Cerita Pantura - Jaran Guyang: Cinta yang Menjadi Kutukan

 


Pengantar

Kisah cinta tragis Baridin dan Suratminah pernah begitu masyhur di tahun 1970–1980-an. Cerita ini hidup dan bergaung di pesisir utara Jawa, dari Indramayu, Cirebon, Brebes hingga Tegal. Bukan sekadar cerita, melainkan sebuah drama tarling yang dipentaskan oleh Group Tarling Putra Sangkala di bawah pimpinan H. Abdul Adjib, kemudian direkam dan dipasarkan dalam bentuk kaset berseri produksi Dian Record, dari seri 1 sampai 4.

Saking populernya, kisah ini menimbulkan perdebatan di tengah masyarakat: apakah Baridin dan Suratminah benar-benar tokoh nyata atau sekadar fiksi yang tumbuh dari imajinasi seniman? Di sebuah desa yang disebut-sebut sebagai latar ceritanya, bahkan terdapat dua pusara berdampingan yang dipercaya masyarakat sebagai makam Baridin dan Suratminah. Di situlah mitos dan kenyataan seakan bertaut, membuat kisah ini semakin hidup di hati orang-orang.

Dalam versi kaset tarling, kisah ini diwarnai banyolan, parikan, dan lagu-lagu yang mendayu. Namun dalam karya tulis ini, pengarang mencoba mengangkat kembali legenda tersebut dalam bentuk cerpen. Tentulah ada perbedaan di sana-sini; bukan untuk mengubah esensi, melainkan menyesuaikan dengan alur cerita yang lebih ringkas dan bisa dinikmati sebagai bacaan. Beberapa parikan tetap dipertahankan, meski hanya sekadar bayangan dari aslinya, agar pembaca masih dapat merasakan getaran khas budaya pesisir.

Tujuan penulisan ini sederhana: memperkenalkan kembali sebuah warisan budaya yang lahir di tanah pantura, agar tetap dikenal oleh generasi sekarang. Sebab, warisan budaya bukan hanya milik mereka yang lahir di tanah itu, melainkan milik kita bersama sebagai bangsa.


Pendahuluan

Di sebuah desa bernama Jagapura Lor, Kecamatan Gegesik Kabupaten Cirebon, hiduplah seorang pemuda bernama Baridin. Hidupnya sederhana, bersama ibunya yang tua renta, Mbok Wangsih, di sebuah rumah bambu yang nyaris roboh bila angin malam datang bertiup. Namun di balik kemiskinan itu, Baridin dikenal sebagai pemuda yang rajin. Ia punya satu-satunya harta: seekor kerbau dan sebuah weluku tua—teman setianya dalam mencari nafkah. Tiap hari ia menerima panggilan dari para juragan untuk membajak sawah, dan dari situlah mereka berdua bertahan hidup.

Mbok Wangsih, seorang janda miskin, tak punya apa-apa kecuali kasih sayang bagi anak tunggalnya. Meski renta, matanya selalu teduh menatap Baridin, seolah di sanalah ia menaruh seluruh harapan. Namun, ia juga tahu betapa kerasnya dunia: orang miskin tak dipandang, tak dianggap, bahkan sering dipermainkan.

Di sisi lain desa itu, berdirilah rumah besar bercat putih, tempat tinggal Bapak Dam, seorang juragan kaya raya. Ia memiliki sawah luas, ternak melimpah, dan harta berlimpah. Dari rumah itu pula tumbuh seorang gadis yang kecantikannya tersohor seantero desa: Suratminah. Parasnya ibarat bunga kembang desa, harum rupawan, membuat banyak pemuda tergila-gila. Tetapi di balik kecantikannya, tersimpan sifat yang angkuh. Suratminah terbiasa dipuja, terbiasa dimanjakan, dan dengan mudah merendahkan orang-orang kecil yang mencoba mendekat.

Di tengah masyarakat desa yang gemar bersenda gurau dengan wangsalan dan parikan, menyaksikan wayang golek di malam hajatan, atau berjual beli di pasar, nasib manusia tetap berbeda: ada yang lahir kaya dan disanjung, ada yang hidup miskin dan dipandang hina. Dari perbedaan itulah, benih sebuah kisah tumbuh—kisah seorang pemuda miskin yang berani bermimpi mencintai bunga desa, meski langit dan bumi seolah bersekongkol untuk memisahkan mereka.

Dan kelak, cinta itu akan menuntun pada jalan getir, dendam, dan tragedi…


Awal Pertemuan

Malam sebelumnya, Baridin pulang larut dari hajatan. Di halaman rumah seorang juragan, ia duduk berdesakan dengan orang-orang desa, menonton tanggapan wayang golek. Dalang menembang suluk, gamelan berdenting, dan Baridin larut dalam cerita Pandawa melawan Kurawa. Saat gending terakhir berbunyi, langit sudah hampir pagi, tubuhnya penat, matanya berat.

Namun fajar tak peduli. Matahari terbit, dan Mang Bunawas, salah satu juragan sawah, datang mengetuk pintu rumah Baridin.
“Din, ayo, bajak sawahku hari ini. Waktunya segera ditanami. Jangan menunda,” katanya tegas.

Baridin sebenarnya enggan. Tubuhnya masih lelah, rasa kantuk masih menggantung. Tapi permintaan juragan tak bisa ditolak. Dengan berat hati, ia mengangguk, lalu mulai menyiapkan kerbau dan weluku.

Di jalan lain yang menuju pasar desa, seorang gadis berjalan dengan lenggak anggun. Dialah Suratminah, anak tunggal Bapak Dam. Di tangannya tergenggam bakul kecil berisi uang belanja: tembakau, klobot, sayur-mayur, kebutuhan sehari-hari. Rambutnya terurai hitam berkilau, wajahnya ibarat rembulan pagi, membuat siapa pun yang berpapasan menoleh dua kali.

Namun kecantikan itu selalu mengundang ujian. Di sebuah tikungan jalan, tiga pemuda pengangguran duduk ongkang-ongkang sambil merokok klobot. Begitu melihat Suratminah, mereka bersorak riang, lalu melantunkan parikan nakal.

Pemuda pertama membuka dengan nada menggoda:

Tuku klobot olie blarak
Godhong jambe kegawa angin
Aja sewot, aja ngecaprak
Lamun gelem, ayuh kawin

(Beli klobot dapat pelepah kelapa,
daun pinang terbawa angin.
Jangan marah, jangan ribut,
kalau mau, ayo kita menikah.)

Suratminah menjawab dengan nada tinggi, seolah menantang:

Rajeg kerep pinggir kelapa
Gawe gule masak perkedel
Lamun arep ngawin kita
Kudu duwe mas segudhel

(Pagar bambu rapat di samping pohon kelapa,
 Membuat gulai masak perkedel.
Kalau mau menikah denganku,
harus punya emas sebesar anak kerbau.)

Jawaban itu membuat para pemuda terperanjat. “Sombong banget nih cewek,” pikir mereka. Tapi pemuda kedua tak mau kalah, ia menimpali sambil terkekeh:

Rujak kedhondhong rujak ketewel
Numpak sepeda ning pompongan
Ari gelem aja kakehen rewel
Ayuh pada jaipongan

(Rujak kedondong, rujak nangka muda,
naik sepeda di atas jembatan bambu.
Kalau mau jangan terlalu rewel,
ayo kita menari jaipongan.)

Suratminah segera menolak ajakan itu dengan tegas:

Kentong kropong kolang-kaling
Wit widara cukulé rame
Emoh jaipong, emoh tarling
Bagen sora turu bae

(Kentongan kosong, isi kolang-kaling,
pohon bidara tumbuh rimbun.
Tidak mau jaipongan, tidak mau tarling,
lebih baik aku tidur saja.)

Kericuhan semakin menjadi. Pemuda ketiga maju dengan lagak sok kaya, dadanya dibusungkan:

Gambir-gambir sawit
Menek jambe mancal uwit
Mangan gedhang buang kulit
Gelema karo aku sugih duwit

(Gambir dari pohon sawit,
memanjat pinang menginjak ranting.
Makan pisang lalu buang kulitnya,
mau saja denganku, aku kaya banyak uang.)

Namun Suratminah tak gentar, ia balas dengan tawa sinis:

Gambir sawit asem kecut
Srikaya kembangé mati
Sugih duwit ora kepencut
Wong kaya ganjel pedati

(Gambir sawit terasa asam kecut,
bunga srikaya layu dan mati.
Kaya uang aku tidak tergoda,
kamu orang seperti ganjal pedati.)

Gelak tawa pun pecah. Mereka saling lempar parikan, seperti perang lidah yang mengundang riuh. Suasana semakin hangat, sampai langkah kaki berat kerbau dan seseorang terdengar mendekat.

Dialah Baridin, pemuda sederhana dengan tubuh letih, menuntun kerbau kesayangannya. Keringat sudah menetes meski matahari baru saja naik. Ia berhenti di tepi jalan, lalu bertanya dengan suara datar:

“Lur, aku mencari sawahnya Mang Bunawas… arah mana, ya?”

Para pemuda yang sedang menggoda Suratminah merasa terusik. Namun mereka tetap menunjuk arah dengan malas. Baridin mengangguk, lalu berjalan pergi. Suratminah hanya melirik Baridin sekilas—tanpa minat. Begitu Baridin pergi, para pemuda itu kembali menggoda Suratminah, menghalangi jalannya menuju pasar.

Ketika rayuan mereka semakin kelewatan, Baridin kembali datang. Ternyata sawah yang ia cari belum juga ditemukan. Kali ini para pemuda benar-benar jengkel karena keseruannya terganggu lagi. Dengan umpatan, mereka pun bubar, meninggalkan Baridin berdua dengan Suratminah.

Sunyi mendadak turun. Burung-burung pipit beterbangan di pematang. Baridin berdiri kikuk, menatap Suratminah. Dadanya berdebar-debar—wajah gadis itu bagai kembang mekar di tengah ladang.

Namun Suratminah menatapnya dengan sinis. Melihat penampilan Baridin yang lusuh—pundaknya memanggul weluku, tangannya memegang tali kekang kerbau—ia langsung mengejek.

“Idih… ada orang jualan weluku. Mana ada yang mau beli… pasti nggak laku!”

Baridin mencoba menahan malu, lalu membalas dengan senyum getir.
“Bukan jualan weluku, Nok Ganjen. Ini buat membajak sawah Mang Bunawas… Ganjen.”

Suratminah terperanjat, tak mau kalah.
“Idih, ngatain aku ganjen. Ganjen itu apa sih? Warnanya kuning apa ijo?”

Baridin menarik napas dalam-dalam. Udara sawah yang hangat mengalir di dadanya. Ia menatap gadis yang berdiri di seberang jalan tanah, lalu berseru lantang dengan senyum menggoda:

Baridin:
Lagi enak-enak isun mlaku,
Ana bocah wadon ngomong kaku.
Diarané bocah ganjen ora ngaku,
Nyangka isun wong adol weluku.

(Sedang enak aku berjalan,
ada gadis bicara kaku.
Dibilang gadis genit tapi tak mau mengaku,
malah mengira aku ini penjual bajak.)

Baridin tertawa kecil, lalu melanjutkan, suaranya setengah berpantun, setengah berkeluh:

Baridin:
Yen isun iku aran Baridin,
Urip lagi menderita batin.
Saben dina lagi nyandhang isin,
Sebabe durung ngalami kawin.

(Aku ini namanya Baridin,
hidupku penuh penderitaan batin.
Setiap hari menanggung malu,
karena belum menikah.)

Suratminah yang sedari tadi menatapnya dari bawah kerudung tipis tersenyum miring. Ia menyilangkan tangan di dada, lalu membalas dengan nada mengejek, suaranya nyaring seperti menampar udara siang.

Suratminah:
Arep kawin arep durung ora takon,
Bonggan sapa mader akeh wadon.
Kembang sirsak iwak blanak,
Wonge blesak ambune blenak.

(Mau menikah atau belum, bukan urusanku.
Salahmu sendiri, perempuan kan banyak.
Bunga sirsak, ikan blanak,
orangnya jelek, baunya tak enak.)

Ia menepuk pinggul, matanya berkilat sinis.

Suratminah:
Angur-anggur kandha durung kawin,
Dasar lanang ora weruh ngisin.
Gawe geblog lague pelog,
Wonge goblog kaya Jaka Dolog.

(Tiba-tiba bilang belum menikah,
dasar lelaki tak tahu malu.
Membuat gending lagunya pelog,
orangnya bodoh seperti Jaka Dolog.)

Baridin malah tersenyum lebar. Bukannya tersinggung, ia justru menatap Suratminah seperti menatap bidadari yang sedang marah. Dengan nada main-main, ia menyambung parikan.

Baridin:
Aja ngomong ganjen, aja nemen-nemen,
Nok, bokatan besuke demen.

(Jangan ngomong ganjen, jangan berlebihan,
Nok, siapa tahu besok kamu suka beneran.)

Suratminah mendengus geli sambil memalingkan wajah.

Suratminah:
Idih, eman-eman temen.
(Ih, sayang sekali… amit-amit!)

Namun Baridin tak menyerah, matanya berbinar penuh tekad.

Baridin:
Aja jimprat-jimprat coba ndeleng urat,
Tek kinthil sampe aherat.

(Jangan sok genit, coba lihat nadiku,
akan kuikuti sampai akhirat.)

Suratminah mencibir, matanya menyipit tajam.

Suratminah:
Emong, sampeyan wong mlarat.
(Tidak mau, kamu orang miskin.)

Baridin menepuk dadanya, separuh bangga separuh gila.

Baridin:
Bagen mlarat, Baridin lanang,
Demen wadon iku wenang.

(Biar miskin, Baridin lelaki,
mencintai perempuan itu haknya.)

Suratminah tertawa keras, seperti tak percaya kata-kata nekat itu.

Suratminah:
Mengkonon soten lanang, gah apa lanange,
Mengkonon soten wadon, gah apa wadone.
Wadone kula larang regane,
Ora pantes Baridin jodone.

(Lelaki katanya, tapi yang mana dulu.
Perempuan katanya, tapi yang mana dulu.
Aku perempuan mahal harganya,
tak pantas Baridin jodohnya.)

Baridin menunduk sejenak, lalu menatap lagi dengan lirih tapi tegas.

Baridin:
Yen bli kelakon, sun bagen lara badane.
(Kalau tidak jadi, biar badanku sakit.)

Suratminah menatap tajam, tak kalah tegas.

Suratminah:
Lamon kelakon, sun sih bagen edane.
(Kalau sampai jadi, biar aku gila saja.)

Baridin terkekeh, menahan tawa dan rasa sakit di dada.

Baridin:
Ngomong mengkonon apa temenan?
(Kamu bicara begitu sungguh-sungguh?)

Suratminah:
Gelem sumpah pitung turunan.
Pancen Baridin wong lanang bli weruh isin.
Tukar ning dalan, ngomong bli dipikir dingin.
Ratminah bli pantes kanggo Baridin,
Saking Baridin kepengen kawin.

(Saya berani sumpah tujuh turunan.
Memang Baridin lelaki tak tahu malu.
Merayu di jalanan, bicara tanpa pikir panjang.
Ratminah tak pantas untuk Baridin,
karena Baridin cuma ingin kawin.)

Baridin menunduk, tapi hanya sekejap. Ia tersenyum lagi, penuh kenekatan khas orang yang jatuh cinta terlalu dalam.

Baridin:
Aja sok lancang bokatan kecangcang,
Aja kadiran bokatan kapiran.
Pira lawase gembleng ayune,
Pengen edan jare deweke,
Baridin kari nontone.

(Jangan sok lancang, bisa saja terikat.
Jangan sombong, bisa saja tak laku.
Berapa lama kecantikanmu bertahan?
Katanya kamu ingin gila,
Baridin tinggal menonton saja.)

Suratminah membalas dengan tawa nyaring yang bergetar di udara siang.

Suratminah:
Log… log, wonge kaya Jaka Dolog.
Lak… lak, wonge kaya tukang palak.
Dasar wong demen ora kelakon,
Omongane kaya wong wadon.

(Log… log, orangnya seperti Jaka Dolog.
Lak… lak, seperti tukang palak.
Dasar orang jatuh cinta tak kesampaian,
bicaranya seperti perempuan.)

Namun Baridin tak gentar, suaranya justru makin dalam, seperti mengalun dari hati.

Baridin:
Nok… nok, wong gembleng kesawang denok.
Nok… nok, Baridin demen ora kapok.
Mlayua ning lak-lakane naga,
Tek udag mangsa wurunga.

(Nok… nok, gadis cantik tampak jelita.
Nok… nok, Baridin cinta tak pernah kapok.
Walau kau lari ke tenggorokan naga,
Pasti akan kukejar )

Kata-kata itu membuat Suratminah terdiam sejenak. Tapi gengsi menahannya untuk luluh.

Suratminah:
Kepengen kawin aduh sabar dingin,
Apa bli isin Baridin wong miskin?
Wong due niat kudu sing kuat,
Lamon kula gelem ning sampeyan,
Apa sing kango pasrahan?

(Ingin menikah? Sabar dulu.
Apa tak malu, Baridin si miskin?
Kalau punya niat, harus kuat.
Kalau aku mau padamu,
apa yang kau bawa sebagai seserahan?)

Baridin tersenyum polos, memberikan weluku di pundaknya kepada Suratminah.

Baridin:
Nyah, tampanana, pasrahan aku.
(Nih, terimalah, sesarahanku.)

Suratminah menatapnya — sebuah weluku, bajak besi sawah yang lusuh tapi berkilat di bawah matahari. Ia menjerit kecil sambil mundur selangkah.

Suratminah:
Weluku… sungkan.
Wonge blesak, ambune blenak,
Omongane kaya wong soak.

(Weluku? Ih, tidak mau.
Orangnya jelek, baunya tak enak,
bicaranya seperti orang gila.)

Suratminah pun berpaling, meninggalkan Baridin yang masih berdiri di jalan tanah, memegang weluku itu seperti menggenggam hatinya sendiri.

Namun bagi Baridin, setiap ejekan justru seperti bunga yang mekar di lumpur.
Ia tak tersinggung, tak sakit hati — hanya merasa dadanya hangat, seolah baru saja menemukan takdir hidupnya sendiri dalam tawa Suratminah.

Dengan wajah murung namun dada yang diam-diam berdebar, Baridin pulang membawa weluku di pundaknya. Ia tak jadi menuju sawah Mang Bunawas. Bayangan wajah Suratminah, tawa mengejeknya, dan tutur kata yang menusuk itu masih menari-nari di kepalanya, membuat tenaga dan niatnya lenyap begitu saja.

Siang harinya, Mang Bunawas berdiri di halaman rumah Baridin. Wajah juragan itu merah padam, sorot matanya tajam penuh amarah.
“Din! Kembalikan uang mukaku! Janjimu tidak kau tepati!” bentaknya lantang.

Baridin terdiam. Hatinya ciut, kepalanya tertunduk. Ia tahu salahnya. Dengan tangan gemetar, ia mengembalikan uang muka yang tadi pagi ia terima. Mang Bunawas merebutnya dengan kasar, lalu pergi sambil menggerutu, meninggalkan jejak kata-kata pahit di udara.

Baridin tetap berdiri di depan rumah, memandangi tanah. Rasa malu menempel di wajahnya, seperti lumpur yang tak bisa dibersihkan. Tapi di sela-sela rasa malu itu, entah mengapa bayangan Suratminah kembali muncul. Senyumnya yang sinis, suaranya yang pedas, justru membuat hatinya semakin terikat.


Harapan dan Lamaran

Sejak pertemuan itu, hati Baridin terbakar bunga asmara. Kata-kata ejekan Suratminah justru ia simpan dalam dada, bukan sebagai luka, melainkan sebagai tanda bahwa gadis itu memperhatikannya. Bagi Baridin, Suratminah tak lagi sekadar putri juragan. Ia adalah rembulan yang turun ke bumi.

Malam itu, Baridin berbaring di atas tikar tipis, tersenyum sendiri. Matanya tak kunjung terlelap, hatinya bergetar setiap kali bayangan senyum Suratminah—meski sinis—muncul di pelupuk mata.
“Ah, Ratminah… kau kembang desa, dan aku sudah jatuh padamu…” gumamnya lirih.

Rasa malu yang sempat menggelayut segera tertutup oleh bunga cinta yang terus mekar. Dengan wajah penuh keyakinan, Baridin menghampiri ibunya yang sedang menumbuk padi di lesung.
“Mak… aku sudah menemukan jodohku. Tolong lamarkan dia untukku,” katanya mantap.

Mbok Wangsih terhenti, alu di tangannya terlepas pelan. Matanya terbelalak, menatap anak semata wayangnya.
“Siapa, Din?” tanyanya hati-hati.
“Suratminah, Mak… putrinya Bapak Dam.”

Sekejap wajah tua itu pucat pasi. Ia tahu benar siapa keluarga Bapak Dam: kaya raya, terkenal pelit dan sombong, derajatnya jauh di atas mereka.
“Din… jangan sembrono. Ratminah itu bukan untuk orang seperti kita. Kita hanya orang kecil, Din…” suaranya bergetar, nyaris pecah.

Namun Baridin tak menyerah. Ia bersujud di kaki ibunya, merengek layaknya anak kecil.
“Mak, aku mohon sungguh-sungguh… lamar dia untukku. Kalau tidak, hatiku takkan pernah tenang. Aku yakin, Ratminah akan menjadi istri yang baik untukku.”

Mbok Wangsih menutup wajahnya dengan selendang lusuh. Hatinya berkecamuk: antara tahu diri dan kasih pada anak yang ia cintai. Ia ingin menolak, tapi air mata Baridin membuatnya luluh. Dengan napas berat, ia akhirnya mengangguk pasrah.
“Kalau itu tekadmu, baiklah… Ibumu akan mencoba melamarnya. Semoga Tuhan merestui.”

Baridin melonjak kegirangan, seakan mimpi jadi nyata. Ia segera berlari ke rumah sahabat karibnya, Gemblung Dinulung, membawa kabar penuh semangat.
“Gemblung! Aku bertemu Suratminah, kembang desa itu! Sekarang Ibu sedang menuju rumah Bapak Dam untuk melamarnya. Tidak lama lagi aku pasti menikah dengannya!” katanya sambil tertawa lebar.

Gemblung menatap Baridin dengan senyum miris. Ia tahu dunia tak sesederhana itu, tapi tak tega mematahkan harapan sahabatnya.
“Ya sudah, Din. Semoga Tuhan mengabulkan. Tapi jangan terlalu banyak bermimpi. Orang kaya dan orang miskin kadang seperti langit dan bumi,” ucapnya pelan.

Baridin tak menggubris. Ia larut dalam angan-angan. Dalam hatinya, ia bahkan sudah membayangkan pesta tasyakuran sederhana: makan bersama di rumah Gemblung, dengan ayam sembelihan sahabatnya, beras dari sahabatnya, dan Baridin tinggal duduk menikmati.

Harapan itu begitu indah… meski takdir sudah menunggu di tikungan jalan, membawa kenyataan yang kelak akan mematahkan semua mimpinya.


Lamaran Ditolak dengan Hinaan

Pagi itu, Mbok Wangsih berjalan pelan menyusuri jalan desa. Di tangannya hanya ada bawaan sederhana: beberapa tandan pisang yang baru dipetik dari kebun kecil di belakang rumah. Itulah yang ia bawa sebagai tanda lamaran untuk keluarga juragan kaya, Bapak Dam.

Langkahnya berat, hatinya gamang. Di sepanjang jalan ia berdoa dalam hati, semoga Bapak Dam mau menerima maksud baiknya. Di matanya, Baridin tetaplah anak yang harus diperjuangkan kebahagiaannya, meski dunia seakan tak berpihak.

Sesampainya di rumah besar bercat putih, ia mengetuk pintu dengan sopan. Tak lama kemudian, keluarlah Bapak Dam dan Suratminah, berdiri di teras dengan wajah heran.

Mbok Wangsih menunduk hormat.
“Permisi, Juragan… saya datang membawa maksud baik. Saya ingin melamar putri Juragan, Suratminah, untuk anak saya, Baridin.”

Seketika tawa meledak dari mulut Suratminah. Ia menutup mulutnya dengan selendang, tapi matanya menyorot penuh ejekan.
“Apa? Anakmu yang buruh tani itu ingin menikahi aku? Hahaha… Ibu ini lucu sekali!”

Bapak Dam menyipitkan mata, suaranya keras dan dingin.
“Perempuan miskin seperti kamu berani melamar anakku? Dengan apa kau membayarnya? Dengan tandan pisang busuk itu?”

Mbok Wangsih tergagap, suaranya gemetar.
“Pisang ini memang sederhana, Juragan… tapi maksud hati kami tulus. Anak saya benar-benar mencintai Suratminah.”

Suratminah mendengus. Ia melangkah mendekat, lalu meludahi mbok Wangsih dan berkata-kata tajam:
“Cinta orang miskin tidak pantas untuk orang seperti aku! Pergi sana, sebelum aku benar-benar marah!”

Tangan tuanya bergetar, air mata mulai jatuh. Namun sebelum sempat ia melangkah pergi, Bapak Dam menambahkan, suaranya penuh penghinaan:
“Kamu seharusnya tahu diri, Wangsih. Jangan mengajarkan anakmu untuk bermimpi terlalu tinggi. Buruh tani tetaplah buruh tani. Jangan berani-beraninya mengusik keluarga orang kaya.”

Dan tanpa belas kasihan, Suratminah meludahi lagi mbok Wangsih.
“Bawa pulang pisangmu! Kami tidak butuh!”

Hati ibu tua itu hancur. Dengan wajah menunduk, ia memungut kembali tandan pisang yang tergeletak di tanah. Air matanya menetes jatuh satu-satu, menyatu dengan debu jalan. Ia berbalik, melangkah pulang dengan tubuh gemetar, membawa luka yang lebih berat dari beban apa pun yang pernah ia pikul di sawah.

Ketika tiba di rumah, Baridin segera menyambut. Namun begitu melihat wajah ibunya, hatinya dicekam firasat buruk.
“Mak… bagaimana hasilnya?” tanyanya penuh harap.

Mbok Wangsih tak sanggup menjawab. Ia hanya menangis, merangkul anaknya. Dalam tangis itu, terbongkarlah semua hinaan yang telah ia terima.

Baridin terdiam. Darahnya mendidih, wajahnya memerah, matanya berkilat seperti bara api.
“Mereka menghina Ibu? Mereka memperlakukanmu seperti itu?” suaranya bergetar penuh amarah.

Hari itu juga, cinta yang sebelumnya murni berubah menjadi dendam kesumat. Dalam hati Baridin, terpatri tekad: Suratminah harus merasakan pahitnya penghinaan sebagaimana ibunya merasakannya.


Ilmu Kemat Jaran Guyang

Sejak pulang dengan wajah muram, Baridin tak lagi sama. Senyum yang dulu sederhana kini hilang, berganti bara dendam. Cinta yang mestinya membuat hidupnya ringan, justru menjadi luka yang menuntut balas.

Ia duduk di beranda rumah sahabatnya, Gemblung Dinulung, sambil menatap kosong ke arah langit senja.

“Gemblung…,” suara Baridin berat, “aku sudah tak bisa menahan sakit ini. Suratminah menghina Ibu. Mereka memperlakukannya seperti pengemis. Aku ingin dia tahu rasanya terjerat cinta yang tak bisa dihindari.”

Gemblung Dinulung, yang biasanya suka bercanda, kini menatap serius. Ia tahu betul sahabatnya sedang terluka. Dengan nada pelan, ia berbisik:
“Baridin, ada satu cara… ilmu warisan leluhur yang jarang orang berani jalani. Namanya Kemat Jaran Guyang. Tapi ini bukan ilmu sembarangan. Sekali kau jalani, hidupmu takkan kembali sama.”

Baridin menoleh, matanya menyala penuh tekad.
“Ajari aku, Mblung. Aku tak peduli. Jika dengan itu Suratminah bisa merasakan pahitnya cinta, biarlah aku tanggung risikonya.”

Gemblung menarik napas panjang, lalu bangkit menuju bilik dalam rumahnya. Tak lama kemudian ia keluar membawa kendi berisi air putih, seikat bunga telon, dan kain putih kusam dan selembar kertas bertuliskan huruf jawa kuno berisi mantra.

“Ilmu ini, Baridin, bukan sekadar bacaan mantra,” ujar Gemblung Dinulung dengan suara berat.
“Kau harus menjalani tirakat empat puluh hari empat puluh malam. Puasa mutih—hanya nasi putih dan air putih sekali sehari. Sebelum merapal mantra, mandi sucikan dirimu. Setiap tengah malam, duduklah menghadap timur, dan rapalkan bait ini… sampai bayangan Suratminah hadir di pelupuk hatimu.”

Gemblung Dinulung menunduk, suaranya kian dalam.
“Kalau berhasil, Suratminah akan tergila-gila padamu. Tapi ingat, Baridin… ini bukan cinta sejati. Ini hanyalah ikatan gaib. Jika hatimu goyah, bisa jadi kau sendiri yang binasa.”

Baridin mengepalkan tangan, tubuhnya bergetar menahan emosi.
“Tak apa, Mblung. Asal dia tahu rasanya terikat, aku rela menanggung akibatnya.”

Lalu Gemblung Dinulung mengajarkan mantra itu dengan lirih, seakan takut terdengar angin yang berhembus:

Niat isun arep pan maca kemat Jaran Guyang,
dudu ngemat-ngemat atine tangga,
dudu ngemat wong liwat dalan.

Sing tak kemat mung siji,
anake Bapa Dam,
bocah gembleng keceluk kang aran Suratminah.

Lamun lagi turu, gage nglilira.
Lamun wis nglilir, gage njagonga.
Lamun wis njagong, gage ngadega.
Lamun wis ngadeg, gage mlakua.
Lamun wis mlaku, gage mlayua—
kaya jaran mbrengengeng,
ngalor-ngidul mung goleki isun.

Teka welas, teka asih,
nyawiji ana ing raga,
ngobong ana ing jiwa,
ngiket tresna antarane isun lan Suratminah.

Aku berniat membaca ajian Jaran Guyang,
bukan untuk memikat hati tetangga,
bukan untuk memikat orang yang lewat di jalan.

Yang kupikat hanya satu,
anaknya Bapa Dam,
gadis yang terkenal edan kecantikannya bernama Suratminah.

Bila ia sedang tidur, segeralah bangun.
Bila sudah terbangun, segeralah duduk.
Bila sudah duduk, segeralah berdiri.
Bila sudah berdiri, segeralah berjalan.
Bila sudah berjalan, segeralah berlari
seperti kuda yang meringkik tak henti,
ke mana pun pergi hanya untuk mencari diriku.

Datanglah kasih, datanglah sayang,
bersatu dalam raga,
menyala dalam jiwa,
mengikat cinta antara aku dan Suratminah.

Malam itu juga, Baridin memulai tirakatnya. Hari-hari berikutnya tubuhnya perlahan melemah, matanya cekung, namun bibirnya tak pernah berhenti melafalkan mantra.
Dan sebelum empat puluh hari usai, tanda-tanda itu mulai tampak: Suratminah resah, tidurnya gelisah, bayangan Baridin selalu hadir di pelupuk matanya.


Suratminah Terjerat Ajian

Malam-malam di rumah Bapak Dam mulai terasa aneh bagi Suratminah. Tidurnya gelisah, mimpinya selalu dipenuhi satu wajah: Baridin. Pemuda miskin yang dulu ia hina, kini hadir bagai bayangan tak mau pergi.

Ia sering terbangun di tengah malam, peluh dingin membasahi kening. Bibirnya gemetar, seolah ingin memanggil nama yang sebelumnya tak pernah ia anggap.
“Baridin… Baridin…”  Rasa penyesalan menyelimuti hati Suratminah.  Ia pun dengan lirih menyenandungkan lagu "Keduhung".

Keduhung rasa ning ati isun,
Pikiran rasa keyungyun,
Yen dieling-eling rasa getun,
Sekiyen urip sun nglamun.

(Rasa sesal ada di hatiku,
pikiranku jadi bingung,
kalau diingat-ingat timbul penyesalan,
sekarang hidupku penuh lamunan.)

Arep njaluk tulung-tulung sapa,
Arep sambat-sambat sapa,
Arep ngomong waleh karo mama,
Watire ora ditrima.

(Ingin meminta pertolongan pada siapa,
ingin meminta bantuan pada siapa,
ingin bicara jujur pada Bapak,
khawatir tidak diterima.)

Aduh Gusti Kang Maha Suci,
Pripun nasib kula iki,
Keduhung kula digawe janji,
Lanang mun sampeyan siji.

(Aduh, Gusti Yang Maha Suci,
bagaimana nasibku ini,
penyesalanku karena dibuat janji,
lelaki hanya engkau seorang.)

Semēnē rasané dadi wadon
Kēlingan kang durung klakon.
Awan ketuwon bengi ketuwon
Tek rasa perek ning pangkon

(Beginilah rasanya jadi perempuan,
terkenang pada sesuatu yang belum kesampaian.
Siang terkenang, malam pun terkenang,
aku rasakan dekat dalam pangkuan.)

Pikiran krasa keduhung guri
Kēlingan bli mari-mari
Yēn isun bengēn gelem ditari
Beli bakal ditinggal kari

(Pikiran terasa penuh sesal,
kenangan tak kunjung hilang,
andaikan dulu aku mau diajak,
aku tak akan ditinggalkan sendirian.)

Werua arep tek kinthil dingin,
Akibate nyiksa batin,
Yen mama arep ngupai izin,
Sun nggulati Kang Baridin.

(Jika tahu dari dulu, aku akan ikut,
Sehinga sekarang tidak menyiksa batin,
jika Bapak memberiku izin,
aku akan mencari Kang Baridin.)

Siang hari, ketika ia berjalan ke pasar, langkahnya gamang. Orang-orang menegur, tapi telinganya seakan tuli. Pandangannya kosong, hatinya resah. Ia hanya ingin bertemu Baridin, ingin melihat matanya, ingin mendengar suaranya.

Hatinya pun lirih berbisik

“Baridin… namamu masih melekat di dalam pikiranku. Setiap malam, saat aku duduk sendirian, bayanganmu selalu datang, seperti angin yang menyentuh lembut wajahku.

Dulu, engkau datang membawa cinta yang suci. Engkau menawarkan hati yang tulus, kasih yang tak ada tandingannya. Tetapi aku… aku justru menolakmu. Kata-katamu yang manis malah kuanggap olok-olok, hatimu yang bersih justru kuabaikan.

Waktu berjalan, orang-orang sibuk dengan hidupnya masing-masing, sementara aku… aku tenggelam dalam penyesalan yang tak kunjung padam. Dalam sepi aku baru sadar: cintamu jauh lebih berharga daripada segala kebanggaan yang pernah kumiliki. Penyesalan ini menusuk, tapi bukan hanya membuatku meratap — ia membakar tekad.

Aku terus mencarimu. Kuhabiskan hari-hari menyingkap jejak-jejakmu: pasar tempat kau sering lewat, surau tempat kau mengaji, jalan kecil yang kau lewati waktu terakhir kita bertemu. Aku tanya pada orang-orang, menelusuri kenangan demi kenangan, berharap sebuah kabar, sekadar bayangan yang mengatakan kau masih ada.

Hati ini seperti tercabik tiap kali mengingat masa lalu. Cinta sejati yang dulu datang kubuang seperti sampah. Ya Tuhan, mengapa aku begitu bodoh? Namun di balik kesakitan ini, muncul harap: jika kutemukan Baridin, jika aku dapat berdiri di hadapanmu lagi, izinkan aku meminta maaf dengan sepenuh nyawa.

Kini engkau mungkin telah jauh, tapi aku tak mau menyerah pada jarak. Aku bicara pada angin, menyebut namamu, menaruh pesan di tempat-tempat yang mungkin kau singgahi, menunggu—bukan sekadar untuk menyesali, tapi untuk menebus. Aku ingin kau tahu: aku datang bukan untuk meminta kembali masa lalu semata, melainkan untuk menawarkan hati yang sudah berubah, hati yang kini memahami nilai kasihmu.

Baridin… seandainya waktu bisa kuputar kembali aku tak akan menyia-nyiakanmu. Namun waktu tak dapat kuputar, jadi bila takdir mempertemukan kita, ijinkan aku menggenggam tanganmu dan menahanmu erat—sampai maut memisahkan atau sampai kau tersenyum menerima aku kembali.”

Bapak Dam merasa janggal.
“Ratminah, kenapa kamu murung begitu? Badanmu pucat, matamu sayu. Kau sakit, Nak?”

Suratminah hanya menunduk, bibirnya tak kuasa jujur.
“Tidak, Bapak… hanya lelah.”
Namun dalam hatinya, ia tahu—lelah itu bernama rindu.

Hari demi hari, kerinduannya menjadi penjara jiwa. Suratminah tak lagi peduli pada kain sutra, pada perhiasan emas yang disayang Bapaknya. Semua kemewahan itu terasa hampa. Yang ia inginkan hanyalah seorang pemuda sederhana, dengan kerbau dan weluku, yang dulu ia hina di jalanan desa.

Kadang, di balik pintu kamar, ia menangis. Tangannya mencakar-cakar dada sendiri, seakan ingin mengeluarkan bara yang membakar hati.
“Kenapa wajah itu tak pergi dari kepalaku? Kenapa aku harus merindukan dia? Oh, Baridin…”

Orang-orang desa mulai berbisik.
“Suratminah sakit apa? Seperti orang linglung… matanya kosong, rambutnya kusut. Dia sering berjalan sendirian malam-malam, memanggil nama Baridin.”

Dan benar, semakin hari Suratminah makin tak kuasa menahan gelora. Hingga pada suatu sore, dengan langkah tertatih, ia mencoba pergi menuju sawah. Di sana, di bawah langit temaram, ia mencari-cari sosok yang membuatnya tergila-gila.

“Baridin… di mana kau? Jangan sembunyi dariku… aku tak sanggup lagi…”

Ajian itu bekerja sempurna. Cinta yang dulu ditolak dengan hinaan kini menjelma jadi belenggu. Suratminah bukan lagi gadis kaya yang angkuh—ia berubah menjadi perempuan yang terikat oleh mantra Baridin, gila oleh rasa rindu yang tak dimengerti.


Pertemuan di Sawah dan Akhir Tragis

Sore merambat pelan, matahari tenggelam di balik punggung gunung. Sawah-sawah desa sunyi, hanya suara jangkrik bersahutan dengan desah angin yang melewati rumpun padi muda.

Di pematang yang lengang itu, Baridin duduk dengan tubuh lemah. Puasa panjang, tirakat tanpa henti, telah menggerogoti raganya. Matanya cekung, bibirnya kering, tapi di dalam dada masih menyala api dendam bercampur cinta yang tak mampu ia redam.

Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara langkah tergesa. Rambut terurai, wajah pucat, napas tersengal—Suratminah datang. Matanya merah karena tangis dan rindunya tak tertahan.

“Baridin…” suaranya serak, hampir terputus oleh isak.
“Aku mencarimu ke mana-mana. Aku tak bisa tidur, aku tak bisa makan… hanya wajahmu yang ada dalam kepalaku. Terimalah aku, Baridin. Aku rela meninggalkan segalanya, asal bersamamu.”

Baridin menoleh perlahan. Ada luka dalam tatapannya, bercampur iba, namun juga getir.
“Ratminah… apakah kau lupa? Dulu, ketika Mbok Wangsih datang dengan niat baik, kalian hina, kalian ludahi. Cintamu sekarang bukan cinta yang suci, melainkan ikatan dari ajian. Aku tak bisa menerimamu.”

Suratminah meratap, jatuh berlutut di depan Baridin.
“Jangan bilang begitu! Aku memang salah, aku sombong. Tapi kini hatiku benar-benar milikmu. Aku tak peduli apa kata orang. Aku hanya ingin kau…”

Air matanya jatuh ke tanah yang retak. Tubuhnya gemetar, seolah seluruh tenaga tersedot habis oleh kerinduan. Ia meraih tangan Baridin, menciuminya dengan putus asa.
“Jika kau menolakku, Baridin… aku mati!”

Baridin menghela napas panjang. Tubuhnya sendiri nyaris tumbang, kepalanya berputar karena lemah. Namun ia masih mencoba berbisik, lirih seperti angin terakhir:
“Ratminah… jika benar mencintai, terimalah apa adanya. Jika ingin menolak cinta, lakukan dengan lembut. Jangan pernah hina, jangan pernah serapahi, apalagi meludahi. Itu pesan terakhirku…”

Kalimat itu menjadi akhir. Suratminah terkulai, jatuh di pangkuan Baridin. Detak jantungnya berhenti oleh dahsyatnya cinta yang tak tertampung. Baridin pun, dengan tubuh yang sudah tak kuasa, menyusul sekejap setelahnya.

Hari itu, desa gempar. Dua jasad muda ditemukan berdampingan di sawah, seolah mereka memang ditakdirkan mati bersama. Warga menguburkan keduanya di tanah yang sama, di bawah pohon randu besar.

Orang-orang percaya, sejak saat itu ajian Kemat Jaran Guyang membawa kutukan: cinta yang dipaksa tak akan berakhir bahagia, hanya meninggalkan air mata dan nisan sunyi.


Epilog

Malam-malam di desa itu tak pernah sama lagi. Angin yang berhembus melewati pematang sawah sering membawa bisik-bisik lirih, seolah ada nama yang dipanggil dari jauh: “Baridin… Suratminah…”

Dua nisan sederhana berdiri berdampingan di bawah pohon randu tua. Tak ada ukiran indah, hanya tanah merah yang setiap musim hujan ditumbuhi rerumputan liar. Namun, bagi penduduk desa, nisan itu lebih dari sekadar tanda: ia adalah cermin cinta yang berubah jadi kutukan.

Orang-orang tua kerap berpesan pada anak cucunya:
“Cintailah dengan tulus, tolaklah dengan lembut. Jangan pernah menghina, sebab hinaan bisa melahirkan dendam, dan dendam bisa menjerat hidupmu sendiri.”

Baridin, pemuda miskin yang penuh asa, dan Suratminah, gadis kaya yang angkuh, akhirnya menyatu dalam kematian. Mereka tak pernah merasakan pelaminan, tak pernah berbagi rumah dan atap, tapi justru dikumpulkan dalam liang lahat yang sama.

Sejak itu, nama Kemat Jaran Guyang tak lagi hanya berarti ajian pengasihan. Ia menjadi simbol, bahwa cinta yang dipaksa bukanlah bahagia, melainkan jalan menuju kehancuran.

Dan setiap kali bulan purnama menggantung di atas desa, sebagian orang bersumpah pernah melihat bayangan sepasang anak muda berjalan beriringan di pematang, tangan saling menggenggam.

TAMAT
Depok, 11 Oktober 2025

✨ Tentang Penulis ✨

Setiap cerita lahir dari harapan, doa, dan cinta yang tersembunyi.
Siapakah sosok di balik kisah-kisah ini? Temukan jawabannya...

CERPEN KARYA ANAFIS '93

Buku kumpulan cerpen ini menghadirkan delapan kisah yang merentang dari cinta masa remaja, persahabatan, pengorbanan, hingga perenungan spiritual. Masing-masing cerita bukan sekadar fiksi, tetapi berangkat dari pengalaman batin yang diolah menjadi narasi penuh makna

Seorang dosen Fisika menemukan makna cinta melalui mahasiswinya, saat hukum gravitasi berubah menjadi metafora tentang rasa yang saling menarik namun tak bisa dimiliki. Cinta di antara mereka tidak pernah terucap, hanya hadir dalam bentuk pengertian, penghormatan, dan kenangan yang tak lekang oleh waktu.

Dalam perjalanannya sebagai gadis sederhana yang jatuh cinta pada rekan kerja barunya, Adipta harus belajar menerima kenyataan pahit bahwa debar yang ia simpan tak pernah berbalas, hingga akhirnya ia menemukan bahwa cinta sejati bukan selalu tentang memiliki, melainkan tentang kerelaan untuk mencintai dalam diam dan merelakannya lewat doa.

Cerita ini mengisahkan cinta tragis antara Baridin, pemuda miskin Jagapura Lor Kabupaten Cirebon, dan Suratminah, putri juragan kaya, yang berakhir nestapa oleh jurang derajat, hinaan, dan takdir.

Cerpen Remaja ini mengisahkan tentang cinta pertama yang lahir di bawah nyala api unggun, terjaga dalam diam, dan abadi dalam kenangan.

Cerpen ini menyiratkan perjalanan tobat dan kesadaran spiritual yang dalam, serta pencarian akan rekonsiliasi dengan diri sendiri — sebagai langkah awal untuk menata hidup yang lebih baik.

Kisah tragis tentang Dirman dan Surti, dua sejoli yang cintanya kandas oleh kepercayaan weton hingga berakhir di dua pusara berdampingan, menjadi pelajaran bahwa hidup dan mati hanyalah di tangan Allah, bukan ramalan.

Di balik senyum dan jilbabnya yang teduh, Anggraeni menyembunyikan cinta sunyi pada dosennya—cinta yang tak pernah berani ia ucapkan, hanya bisa ia rawat dalam doa dan diam, tumbuh sebagai rahasia manis sekaligus luka halus yang terus ia tanggung sendirian

Kasih dalam Sebutan Adik adalah kisah epistolari tentang hubungan yang bermula dari panggilan kakak-adik antara Ati dan Azis, namun perlahan berkembang menjadi cinta yang indah sekaligus rumit, terjalin lewat surat, kerinduan, dan pertanyaan tentang batas kasih sayang.

Kisah ini mengurai pertemuan seorang trainee Indonesia dan Haruka di Osaka, yang masih dibayangi hubungan pahitnya dengan Tio—seorang trainee lain dari Indonesia yang pernah ia cintai—hingga lewat surat-surat dan kenangan masa lalu mereka akhirnya menyadari bahwa cinta kadang harus melewati luka dan perpisahan sebelum berlabuh pada pintu maaf.

Melepasmu Dua Kali adalah kisah tentang dua sahabat SMA yang pernah berbagi kenangan indah bersama, lalu dipertemukan kembali setelah sepuluh tahun dalam reuni, namun akhirnya harus berani mencintai tanpa memiliki dan ikhlas melepas demi kebaikan.

Sahabat Terbaik mengisahkan dua sahabat kecil yang dipertemukan kembali oleh surat yang salah paham, lalu tumbuh menjadi cinta yang tak pernah terucap, dan akhirnya hanya bisa disimpan sebagai doa, kenangan, serta pengakuan tulus dalam diam.

Kisah ini menuturkan pertemuan tak terduga antara Hiro dan Michiyo yang tumbuh menjadi persahabatan hangat, lalu cinta yang akhirnya diakui namun harus dilepaskan, meninggalkan jejak indah tentang pertemuan, perpisahan, dan keikhlasan melepaskan.

Kisah ini mengurai perjalanan seorang kakak yang berpegang pada wasiat ibunya untuk menjaga adiknya, hingga di tengah perjuangan hidup dan pertemuan dengan cinta yang tak bisa dimiliki, ia belajar bahwa pengorbanan, tanggung jawab, dan kasih tanpa pamrih justru meninggalkan jejak paling dalam.

Pada reli Pramuka hujan Februari 1991, seorang remaja menemukan kehangatan tak bernama cinta dengan seorang siswi, yang kelak ia pahami sebagai pelajaran jiwa bahwa tidak semua pertemuan harus dimiliki, cukup dikenang sebagai doa sunyi di dalam hati.

Kisah ini adalah perjalanan dari genggaman uang lima ribu rupiah yang penuh keyakinan hingga menjadi undangan suci ke Baitullah, bukti bahwa doa, niat tulus, dan cinta dalam rumah tangga mampu membuka pintu langit. Ini adalah catatan perjalanan Ibadah Haji tahun 2024

Kisah ini menceritakan pertemuan sederhana seorang siswa SMA dengan adik temannya bernama Hapsi, yang berawal dari sapaan kecil di pagi banjir dan tumbuh menjadi ikatan manis kakak-adik penuh rahasia serta kehangatan yang tak pernah mereka sebut cinta.

Kisah ini menggambarkan hubungan samar antara seorang lelaki misterius dan Non, gadis kecil yang tumbuh dengan puisi-puisinya, di mana setiap kehadiran dan sepucuk amplop berisi kata-kata menjadi tanda kasih sayang tersembunyi yang menuntunnya menuju kedewasaan.

Kakak Berjilbab mengisahkan seorang mahasiswa baru Fisika UI pada tahun 1993 mengalami dua perjumpaan singkat namun membekas dengan kakak senior berjilbab, meninggalkan kenangan manis yang tak pernah terlupa meski namanya tak pernah benar-benar diingat.

Seorang kenshusei Indonesia di Yokohama tahun 1999 menemukan hiburan sekaligus “takdir aneh” lewat kaset-kaset Tan Sri P. Ramlee yang selalu muncul di momen tak terduga, hingga membuat sahabat sebelah kamarnya yakin dunia ini diam-diam diatur oleh Ramlee.

Sebuah kisah tentang suami-istri yang, di tengah lautan jamaah haji di Makkah, menemukan makna cinta terdalam melalui thawaf, sa’i, dan potongan rambut kecil yang menjelma menjadi janji suci pengabdian bersama menuju Allah.

Seorang trainee Indonesia di Osaka menemukan keteduhan di balik senyum resepsionis bernama Nagabayashi, yang dengan sapaan sederhana, surat-surat dari tanah air, dan satu foto perpisahan, meninggalkan kenangan manis yang tak terlupakan di tengah hari-hari keras perantauan.

Seorang dosen yang terbiasa dengan rutinitas Sabtunya di kampus dan warung Padang tiba-tiba mengalami pertemuan singkat dengan seorang mahasiswi kampus sebelah yang meninggalkan senyum hangat—dan sepiring ayam bakar tak terbayar—membuatnya bertanya apakah itu sekadar kebetulan atau isyarat kecil dari semesta.

Di tengah panas lembab musim panas Osaka 1999, seorang trainee menemukan seberkas kebahagiaan sederhana dari sapaan kasir kantin yang setiap hari menyebut “nana juu en desu”, hingga julukan “Mba Nana” pun lahir dan menjadi kenangan manis yang tak ternilai.

Keyakinan sederhana seorang istri yang menggenggam uang lima ribu rupiah di tahun 2008 menjadi awal perjalanan suci pasangan ini hingga akhirnya Allah mengundang mereka ke Baitullah.

Menjadi sekretaris RW bukan hanya soal tanda tangan dan arsip, tapi juga membuka pintu pada kisah-kisah tak kasat mata—seperti pertemuan istriku dengan sosok anak kecil yang seharusnya sudah tiada.

Sekelompok siswa SMAN 1 Tegal pada tahun 1991 membuktikan bahwa gamelan dan band bisa berpadu harmonis di panggung lomba musik Semarang, meninggalkan kenangan tak terlupakan tentang mimpi yang pernah hidup dengan gemuruh sorak penonton.

A man who secretly replaces someone else in a woman’s heart struggles between truth and silence, torn by the borrowed love that warms him even though he knows the light was never meant for him.

Perjalanan haji yang penuh haru dimulai dengan pelepasan sederhana di rumah dan kampus UIII, ketika doa, tangis, dan pelukan terakhir dari anak tercinta menjadi bekal hati menuju tanah suci.

Seorang pemuda yang terjebak hujan tanpa sengaja dipertemukan dengan keponakan yang lama hilang, lalu menguak kisah kelam keluarganya hingga membawanya pada janji untuk bertobat dan kembali ke jalan yang benar.

Seorang kakak yang sibuk kerja akhirnya memilih menulis cerpen penuh nasehat sebagai hadiah ulang tahun sederhana namun bermakna untuk sahabatnya, setelah melalui kehebohan bersama adiknya yang usil namun penuh perhatian.

Kisah Kisdanu dan Hapsari adalah perjalanan panjang dua sejoli dari desa, yang berawal dari hubungan kakak-adik penuh kasih sayang hingga akhirnya menemukan cinta sejati dan dipersatukan dalam pernikahan, setelah melewati ujian jarak, keraguan, dan kesetiaan.

Seorang trainee Indonesia di Osaka menemukan kehangatan tak terduga ketika lensa kameranya menjadi jembatan sederhana antara dirinya dan tawa siswi SMP di seberang gedung, menghadirkan sejenak pertemuan dua dunia yang berbeda.

Postingan Populer

Cerpen - Sajak Sunyi di Bawah Langit Februari

Cerpen - Sapaan Yang Hanyut Terbawa Banjir

Cerpen - Cinta yang Terselip di Antara Rumus-rumus Fisika

Haji Bersama Kekasih: Perjalanan Iman dan Cinta di Tanah Suci

Cerpen - Di Bawah Tokyo Tower, Malam Berbisik (東京タワーの下、夜が囁く)

Puisi - SEJAK KAU MENANGIS

Puisi - Di Ujung Masa

Puisi - DI STASIUN INI AKU MENANTI