Puisi - Rel yang Menuju Senja
Ada rel panjang menuju senja,
dibangun dari mimpi dan janji.
Besi-besinya pernah berkilau di pagi hari,
kini tampak letih, menunggu karat singgah.
Di atasnya, kereta melaju cepat,
dengan penumpang yang tak sebanyak harapan.
Di setiap stasiun,
terdengar bisik: “Siapa dulu yang menggambar peta ini?”
Angin membawa kabar dari masa lalu 
tentang meja rapat dan pena emas,
tentang suara yang menasihati
namun tenggelam oleh tepuk tangan pesta.
Rel itu masih membentang,
seperti garis luka di tubuh ibu pertiwi.
Kereta terus melintas,
mengangkut beban ringan yang tak seimbang.
Kini setiap derit roda
seakan menghitung angka-angka merah
yang menetes pelan di buku besar negeri.
Setiap kursi kosong bernyanyi perih,
setiap tiket terjual,
hanyalah tutup kecil dari lubang besar menganga.
Kereta ini tak hanya membawa penumpang,
ia juga membawa warisan 
hutang yang menua di bawah bantal anak-cucu.
Uapnya bukan lagi aroma kemajuan,
melainkan napas berat yang menunda langkah negeri.
Namun tetap saja ia melaju,
menyusuri senja yang kian pudar,
seolah takut berhenti dan mendengar
suara hati rel yang perlahan berkarat:
“Bukankah dulu aku hanya disuruh bermimpi?”
Depok, 17 Oktober 2025
 
     
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
 
 
 
 
