Mengapa Aku Menulis: Sebuah Refleksi Pribadi
Kecintaanku pada dunia sastra tidak lahir secara tiba-tiba. Ia tumbuh pelan-pelan, seperti benih kecil yang berakar dari kebiasaan sederhana: membaca dan menulis. Benih itu pertama kali kutemukan saat duduk di bangku SMP, ketika guru Bahasa Indonesia memberikan tugas membuat sinopsis karya sastra. Kami harus membaca novel, roman, atau buku cerita lain, lalu menuliskannya kembali dalam empat lembar folio bergaris, dengan tulisan tangan. Setiap dua minggu kami harus menyerahkan satu sinopsis baru.
Tugas itu, bagi sebagian teman, mungkin terasa berat dan membosankan. Namun bagiku, ia menjadi sumber kegembiraan yang tak terduga. Membaca dan menulis sinopsis seolah membuka pintu menuju dunia lain — dunia yang penuh imajinasi, emosi, dan makna kehidupan. Salah satu buku yang paling berkesan adalah Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Kisah cinta yang terhalang adat itu menyentuh perasaanku yang kala itu masih belia. Saat menulis ringkasannya, aku merasa seolah ikut hidup di dalam cerita; memahami tokohnya, ikut marah, sedih, dan berempati pada nasib mereka.
Pada masa yang sama, aku juga mendapat tugas membuat kliping tentang peristiwa G30S/PKI. Meski dikerjakan secara kelompok, aku mengambil peran menulis ulasan untuk setiap gambar dan potongan berita yang kami kumpulkan. Bahkan, aku pernah bangun pukul tiga dini hari hanya untuk menyelesaikannya, karena jumlah gambar yang harus diberi keterangan sangat banyak. Dari pengalaman itu aku belajar bahwa menulis bukan sekadar merangkai kalimat, melainkan juga melatih ketekunan, kesabaran, dan ketelitian. Di sanalah aku mulai memahami bahwa menulis membutuhkan disiplin, bukan hanya inspirasi.
Ketika beranjak ke SMA, aku mulai mengenal puisi bukan hanya sebagai bacaan, tetapi sebagai cara untuk mengekspresikan diri. Suatu ketika guru kesenianku memberi tugas membuat puisi. Aku menulis puisi yang sebenarnya terinspirasi dari salah satu sinopsis yang pernah kubuat di SMP. Tak kusangka, puisi itu mendapat pujian dari guru kesenianku. Beliau berkata, “Kalau kamu ingin menulis cerita, mulailah dari sebuah puisi.” Kalimat sederhana itu terus terngiang hingga kini. Sejak saat itu, aku mulai memandang puisi bukan sekadar rangkaian kata indah, melainkan benih cerita — sebuah inti rasa yang bisa berkembang menjadi kisah panjang jika dirawat dengan kejujuran.
Memasuki masa kuliah, kebiasaan menulis semakin menemukan bentuknya. Aku mulai berkorespondensi dengan seseorang, dan dari pertukaran surat itulah tulisanku mengalir dengan lebih bebas. Kadang berisi cerita ringan, kadang refleksi, dan sering pula berupa puisi atau cerpen. Pada masa itu aku sempat menulis dua cerpen dan satu naskah novel. Menariknya, aku kuliah di jurusan Fisika, bidang yang secara kasat mata jauh dari dunia sastra. Namun justru di situlah aku menemukan keseimbangan.
Fisika memberiku logika, keteraturan, dan ketepatan berpikir. Sementara menulis memberi ruang bagi rasa, imajinasi, dan kebebasan batin. Dalam eksperimen-eksperimen laboratorium yang kaku, aku menemukan kehidupan di antara kata-kata. Menulis menjadi tempatku bernapas dan menata pikiran agar tidak kehilangan sisi manusiawi di tengah rumus dan angka.
Setelah menikah, kebiasaan menulis itu sempat meredup. Kesibukan hidup dan tanggung jawab keluarga membuat waktu terasa semakin sempit. Namun pada tahun 2008, dorongan dari istriku menyalakan kembali semangat yang nyaris padam. Ia menyarankanku untuk menulis buku pribadi yang berisi perjalanan hidupku sendiri — kisah yang dirangkai dari catatan lama, puisi, dan pengalaman yang pernah kutulis di masa lalu. Buku itu kemudian menjadi semacam cermin bagi diriku sendiri.
Lewat menulis, aku belajar melihat perjalanan hidup bukan sekadar rangkaian peristiwa, melainkan sebagai pembelajaran spiritual yang membentuk siapa diriku hari ini.
Beberapa tahun kemudian, gairah menulisku kembali menemukan momentumnya ketika muncul fenomena “teori bumi datar” yang ramai diperbincangkan di media sosial. Sebagai lulusan Fisika, aku merasa terpanggil untuk meluruskan kesalahpahaman yang beredar di masyarakat. Berawal dari percakapan melalui WhatsApp dengan seorang teman SMA yang berprofesi sebagai guru, aku menyadari betapa luasnya pengaruh teori tersebut dan bagaimana banyak orang mulai terpengaruh olehnya. Dari situ aku mulai menulis artikel di blog pribadi — satu tulisan setiap minggu — dengan bahasa yang sederhana namun berpijak pada dasar ilmiah.
Tanpa kusadari, dari upaya kecil itu tumbuh kembali semangat menulis yang sempat tertidur. Menulis tentang sains mengajarkanku bahwa tulisan bukan sekadar sarana ekspresi diri, tetapi juga alat untuk berbagi pengetahuan, meluruskan kekeliruan, dan menyalakan kesadaran di tengah masyarakat.
Kini, setelah melalui perjalanan panjang dari masa remaja hingga dewasa, aku menyadari satu hal: menulis adalah jalan pulang menuju kesadaran diri.
Puisi, cerpen, atau bahkan artikel ilmiah — semuanya adalah cara untuk berdialog dengan diri sendiri dan dengan kehidupan. Dalam menulis, aku belajar mendengarkan batin yang sering terabaikan di tengah rutinitas. Aku belajar mengubah kegelisahan menjadi kalimat, dan pengalaman menjadi makna.
Menulis mengajarkanku tentang kejujuran. Ia memaksaku untuk menatap pengalaman dengan jernih, tanpa topeng. Setiap kata yang lahir dari hati membawa beban tanggung jawab moral: untuk tidak memanipulasi kebenaran, untuk menulis dengan niat yang bersih, dan untuk memberi nilai pada kehidupan.
Menulis juga mengajarkanku tentang kesabaran. Sebab tidak ada tulisan yang langsung jadi. Ia memerlukan waktu, proses, dan kesediaan untuk berulang kali memperbaiki diri — sebagaimana kehidupan itu sendiri.
Bagi sebagian orang, menulis hanyalah hobi. Tetapi bagiku, menulis adalah cara untuk hidup lebih sadar. Ia bukan sekadar kegiatan intelektual, melainkan latihan batin untuk memahami realitas. Dalam menulis, aku menemukan ruang sunyi yang memberi makna bagi setiap pengalaman: dari tugas sinopsis di SMP, puisi di SMA, surat di masa kuliah, hingga blog ilmiah di masa dewasa. Semua pengalaman itu bukan kebetulan, melainkan rangkaian kecil yang membentuk kesadaran besar — bahwa kata-kata memiliki daya untuk menyalakan cahaya dalam diri.
Kini aku menulis bukan lagi untuk mengejar pujian atau pembenaran, melainkan untuk menemukan kebenaran kecil dalam diriku sendiri. Karena pada akhirnya, setiap tulisan yang jujur akan selalu menjadi cermin — cermin tempat aku mengenali siapa aku sebenarnya, dan bagaimana aku terus belajar menjadi manusia yang lebih peka, lebih sadar, dan lebih penuh rasa.
Depok, 19 Oktober 2025