Cerpen - Tangis di Gerbang Keberangkatan
Sore itu, 30 Mei 2024, langit cerah membentang. Matahari condong ke barat, memantulkan cahaya keemasan di dinding rumah-rumah komplek perumahan. Udara hangat membawa aroma bunga dari taman depan rumah kami. Anak-anak tetangga berlarian di pinggir jalan, sementara orang-orang dewasa berkumpul di depan rumah kami—ibu, saudara, dan para tetangga—semua hadir mengantar.
Anak lelakiku, yang kini duduk di bangku kuliah tingkat akhir, sibuk membantu. Ia memanggul koper besar, serta perlengkapan lain yang sudah kami siapkan, dan mengatur barang-barang di bagasi mobil. Senyumnya tipis, namun matanya terlihat merah, seperti baru saja menahan sesuatu yang ingin pecah.
Satu per satu tetangga menyalami kami. Ada yang meraih tangan kami sambil berbisik, “Doakan kami juga, ya, Pak, Bu.” Ada pula yang memeluk erat, lebih lama dari biasanya. Setiap genggaman tangan dan pelukan itu meninggalkan rasa hangat sekaligus perih di dada.
Mobil yang dikemudikan anak lelakiku melaju pelan keluar dari gerbang komplek. Dari kaca spion, aku melihat rombongan tetangga masih melambaikan tangan, semakin kecil hingga akhirnya lenyap di tikungan. Aku meraih tangan istriku, merasakan hangatnya yang seolah berkata: kita siap
Universitas Islam Internasional Indonesia menjadi titik kumpul pertama kami. Di Masjid Rahmatalil Alamin, ratusan jemaah telah berkumpul. Kami, yang tergabung dalam KBIHU, berdiri di antara sekitar 144 orang jemaah bergabung dalam satu kloter. Lantunan doa dan shalawat mengalun, mengisi ruang hati yang sudah setengah penuh oleh rasa haru. Sesekali istriku mengusap matanya, dan aku pura-pura tidak melihat—karena aku sendiri menahannya.
Selepas isya, prosesi pelepasan selesai. Pengumuman keberangkatan pun terdengar: bus akan segera membawa kami dari UIII menuju Asrama Haji Bekasi, tempat kami akan bermalam sebelum terbang ke tanah suci. Suasana mendadak riuh: pelukan terakhir, salam panjang, dan lambaian tangan yang penuh doa.
Anak lelakiku kembali mendekat, memastikan koper kami sudah aman di bagasi bus. Senyumnya masih ada, tapi kali ini terlihat goyah. Saat aku mengangkat kaki menaiki tangga bus, suaranya pecah.
"Ayah… Bunda…" ucapnya, disertai isak yang tak lagi ia sembunyikan.
Aku menoleh. Air matanya mengalir deras. Tangannya meraih tanganku, erat, seperti tak ingin melepaskannya. Dalam pelukan singkat itu, aku kembali melihat bocah kecil yang dulu sering menungguku pulang di depan pintu rumah, bukan lagi pemuda dewasa yang siap lulus kuliah.
Istriku ikut memeluknya, mengusap kepalanya dengan lembut, seperti dulu. Aku berbisik,
"Jaga rumah… jaga nenekmu. Doakan kami pulang dengan selamat."
Bus mulai bergerak. Dari jendela, aku melihat ia berdiri tegak di tepi halaman UIII, memandangi kami pergi. Malam yang cerah itu berubah menjadi malam yang penuh haru—karena setiap langkah menuju tanah suci selalu meninggalkan sepotong hati yang tertinggal di rumah.
Depok, 10 Agustus 2025
