dibutuhkan di bumi.
Langkah-langkah kita seirama, menyusuri pelataran suci, tak perlu banyak kata—karena cinta yang sebenar-benarnya justru terasa dalam diam.
Saat thawaf usai dan sa’i pun selesai, kau memandangku. Matamu menyimpan hujan yang tertunda. Aku tahu, itu bukan sekadar air mata, tapi gema dari rasa syukur dan keikhlasan yang tak bisa kau ucapkan.
Ketika kau mengangguk dan aku mulai menyelipkan tanganku ke balik jilbabmu—mencari helai rambutmu—aku seperti sedang menyentuh bagian terdalam dari cintaku sendiri.
Potongan rambut itu mungkin kecil, nyaris tak berarti di mata dunia. Tapi bagiku, itu seperti segel akhir dari pengabdian kita malam ini.
Tak ada akad, tak ada pesta. Tapi potongan itu adalah janji sunyi—bahwa kita akan terus bersama, dalam ibadah, dalam ikhlas, dalam cinta yang tidak mengikat, tapi membebaskan.
Saat kau menangis, aku tahu: aku mencintaimu bukan hanya sebagai istri, tapi sebagai sahabat yang berjalan ke surga bersamaku.
Isi Perasaan Istriku
Aku berjalan di sampingmu malam ini—dalam putih, dalam sunyi. Tak ada suara yang lebih menenangkan selain desahan zikir dan detak kakimu di sisiku.
Aku menggenggam ujung kainmu, seperti anak kecil yang takut tersesat, karena hatiku tak siap jika harus menjauh barang sejenak.
Ada haru yang menggantung sejak kita mulai mengelilingi Ka'bah. Haru karena aku tak sendiri. Haru karena kau menuntunku, bukan hanya di dunia, tapi juga menuju Tuhan kita.
Ketika thawaf dan sa’i selesai, aku hampir tak bisa bicara. Aku hanya bilang, “sudah selesai sayang,” tapi hatiku justru baru mulai menangis.
Lalu kau keluarkan gunting kecil. Aku tahu momen itu akan datang. Dan aku pasrahkan rambutku—yang selama ini kusembunyikan rapat-rapat—untuk kau potong, sebagai tanda bahwa ibadahku telah sempurna.
Kau menyentuh rambutku dengan hati-hati, seolah takut menyakitiku. Tapi aku justru menangis, bukan karena sakit, melainkan karena disentuh dengan cinta yang tak pernah kuduga sedalam ini.
Air mataku jatuh, dalam diam. Karena cinta ini suci.
Karena aku tahu: aku dicintai bukan hanya sebagai perempuan, tapi sebagai pendamping hidup, dalam taat, dalam ibadah, dalam perjalanan menuju Allah.
Dan saat kau menunduk, tersenyum, aku tahu: malam ini, rambutku telah menjadi saksi bahwa aku tak sendiri. Bahwa cinta ini tak sia-sia. Bahwa aku tak salah memilihmu.
Depok, 27 Juli 2025

 
     
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
 
 
 
 
